Soloraya
Minggu, 7 Agustus 2016 - 19:40 WIB

RAPERDA GEDUNG SOLO : Proporsi Arsitektur Jawa Ditetapkan 20%

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Arsitektur UNS pamer maket revitalisasi Benteng Vastenburg di Car Free Day Kota Solo, Minggu (29/3/2015). (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Raperda Gedung Solo, pembangunan gedung pemerintahan wajib mengadopsi arsitektur Jawa.

Solopos.com, SOLO–Pembangunan gedung pemerintahan serta fasilitas publik dan komersial di Solo wajib mengadopsi arsitektur Jawa. Pemkot menetapkan persentase penggunaan ornamen atau arsiterktur Jawa minimal 20% dari luas bangunan. Hal itu sesuai Perda Bangunan Gedung yang baru saja disahkan Rabu (3/8/2016) lalu.

Advertisement

Informasi yang dihimpun Solopos.com, sempat terjadi tarik ulur antara Panitia Khusus (Pansus) Raperda dengan Pemkot ihwal kewajiban penerapan ornamen Jawa dalam bangunan. Pemkot berpendapat pembangunan mestinya tidak perlu saklek memasukkan ornamen Jawa.
Namun anggota DPRD yang tergabung dalam Pansus kukuh memertahankan bangunan wajib berornamen Jawa untuk menjaga kearifan lokal. “Syarat itu (minimal 20% ornamen Jawa) sempat mau dihilangkan di pembahasan akhir raperda. Namun kami bertahan karena bagi pansus, kekhasan bangunan itu penting untuk menjaga kearifan wilayah,” ujar Wakil Ketua Pansus Raperda Bangunan Gedung, Supriyanto, saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (7/8/2016).

Supriyanto mengatakan ketentuan penggunaan ornamen Jawa berlaku bagi pembangunan kantor pemerintahan pusat hingga daerah di Solo, gedung BUMN dan BUMD, serta gedung publik dan fasilitas komersial seperti hotel dan restoran. Dia mengatakan sejumlah kantor pemerintahan seperti kelurahan dan beberapa restoran dan hotel sudah menerapkan kebijakan itu. “Perda ini sebagai penguat agar arsitektur bangunan Jawa tidak dilupakan seiring perkembangan zaman.”

Menurut Supriyanto, Pemkot berhak tidak menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) jika pemrakarsa gedung enggan mengadopsi ornamen Jawa dalam pembangunan. Pemilik gedung, imbuhnya, juga dapat terkena sanksi pidana jika kedapatan menyiasati kebijakan tersebut.
“Untuk gedung yang sudah berdiri tidak terkena regulasi. Perda tidak berlaku surut,” terangnya.

Advertisement

Anggota Pansus Raperda Bangunan Gedung, Ginda Ferachtriawan, menilai penghitungan persentase ornamen Jawa 20% perlu diperjelas operasionalnya dalam peraturan wali kota (perwali). Hal itu untuk menghindari salah tafsir dalam menyikapi Perda. “Setiap pembangunan gedung yang diatur dalam perda wajib memiliki nilai budaya Jawa yang diterapkan lewat desain arsitektur. Masaalahnya yang selama ini menjadi perbincangan, bagaimana cara mengukur batas minimal 20% itu, terutama bagi gedung-gedung bertingkat,” ujarnya.

Meski demikian, Ginda mendukung kebijakan pemberian arsitektur Jawa di gedung pemerintahan hingga swasta. “Visi Solo sebagai kota budaya perlu dikonkritkan. Salah satunya dengan menjaga warisan arsitektur nenek moyang,” ucapnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif