Soloraya
Selasa, 12 Juli 2016 - 08:10 WIB

ASAL USUL : Petilasan Joko Budug Sambirejo Sragen dan Kisah Terowongan Bawah Tanah

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petilasan Ki Joko Budug di Dusun Gamping, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. (M Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Asal usul kali ini mengenai petilasan di Sambirejo dan kesaktian Ki Joko Budug.

Solopos.com, SRAGEN — Suasana hening terasa saat Solopos.com tiba di sebuah gubuk beratap daun rumbia di Dusun Gamping, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. Gubuk tua itu berada tak jauh dari Sendang Gampingan yang memiliki mata air hangat.

Advertisement

Beberapa orang datang untuk berziarah. Di gubuk itu, terdapat petilasan Ki Joko Budug yang memiliki nama lengkap Raden Haryo Bangsal, putra Raja Majapahit.

Sugiyono, warga sekitar, menceritakan asal-usul petilasan Ki Joko Budug yang sudah menjadi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat. Cerita bermula ketika Ki Joko Budug pergi dari kerajaan untuk bertualang. Dia tiba di sebuah permukiman di Desa Bayem Taman di kawasan Sine Ngawi.

Advertisement

Sugiyono, warga sekitar, menceritakan asal-usul petilasan Ki Joko Budug yang sudah menjadi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat. Cerita bermula ketika Ki Joko Budug pergi dari kerajaan untuk bertualang. Dia tiba di sebuah permukiman di Desa Bayem Taman di kawasan Sine Ngawi.

Di desa itu, Ki Joko Budug singgah di rumah Mbok Rondo Dadapan. Tak jauh dari permukiman itu terdapat Kerajaan Pohan. Saat itu musim kemarau datang. Pohon Pisang Pupus Cinde Mas kesayangan Raja Kerajaan Pohan layu.

Raja kemudian membuat sayembara. Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon Pisang Pisang Cinde Mas, jika laki-laki akan dijadikan menantu, jika perempuan akan dijadikan anak angkat.

Advertisement

”Terowongan bawah tanah itu masih bisa dijumpai hingga sekarang. Ujung terowongan itu berada di Kali Sawur yang memisahkan wilayah Sragen, Jawa Tengah dengan wilayah Ngawi, Jawa Timur,” jelas Sugiyono.

Terowongan yang dibuat Joko Budug itu mampu mengalirkan air dari sungai menuju taman tempat pohon pisang itu ditanam. Berkat bantuan ki Joko Budug, pohon pisang kesayangan raja itu tidak jadi layu. Raja Pohan pun berencana mengawinkan Joko Budug dengan putrinya.

Persoalannya, raja tidak mau menerima Joko Budug sebagai menantu selama kulitnya masih dipenuhi penyakit kulit, budug atau gudik. Raja kemudian memerintahkan seorang patih untuk memandikan Joko Budug di Sendang Gampingan.

Advertisement

Sayang, patih itu mengalami gangguan pendengaran. Perintah raja untuk mbilasi [membersihkan dengan air] didengar patih untuk nelasi [menghabisi]. Oleh patih, Joko Budug akhirnya dihabisi nyawanya di dekat Sendang Gampingan.

Di dekat sendang itu, patih memerintahkan prajurit untuk membuat kubur atau liang lahat. Kubur itu dibuat seukuran orang biasa. Keanehan muncul ketika jasad Joko Budug hendak dikubur.

Liang Lahat

Advertisement

Liang lahat itu tidak cukup besar untuk menampung jasad Joko Budug. Meski panjang liang lahat ditambah menjadi 11 meter, jasad Joko Budug tetap tidak bisa dimasukkan.

”Menurut wangsit yang didapat sepepuh kerajaan, Joko Budug bersedia dimakamkan asalkan berada satu liang dengan calon istrinya yang tak lain putri raja,” terang Sugiyono.

Sejak saat itu, Joko Budug tidak jadi dimakamkan di dekat Sendang Gampingan. Jasadnya kemudian dipindah ke Gunung Liliran yang berada tak jauh dari Kerajaan Pohan. Berita kematian Joko Budug akhirnya didengar Raja Majapahit. Raja kemudian memerintahkan pemindahan jasad Joko Budug dari Gunung Liliran ke Kerajaan Majapahit. ”Jadi, petilasan Ki Joko Budug itu ada di Dusun Gamping dan Gunung Liliran. Sampai sekarang, dua tempat itu biasa menjadi rujukan warga untuk berziarah,” jelas Sugiyono.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif