Soloraya
Kamis, 18 Agustus 2016 - 17:25 WIB

HUT RI : Pesan Kemerdekaan dari Balik Tumpukan Sampah Putri Cempo

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivis peduli lingkungan hidup Kota Solo mengikuti upacara bendera di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo, Rabu (17/8/2016). Kegiatan tersebut selain untuk memperingati HUT ke-71 Kemerdekaan RI juga untuk mengedukasi masyarakat agar tidak menjajah bumi dengan sampah. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

HUT RI diperingati di Solo antara lain dengan upacara di tempat pembuangan akhir (TPA) Putri Cempo.

Solopos.com, SOLO – Sebuah bendera merah putih yang dipasang di sebilah bambu berkibar di antara tumpukan sampah setinggi 3-4 meter, Rabu (17/8/2016) pukul 07.05 WIB. Tak jauh dari sang saka, sekitar 30 orang berdiri melingkar sambil mengangkat tangan. Bau busuk dan terik matahari sangat terasa pagi itu.

Advertisement

“Kepada pembina upacara, hormat grak!,” seru Deniel, pemimpin upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-71 Republik Indonesia kepada peserta upacara.

Tak banyak orang yang mau menyambangi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo. Kesan kotor, bau dan sumber penyakit lekat dengan TPA yang berlokasi di Mojosongo Jebres ini. Namun puluhan orang yang berasal dari aktivis lingkungan hidup dan jemaat gereja justru menggunakan Putri Cempo sebagai refleksi hari kemerdekaan. Masyarakat seolah disadarkan bahwa mereka belum sepenuhnya merdeka.

“Relasi kita dengan bumi bukan untuk menjadi penguasa. Kita boleh merdeka secara fisik, tapi belum merdeka secara lingkungan. Dengan tumpukan sampah seperti ini, tak sadar kita telah menjajah ibu pertiwi,” ujar Ernest Justin, pastur Gereja Santo Antonius Purbayan yang menjadi pembina ucapara.

Advertisement

Sekitar setengah jam mereka berupacara di tengah “gunung-gunung sampah”. Meski lokasi upacara mereka tak lazim, susunan acara upacara layaknya prosesi pada umumnya. Petugas dengan khidmat membacakan teks proklamasi, UUD 1945 dan Pancasila di tengah deru mobil sampah. Peserta upacara menolak menggunakan masker meski bau kotoran cukup menyengat.

“Awalnya memang kaget dengan baunya. Namun kami ingin benar-benar merasakan, oh ini hasil kita [tumpukan sampah].
Selama ini kita tutup mata. Kita hanya mengandalkan TPA sebagai tempat sampah raksasa,” ujar Denok Marty Astuti, pegiat lingkungan hidup yang mengikuti upacara.

Menurut Denok, masyarakat sebenarnya bisa berkontribusi mengurangi sampah dengan mengolah sampah organik menjadi kompos. Adapun sampah anorganik dapat diolah melalui daur ulang. Dengan demikian, hanya sampah yang benar-benar tak dapat dimanfaatkan saja yang berada di TPA.

Advertisement

“Paling sulit memang mengubah mindset. Satu setengah tahun ini kami sosialisasi ke warga agar mengoptimalkan sampah rumah tangga.”

Informasi yang dihimpun Solopos.com, volume sampah per hari di Solo tahun ini tembus 265 ton. Padahal tahun 2011 volume sampah masih berada di angka 241 ton per hari. Adapun 13 hektare (ha) dari total 17 ha lahan TPA sudah dipenuhi sampah.

“Kita belum merdeka dari sampah. Mulai saat ini kita harus peduli, dimulai dari diri kita sendiri,” ujar Gus Minging, jemaat gereja peserta upacara.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif