Kolom
Minggu, 3 Juli 2016 - 06:15 WIB

GAGASAN : Audit Menyeluruh Pelayanan Imunisasi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Giat Purwoatmodjo (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (30/6/2016), Giat Purwoatmodjo. Dosen di Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Jajaran Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri) menangkap 13 orang karena terlibat pembuatan dan peredaran vaksin palsu.

Advertisement

Para tersangka ditangkap pada Kamis (16/6) di delapan lokasi terpisah seperti Tangerang Selatan, Jakarta, Bekasi, dan Subang. Mereka berperan sebagai produsen, kurir, penjual atau distributor, serta pencetak label ampul vaksin.

Polisi menggerebek empat lokasi produksi vaksin palsu. Dua orang yang menjadi produsen vaksin palsu ini ditangkap di perumahan elite Kemang Pratama Regency, Bekasi, Selasa (21/6) malam (Solopos, 27/6).

Saat ini peredaran vaksin palsu ditengarai merambah hingga enam provinsi, yakni Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Banten, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, dan Sumatra Utara (Solopos, 28/6).

Advertisement

Berita peredaran vaksin palsu membuat masyarakat tersentak, marah, khawatir, bahkan sampai mengutuk pelaku. Sebagian masyarakat menuntut mereka dihukum mati. Reaksi masyarakat sangat bisa dipahami.

Mereka khawatir anak, cucu, keponakan, hingga kerabat yang masih bayi berisiko jadi korban imunisasi memakai vaksin palsu. Muncul ketakutan imbas negatif dari vaksin palsu bisa berujung pada sakit yang membahayakan atau malah memicu kondisi fatal.

Memerhatikan  reaksi masyarakat tersebut, kasus vaksin palsu seyogianya ditafsirkan aparat sebagai tindakan pidana yang luar biasa karena berdampak langsung kepada masyarakat, menyangkut keselamatan nyawa manusia.

Advertisement

Vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc.-VPCD mengatakan pemberian vaksin palsu pada bayi dapat memiliki dua dampak negatif. Pertama, dampak keamanan vaksin, mengingat proses pembuatan yang tidak steril, rentan tercemar virus, bakteri, serta menyebabkan infeksi.

Kedua, bayi yang diberi vaksin palsu tidak akan memiliki proteksi atau kekebalan seperti yang diharapkan. Kasus vaksin palsu yang sejauh ini terungkap dikhawatirkan seperti fenomena gunung es. Artinya yang tertangkap baru sebagian kecil dari puluhan atau mungkin ratusan pelaku serupa di seluruh negeri ini.

Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, produksi vaksin palsu diduga berlangsung sejak 2003. Bisa dibayangkan dalam kurun 13 tahun terakhir, berapa banyak bayi diberi vaksin palsu dari unit pelayanan kesehatan negeri dan swasta. [Baca selanjutnya: Tanggung Jawab]Tanggung Jawab

Ironisnya, dalam wawancara di Metro TV Senin (27/6) Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F. Moeloek dan Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid terkesan saling lempar tanggung jawab atas kemunculan vaksin palsu.

Menurut Menkes, pengawasan distribusi dan pengawasan vaksin adalah tugas BPOM. Menurut Pelaksana Tugas Kepala BPOM , masalah vaksin palsu adalah masalah pidana, bukan masalah distribusi dan pengawasan.  Sebetulnya sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 42/2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.

Dalam Pasal 26 ayat (1) diatur pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota wajib melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan imunisasi wajib secara berkala, berkesinambungan, dan berjenjang.

Artinya, masalah pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan imunisasi  dilaksanakan pemerintah daerah melalui dinas teknis, yaitu dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota secara  berjenjang, bahkan sampai pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Pertanyaannya, apakah kegiatan pemantauan dan evaluasi sesuai Permenkes No. 42/2013 sudah dilaksanakan dengan baik? Dalam Pasal 38 ayat (2) Permenkes No. 42/2013 diatur pembinaan dan pengawasan sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan imunisasi.

Dengan demikian tugas dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya mencacat cakupan hasil imunisasi, namun  termasuk mengawasi kualitas pelayanan imunisasi. Adanya vaksin palsu di suatu unit pelayanan kesehatan seharusnya terpantau apabila pengawasan dilakukan secara efektif.

Dari informasi kolega saya di dinas kesehatan kabupaten/kota di kawasan Soloraya, frekuensi pengawasan imunisasi untuk setiap rumah sakit rata-rata setahun sekali. Hal ini tentu patut dipertanyakan. Apakah frekuensi pengawasan terhadap unit pelayanan imunisasi, utamanya di rumah sakit, setahun sekali  sudah memadai?

Belum lagi masalah kualitas pengawasan tersebut. Apakah sudah komprehensif, yakni meliputi pencatatan pelaporan, penyimpanan, keaslian vaksin, dan sebagainya? [Baca selanjutnya: Pasokan Vaksin Imunisasi]Pasokan Vaksin Imunisasi

Jika ditengok ke belakang, kebijakan pemerintah dalam pelayanan imunisasi kepada masyarakat dibagi dua, yaitu imunisasi wajib dan imunisasi pilihan.

Imunisasi wajib, merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk individu sesuai dengan kebutuhan dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat dari penyakit menular tertentu.

Pelayanan imunisasi wajib oleh pemerintah sifatnya massal,  dilaksanakan di puskesmas, pos pelayanan terpadu (posyandu), sekolah, dan pos pelayanan imunisasi lainnya.

Imunisasi pilihan/perseorangan adalah imunisasi yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu.

Pelayanan imunisasi perseorangan, utamanya di sektor swasta,  dilaksanakan di rumah sakit swasta, klinik, dokter, dokter spesialis, bidan, dan pelayanan kesehatan lainnya.

Jenis imunisasi dasar yang wajib diberikan adalah BCG, DPT-HB atau DPT-Hb-Hib, Hepatitis B, Polio, dan Campak. Jenis imunisasi pilihan/perseorangan  yang ditetapkan Menkes adalah haemophillus influenza tipe b (Hib), pneumokokus, rotavirus; influenza; varisela, measles mumps rubella, demam tifoid, hepatitis A, human papilloma virus (HPV), dan japanese encephalitis.

Daftar imunisasi tersebut masih memungkinkan ditambah lagi sesuai rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional. Pelayanan imunisasi di unit pelayanan pemerintah sebetulnya relatif aman karena distribusi vaksin berasal dari PT Bio Farma yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) produsen vaksin.

Sedangkan penyediaan logistik seperti auto disable syringe, safety box, cold chain, emergency kit, dan dokumen pencatatan berasal dari pemerintah daerah. Selain itu, pelayanan imunisasi pemerintah sudah dilaksanakan puluhan tahun dengan sumber daya manusia (SDM) pengelola program imunisasi yang relatif baik.

Dengan demikian, yang lebih rentan memperoleh pasokan vaksin bermasalah adalah pelayanan imunisasi di sektor swasta. Selain karena minimnya pengawasan pemerintah, ditambah lagi penyelenggara jasanya dapat membeli vaksin sendiri selain dari PT Bio Farma.

Masalah lain adalah kadang-kadang terjadi keterlambatan pasokan vaksin. Pasokan vaksin untuk rumah sakit besar biasanya dilakukan oleh dinas kesehatan setempat. Adapun klinik, dokter, dokter spesialis, bidan, vaksin untuk imunisasi wajib biasanya dipasok dari puskesmas setempat.

Pelayanan imunisasi wajib di unit pelayanan swasta dikenai tarif yang bervariasi, mulai dari puluhan ribu rupiah hingga ratusan ribu rupiah, sehingga pasokan vaksin akan sangat menentukan mahal tidaknya biaya.

Praktik yang terlalu berorientasi profit ini dipicu belum adanya regulasi yang mengatur jasa pemberian imunisasi secara nasional untuk sektor swasta. [Baca selanjutnya: Kejahatan]Kejahatan

Akar masalah fenomena vaksin palsu sudah cukup jelas, yaitu kurang efektifnya pengawasan dari pemerintah, khususnya dari Kemenkes, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan puskesmas terhadap pelayanan imunisasi, terutama di pelbagai jenjang fasilitas kesehatan.

Celah ini sangat mungkin disalahgunakan untuk memproduksi vaksin palsu. Lemahnya pengawasan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan jajarannya, sangat mungkin disebabkan keterbatasan SDM, dana, dan lain sebagainya untuk mengawasi pelayanan imunisasi secara menyeluruh.

Dalam menyikapi kasus vaksin palsu diperlukan respons cepat pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Langkah paling tepat adalah audit pelayanan imunisasi di semua jenjang, baik dari  unit pelayanan pemerintah maupun swasta.

Pelaksanaan audit dilakukan berjenjang oleh jajaran Kemenkes, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan puskesmas sesuai dengan otoritas wilayah masing-masing. Intinya, semua unit pelayanan imunisasi wajib diaudit, tanpa kecuali.

Meskipun imunisasi yang ditangani langsung pemerintah relatif aman, namun tetap perlu dilakukan audit sebagai antisipasi apabila ada orang yang bermain jual beli vaksin produksi negara. Masih sangat mungkin orang-orang di dinas terkait mengganti vaksin asli dengan vaksin palsu untuk meraih keuntungan.

Untuk unit pelayanan imunisasi sektor swasta perlu ditelusuri asal pembelian vaksin, uji potensi vaksin, serta  dipastikan bahwa semua vaksin beredar di fasilitas kesehatan harus memenuhi standar WHO. Indikatornya memiliki certificate of release (CoR) yang diterbitkan  BPOM.

Hasil audit ini perlu segera dipublikasikan oleh Kemenkes kepada publik secepat mungkin sehingga isu vaksin palsu tidak semakin merisaukan masyarakat. Tentu saja, pihak yang terlibat peredaran vaksin palsu harus diberi hukuman maksimal sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.

Masyarakat mendambakan generasi penerus yang sehat jasmani, rohani, dan sosial, tanpa diliputi rasa waswas dan khawatir yang tidak perlu akibat vaksin palsu. Membuat dan menjual vaksin palsu adalah kejahatan luar biasa.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif