Soloraya
Selasa, 12 Juli 2016 - 19:30 WIB

UKM BOYOLALI : Sentra Tampah di Walen Terancam Punah

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga asal RT 002/ RW 001 Desa Walen, Simo, Boyolali, membuat tampah dari anyaman bambu di rumahnya, Selasa (12/7/2016). Industri rumah tangga yang ada sejak ratusa tahun silam itu terancam punah akibat faktor regenerasi dan pemasaran. (Aries Susanto/JIBI/Solopos)

Alat dapur Boyolali, kerajinan tampah di Walen, Simo terancam punah.

Solopos.com, BOYOLALI–Industri rumah tangga tampah yang ada sejak ratusan tahun silam di Desa Walen, Simo, Boyolali, terancam punah. Penyebabnya antara lain keengganan anak-anak muda saat ini untuk melanjutkan usaha tersebut serta faktor persaingan di pasaran.

Advertisement

Bayan Desa Walen, Simo, Badarudin, mengatakan masalah utama industri tampah dan perkakas dapur lainnya dari anyaman bambu ialah soal persaingan harga dan regenerasi. Anak-anak muda Desa Walen, kata dia, hampir 99% memilih menjadi perantau di kota-kota ketimbang melanjutkan dan mengembangkan industri tampah yang melegenda itu. Akibatnya, selain berjalan stagnan, industri tampah juga tak ada inovasi yang bisa diunggulkan untuk bisa bersaing di era pasar bebas saat ini.

“Satu buah tampah ini hanya dihargai Rp7.000. Sepekan paling hanya dapat untung Rp70.000-Rp100.000. Jadinya, tak ada anak muda yang melanjutkan usaha ini,” ujarnya saat ditemui Solopos.com di Desa Walen, Selasa (12/7/2016).

Salah satu keluarga pembuat tampah, Kamsiri, 55, mengatakan selain dua hal tersebut, masalah industri tampah saat ini ialah bahan baku bambu apus yang harus dibeli dari Semarang. Jauhnya jarak itu membuat biaya produksi membengkak, sementara nilai jual tak bisa bersaing dengan produk sejenis yang terbuat dari bahan plastik.

Advertisement

“Keuntungannya memang mepet sekali. Paling hanya bisa buat makan sehari-hari saja,” papar warga RT 002/ RW 001 Desa Walen itu.

Kamsiri membuat tampah sejak remaja. Dibantu Warsinah, istrinya, Kamsiri tekun melanjutkan usaha warisan orang tuanya dan kakek-neneknya itu. Hasilnya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus semua.

“Sekarang sambil momong cucu yang masih kecil, aktivitas utama selain jadi buruh tani ya bikin tampah,” papar Warsinah.

Advertisement

Badarudin mengatakan sebenarnya ketenaran Desa Walen sebagai penghasil tampah dan besek sudah dikenal di mana-mana. Sejumlah lembaga pengabdian masyarakat dari Kampus UNS Solo serta kampus dari Jogja, kata dia, bahkan pernah melakukan pendampingan kepada warga untuk dikenalkan ekonomi kreatif. Wujudnya ialah memberikan sentuhan seni dan kreasi dalam membikin tampah serta anyaman bambu lainnya agar bisa dijual lebih mahal di mal atau pasar seni.

“Saat itu, warga dengan mudahnya membikin aneka kreasi anyaman bambu karena memang itu dunia mereka sejak kecil. Tapi, kan persoalannya pada pemasaran,” terangnya.

Lemahnya pemasaran inilah yang membuat hasil kreasi warga Walen tak terserap di pasaran. Padahal, lanjutnya, pada saat yang kebutuhan makan sehari-hari tak bisa ditunda. “Jadi, akhirnya warga kembali bikin tampah tradisional dengan harga yang murah,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif