Jogja
Minggu, 24 Juli 2016 - 05:20 WIB

PELESTARIAN LINGKUNGAN : Warga Terong Selamatkan Pohon Tak Layak Tebang

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi hutan (JIBI/Dok)

Pelestarian lingkungan dijaga dengan meminimalkan penebangan pohon.

Harianjogja.com, BANTUL– Kelompok petani hutan di Desa Terong, Dlingo, Bantul mencegah penebangan pohon tidak cukup umur berkat usaha warga melestarikan lingkungan.

Advertisement

Kelompok Pengelola Hutan di Desa Terong, Dlingo sejak 2014 lalu mendirikan koperasi tunda tebang pohon. Mereka mengelola lebih dari 500 hektare hutan rakyat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan Arupa mendampingi kelompok ini melestarikan hutan rakyat di Terong, Dlingo.

Badan Pengurus Arupa Dwi Nugroho mengungkapkan, salah satu cara melestarikan hutan adalah mencegah pohon ditebang sebelum berumur layak. “Pohon jati layak ditebang setelah berumur di atas delapan tahun,” ungkap Dwi Nugroho dalam workshop mengenai hutan rakyat yang diselenggarakan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Sabtu (23/7/2016).

Advertisement

Badan Pengurus Arupa Dwi Nugroho mengungkapkan, salah satu cara melestarikan hutan adalah mencegah pohon ditebang sebelum berumur layak. “Pohon jati layak ditebang setelah berumur di atas delapan tahun,” ungkap Dwi Nugroho dalam workshop mengenai hutan rakyat yang diselenggarakan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Sabtu (23/7/2016).

Pohon berumur muda atau di bawah delapan tahun memiliki daya lebih tinggi dalam menyerap emisi karbon dioksida (CO2) dibanding pohon yang telah berumur di atas delapan tahun. Selama ini kata dia, warga sering menebang pohon karena terdesak kebutuhan ekonomi padahal pohon tersebut belum layak ditebang.

Warga Desa Terong kemudian memilih menyelamatkan pohon-pohon yang masih muda tersebut dengan mendirikan sebuah koperasi tunda tebang yang dinamai Jasema. Sebanyak lebih dari 500 warga menyumbang uang untuk mengumpulkan modal sebanyak Rp78 juta. Uang tersebut kemudian dipinjamkan bagi anggota yang mengalami kesulitan ekonomi. Kayu yang dimiliki peminjam uang koperasi (debitur) menjadi agunan atau jaminan dalam pinjaman itu. Pada tahun pertama beroperasi, tercatat sebanyak 32,3 meter kubik kayu atau pohon yang telah diagunkan alias dicegah penebangannya lantaran tidak cukup umur. “Tahun ini diperkirakan modal yang dimiliki warga sudah mencapai Rp120 juta. Koperasi menerapkan bunga satu persen,” ujarnya lagi.

Advertisement

“Selain itu, warga dapat menikmati keuntungan pohon setelah pohon itu besar. Secara ekonomi pohon yang sudah besar dan sudah layak tebang nilainya lebih mahal dibanding yang masih kecil,” papar dia.

Lebih dari itu, warga Terong berjasa dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi pemanasan global. Pada 2011 lalu, hutan di Terong memiliki cadangan karbon sebanyak 37,45 ton lalu melonjak menjadi 78,97 ton pada 2014 berkas upaya warga menyelamatkan pohon tak layak tebang dan penghijauan. Jumlah tersebut hanya mencatat cadangan karbon di lahan pekarangan belum termasuk lahan tegalan. Cadangan karbon tersebut merupakan potensi hutan mengikat atau menyerap karbon.

“Pengukuran cadangan karbon dilakukan setiap dua tahun sekali. Terakhir 2014. Tahun ini akan dilakukan pengukuran cadangan karbon lagi,” lanjutnya.

Advertisement

Terpisah, Direktur Lembaga Ekolabel Indonesia Haryadi mengatakan, upaya melestarikan lingkungan dengan mengikat karbon yang telah dilakukan petani di Terong harusnya dihargai dengan pembelian karbon oleh perusahaan-perusahaan penghasil emisi. Saat ini kata dia, baru petani hutan di daerah Jambi yang telah menembus pasar dan terlibat perdagangan karbon.

Haryadi menjelaskan, perdagangan karbon dilakukan oleh petani hutan dengan perusahaan penghasil emisi. Di Eropa kata dia, pemerintah menetapkan batas emisi yang dikeluarkan perusahaan atau pabrik. Kelebihan emisi akan mewajibkan perusahaan membayar sejumlah uang ke kelompok masyarakat yang berjasa menjaga hutan pengikat gas emisi.

“Misalnya satu perusahaan dibatasi menghasilkan emisi sebanyak 40 ton. Tapi ternyata emisi yang dihasilkan 50 ton, ada kelebihkan 10 ton karbon yang harus dibayar ke masyarakat pelestari hutan. Di Indonesia, kebijakan seperti ini belum jelas,” jelasnya lagi

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif