News
Kamis, 23 Juni 2016 - 21:03 WIB

PENERTIBAN NELAYAN ASING : Rapat di KRI Imam Bonjol, Cara Jokowi Tantang Manuver China di Natuna

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Solopos/Antara/M. Risyal Hidayat)

Penertiban nelayan asing mendapat adangan China. Manuver di Natuna ini ditanggapi Indonesia dengan tegas, menggelar rapat di KRI Imam Bonjol.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memainkan kartu penting dalam perang urat syaraf dan chicken game yang dimulai oleh China. Kepala Negara menggelar Rapat Terbatas terkait Kepulauan Natuna di atas salah satu jagoan Indonesia di perairan dangkal, KRI Imam Bonjol, pada Kamis (23/6/2016) siang.

Advertisement

Secara tidak langsung, langkah Jokowi ini menunjukkan sikap Indonesia yang tidak gentar terhadap manuver China. Ratas ini sendiri diselenggarakan hanya sepekan setelah keberatan dilemparkan oleh Kementerian Luar Negeri China soal insiden penembakan kapal nelayan tradisional mereka oleh TNI Angkatan Laut pada 17 Juni 2016.

Tak tanggung-tanggung, Jokowi melancarkan diplomasi yang dalam cakrawala politik internasional dikenal sebagai diplomasi kapal perang alias gunboat diplomacy. Selainkan membutuhkan kemampuan verbal, diplomasi ini juga menyelipkan gertakan karena didukung dan menampilkan secara implisit kekuatan militer. Diplomasi ini juga merupakan tahap lanjut dari diplomasi preventif, diplomasi publik (public diplomacy) dan diplomasi soft power.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan juga telah melemparkan isyarat sikap tegas ini. Luhut menyatakan, kedaulatan Indonesia di perairan Natuna tidak bisa ditawar-tawar. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga menyatakan hal yang serupa.

Advertisement

Selain Luhut, anggota Kabinet Kerja yang hadir dalam ratas ini adalah Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Penyebabnya, pada 19 Juni 2016 atau dua hari setelah insiden, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying secara resmi menyampaikan peringatan yang cukup keras kepada otoritas Indonesia. Hua Chunying mengatakan, langkah angkatan laut Indonesia adalah bentuk penyalahgunaan kekuatan militer, memanaskan kemelut Laut China Selatan, sekaligus mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan.

Sinyal itu dikirimkan dengan terang. Ketika membuka ratas, Presiden berpesan agar patroli dan penjagaan kawasan Natuna harus ditingkatkan. “Saya minta kemampuan TNI dan Bakamla [Badan Keamanan Laut] dalam menjaga laut harus lebih ditingkatkan, baik dalam hal kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya,” kata Presiden.

Advertisement

Mohamad Rosyidin, analis politik internasional Undip, menjabarkan gunboat diplomacy ini adalah salah satu sikap Jokowi yang paling jelas dalam menangani kemelut Laut China Selatan. Pasalnya, Rosyidin mengemukakan insiden di perairan yang sama berpotensi terulang karena ada masalah mendasar yang membuat kedua pemerintahan hampir tidak mungkin bisa selaras.

Ketika Indonesia menggunakan payung hukum internasional seperti UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), lanjutnya, China menggunakan perspektif wilayah perikanan tradisional (traditional fishing grounds) yang tidak tercantum dalam hukum internasional. Akibatnya, peristiwa saling klaim terhadap wilayah perairan Natuna akan terus terjadi.

Terkait kemelut Laut China Selatan, Rosyidin menerangkan Indonesia memiliki keuntungan karena bukan negara-negara yang bersengketa dengan China atas klaim kedaulatan wilayah atau claimant states, seperti Vietnam dan Filipina.

Dengan demikian, dia menyampaikan, secara administrasi Jokowi tetap bisa mengelola kepentingan tanpa harus terlalu bersandar kepada desain besar China dan AS dalam perebutan pengaruh di regional Asia Tenggara. Persis seperti yang diistilahkan oleh Mohammad Hatta sebagai “Mendayung di antara Dua Karang”.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif