Jogja
Senin, 15 Agustus 2016 - 11:55 WIB

Merti Code, Revitalisasi Sungai dalam Kemasan Budaya

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - HarianJogja/Gigih M. Hanafi Warga Cokrodiningratan fragmen asal usul terjadinya merti code di jalan AM. Sangaji, Jogja, Minggu (14/8). Kirab yang diikuti ratusan warga dengan menampilkan berbagai kesenian tersebut sebagai sarana mengajak masyarakat untuk melestarikan dan menjaga kebersihan Sungai Code serta rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Merti Code yang digelar warga Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis menjadi upaya merevitalisasi sungai dengan kemasan budaya

Harianjogja.com, JOGJA-Seribuan warga Jogja tumpah ruah di Jalan AM.Sangaji, Minggu (14/8/2016) sore menyaksikan upacara adat Merti Code yang diselenggarakan masyarakat Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis. Sekitar dua jam arus lalu lintas di kawasan padat kendaraan tersebut pun ditutup total.

Advertisement

Upacara adat diawali dengan berbagai tarian, drum band, dan atraksi kesenian tradisional perwakilan dari berbagai kampung di wilayah di wilayah Jetis. Satu tarian yang khas kerap ditampilkan dalam tradisi tahunan sejak 2002 diwilayah tersebut adalah Tari Lampor.

Tari tersebut dimainkan oleh 10 orang wanita dengan pakaian adat jawa dan 10 orang pria mengenakan pakaian menyerupai makhluk halus bersayap dan berkepala banteng.

Advertisement

Tari tersebut dimainkan oleh 10 orang wanita dengan pakaian adat jawa dan 10 orang pria mengenakan pakaian menyerupai makhluk halus bersayap dan berkepala banteng.

Tari itu menggambarkan warga sepanjang Kali Code yang tengah beraktifitas tiba-tiba datang 10 lampor disertai dengan suara yang menakutkan melintasi sepanjang Kali Code, mereka mengamuk.

Warga ketakutan dan berhamburan keluar rumah sampai pingsan. Para lampor baru kabur setelah diusir oleh tokoh agama setempat, lalu membangunkan warga yang pingsan.

Advertisement

Tokoh Adat Cokrodiningratan, Bambang Susiawan mengatakan Tari Lampor mitosnya dahulu adalah pasukan yang diutus Ratu Kidul untuk ke Merapi. Kedatangannya melintasi Kali Code memberi tanda sekitar bantaran sungai untuk memberi jalan.

Cerita rakyat tersebut dimaknai agar warga selalu menjaga kali Code supaya tidak terjadi bencana banjir. “Supaya warga bijak dalam kehidupan dengan alam sekitar khusnya di sepanjang kali dengan merawatnya supaya tidak ada gangguan,” katanya disela-sela upacara adat.

Advertisement

Selesai tarian, warga mendoakan tujuh kendi berisi air yang berasal dari tujuh mata air, yakni Turgo, Pulowatu, Gemawang, Jetisharjo, Cokrokusuman, Gondolayu, dan Terban.

Air tersebut sebagai simbol wilayah Cokrodiningratan begitu makmur dengan banyaknya mata air sebagai sumber penghidupan.

Menurut Bambang, zaman dahulu sepanjang tebing yang dilintasi Kali Code banyak sumber mata air, “Kalau kita dodok sedikit saja sepanjang tebing keluar air jernih,” katanya.

Advertisement

Namun kondisi saat ini hanya beberapa lokasi yang masih ada mata air sebagai akibat pembangunan dan perusakan lingkungan sekitar tebing Kali Code.

Bersambung halaman 3

Upacara adat dilanjutkan dengan kirab yang diawali barisan Manggolo Yudho, Prajurit Bergodo, Tombak Pusaka Kyai Ranu Munti, Gunungan sayur dan buah, putri klenting, uran Terban, Tari Kolosal, Drum Band, Srandal, dan Barongsai.

Kirab melintasi Jalan AM Sangaji-Jembatan Sardjito-Jalan C Simanjuntak-Jalan Sudirman-Tugu-kembali ke Jalan AM Sangaji.

Tujuh air yang disatukan dalam sebuah kendi besar diperebutkan warga. Demikian juga gunungan buah dan sayuran dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Proses upacara adat ini mengundang perhatian masyarakat untuk menyaksikan di sepanjang jalur yang dilalui kirab.

Ketua Merti Code, Totok Pratopo mengatakan tradisi yang digelar tiap tahun itu sebagai upaya membangun nilai luhur terhadap sungai dan alam. Dahulu, kata dia, tiap kampung di sepanjang Kali Code mempunyai tradisi penghormatan sungai melalui ruwatan.

Tradisi tersebut sangat ampuh dalam menjaga sungai yang membawa kemakmuran bagi masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman dan maraknya pembangunan, tradisi itu kian hilang. Ditambah lagi adanya tentangan dari kaum agamawan yang menganggapnya syirik.

“Kita mencoba revitalisasi sungai dengan kemasan budaya. Dikemas senyaman mungkin untuk mengembalikan kesadaran msyarakat pentingnya merawat sungai,” ucap Totok.

Advertisement
Kata Kunci : Adat Jogja Merti Code
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif