Kolom
Kamis, 23 Juni 2016 - 06:30 WIB

GAGASAN : Dilema Brexit

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Edi Maszudi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (22/6/2016), ditulis Edi Maszudi. Penulis adalah dosen di STIE YKP Jogja yang juga seorang peminat isu ekonomi dan politik Internasional.

Solopos.com, SOLO — Bagi Inggris dan Uni Eropa (UE), Brexit adalah dilema. Mengapa demikian? Pemerintahan Perdana Menteri David Cameron, 23 Juni 2016 besok, menggelar referendum untuk penentuan Inggris tetap bergabung dengan UE atau meninggalkan UE.

Advertisement

Brexit atau British exit adalah istilah bagi yang pro atau setuju Inggris keluar dari Uni Eropa. Kelompok pro Brexit mempunyai harapan sebab berdasarkan jajak pendapat mereka unggul 5%-6% dari kelompok yang kontra.

Elite politik di Partai Buruh, Partai Konservatif, dan kerajaan menginginkan Inggris tetap bersama European Union. Sepekan menjelang hari pelaksanaan jajak pendapat, nilai mata uang poundsterling jatuh. Rakyat Inggris lebih suka membeli emas.

Ada anggota parlemen tewas setelah berdebat ihwal Brexit. Ada ribuan warga Inggris yang ingin menjadi warga Prancis jika kubu pro Brexit yang menang dalam referendum besok. Menurut pemahanan saya, ada lima dilema yang harus dihadapi Inggris, UE, dan dunia internasional bila benar-benar kelompok leave atau pro Brexit yang menang.

Pertama, Brexit akan memicu perpecahan di United of Kingdom (UK). Irlandia dan Skotlandia ingin melakukan referendum lagi untuk pisah dengan Inggris. Masalah Irlandia dan Skotlandia selama ini menghabiskan energi Inggris dan berpotensi muncul lagi. Perang saudara bisa terjadi.

Kedua, UE tanpa Inggris akan kehilangan satu kursi yang kuat. UE mempunyai 28 negara anggota, tetapi Inggris adalah salah satu kaki yang kuat menopang UE selama ini. Keluarnya Inggris dari UE akan membuat UE pincang, oleng, dan goyah.

Sekarang UE menghadapi masalah besar, yakni implikasi krisis Yunani dan kedatangan pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang lebih dari 1,2 juta orang yang membuat UE terbelah. Ada yang ramah dengan pengungsi dan ada yang sangat keras terhadap pengungsi.

Ketiga, keluarnya Inggris dari UE akan disusul Swedia. Rakyat Swedia sekarang sedang menggagas Swexit. UE akan menjadi macan ompong, apalagi Jerman, Prancis, dan Italia tidak bisa kompak menyikapi sikap Inggris lewat Brexit.

Advertisement

Bila Inggris keluar dari UE, sikap politik juga akan diambil UE untuk memberikan pelajaran terhadap Inggris walaupun nilai perdagangan Inggris dengan UE mencapai 50%. Keempat, ketiadaan satu kata antara Inggris dan UE dalam menyikapi perkembangan terorisme akan mempermudah para teroris masuk ke jantung Eropa.

Masalah terorisme punya sejarah yang panjang di Eropa yang pernah menjajah Timur Tengtah dan Afrika. Masalah ini tidak akan selesai bila masing-masing negara mempunyai standar yang berbeda dalam memandang terorisme.

Kelima, akan terjadi guncangan ekonomi, financial, dan investasi di Inggris. Bila ini yang terjadi, angka pengangguran akan meningkat dan stabilitas sosial akan terganggu. Inggris adalah negara favorit tujuan para pengungsi karena negara ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pengungsi. Setelah Brexit, bisa sebaliknya.

Ibarat tubuh manusia, UE sekarang ini sedang sakit. Krisis ekonomi Yunani adalah pemicunya. Kedatangan 1,2 juta orang pengungsi menambah beban benua biru itu. Aksi terorisme internasional menambah luka Eropa. Antarnegara saling curiga dan tidak saling percaya.

Isu referendum di Inggris memunculkan gejolak di Eropa beberapa bulan terakhir. Poundsterling sebagai mata uang paling kuat rontok oleh isu Brexit. Rakyat Inggris sekarang ini lebih percaya kepada emas sebagai investasi, bukan mata poundsterling.

Selama ini rakyat Inggris dibebani pajak yang tinggi. Uang pajak tersebut diberikan kepada rakyat negara lain anggota UE yang tingkat ekonominya di bawah, seperti Yunani, Spanyol, dan Portugal. Rakyat Inggris marah. Dengan bergabung dengan UE, beban hidup mereka bertambah dan tidak tambah sejahtera.

Subsidi negara banyak dinikmati imigran, bukan penduduk asli. Pada tataran high politic, Inggris kalah bersaing dengan Jerman dan Prancis untuk menjadi pemain inti UE, padahal dalam perspektif sejarah Inggris adalah pemenang perang dunia kedua dan menjadi negara yang mampu menegakkan kepala di panggung internasional.

Advertisement

Peran Inggris sekarang menurun. Munculnya Tiongkok, India, Rusia, dan Indonesia menjadi pemain baru di politik internasional dan siap menjadi pusat peradaban dunia akan membuat Inggris semakin di ambang senja. Posisi Inggris yang cukup signifikan di UE dan dalam konstelasi global mengakibatkan Brexit tidak hanya dirasakan dalam negeri dan UE. [Basa selanjutnya: Era Meredup]Era Meredup

Yang paling terpengaruh secara langsung adalah Eropa sebab Inggris adalah negara yang tingkat perekonomiannya tersolid di Eropa. Isu Brexit sempat memicu arus modal keluar dari UE. Kurang lebih 50% perdagangan luar negeri Inggris adalah dengan UE. Orang melihat sebagai peluang dan ancaman untuk Inggris sendiri maupun masa depan UE.

Lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) juga khawatir dengan Brexit. Sebagai lembaga moneter internasional yang menikmati banyak keuntungan dari hubungan harmonis Inggris dan UE, IMF jelas tidak rela stabilitas yang tercipta goyah dan terguncang. IMF memperingatkan agar Inggris tetap bersama UE.

Dalam laporan tahunannya, IMF yang berkantor di Washington DC itu meramalkan Inggris akan jatuh dalam resesi setelah meninggalkan UE. Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Inggris diprediksi turun 5,6% pada tahun depan. Seiring dengan perekonomian Inggris yang memburuk, angka pengangguran juga akan meningkat.

IMF menyebut angka pengangguran bakal menembus 6%. Keluar dari UE akan menciptakan ketidakpastian yang berdampak buruk pada investasi dan iklim usaha. Pasar keuangan juga akan labil. ”We want our country back. Vote to Leave”. Inilah yang dijadikan visi utama kelompok pro Brexit. Salah satu pendukung kelompok ini adalah Partai Kemerdekaan Inggris yang dipimpin Nigel Farage.

Menurut jajak pendapat ICM untuk Guardian, kubu pro Brexit unggul 53% berbanding 47%. Artinya, rata-rata dalam enam jajak pendapat yang dikompilasi oleh What UK Thinks menempatkan kubu Brexit unggul 52%. Sebenarnya partai yang dominan di Inggris, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservetif, mendukung Inggris tetap dalam UE. Sayangnya elite kedua partaiini terbelah.

Bagi kelompok leave, UE adalah sosok yang digambarkan sebagai rakus, boros, dan tukang gertak. Inggris harus membebaskan dirinya dari kediktatoran Brussels, simbol markas UE. Akan terjadi goncangan yang cukup besar di sektor ekonomi, politik, sosial baik di tingkat lokal (Inggris), regional (UE), dan global bila kelompok pro Brexit memenangi jajak pendapat ini.

Advertisement

Isu Brexit telah memakan korban. Pada Jumat, 17 Juni 2016 lalu, anggota parlemen dari Partai Buruh, Jo Cox, ditembak dan ditikam setelah berdebat mengenai Brexit dengan seorang lelaki yang bernama Thomas Mair. Thomas Mair terbukti mengalami gangguan jiwa, akan tetapi isu Brexit membawa Inggris ke tepi jurang perpecahan.

Bila kelompok pro Brexit atau kelompok leave mampu memenangi referendum, masa depan Inggris, Eropa, dan politik Barat di ambang senja (sunset era). Mengapa demikian? Menurut saya ada tiga alasan. Pertama, UE akan mengalami kemunduran. Dengan adanya blok perdagangan bebas di Eropa, benua biru tersebut menjadi model integrasi ekonomi hingga politik.

Keluarnya Inggris dari UE akan merusak semua tatanan yang sudah mapan. Krisis Eropa akan semakin panjang dan berdarah. Setelah Brexit akan muncul Swexit atau Swiss exit dan negara-negara lain yang mempunyai hubungan dekat dengan Inggris.

Kedua, bila Irlandia dan Skotlandia juga keluar dari persatuan UK, Inggris akan semakin lemah. Untuk menghadapi Rusia, Tiongkok, dan India seharusnya persatuan yang diutamakan. Perpecahan internal di Inggris akan membuat negara ini semakin mengecil perannya di panggung politik global.

Ketiga, era Eropa sebagai pusat dunia sebenarnya sudah berakhir pascaperang dunia kedua. Amerika Serikat (AS) sebagai pusat dunia sekarang ini juga mulai goyah. Munculnya UE diharapkan mampu membawa Eropa sebagai pusat dunia, tetapi tampaknya justru berakhir dengan Brexit.

Tiongkok (yang mempunyai penduduk 1,3 miliar jiwa akan terus menguat. Begitu Jepang dengan kekuatan ekonomi dan kebangkitan militernya serta India yang sudah tidak bisa diremehkan dalam penguasaan teknologi informasi dan militer. Negara-negara ini siap menggantikan peran Inggris dan Eropa sebagai pusat dunia yang baru.

Ibarat permainan kartu, kejatuhan Inggris lewat Brexit akan diikuti jatuhnya kartu yang lain sebab implikasi Brexit akan berdampak luas. Implikasinya tidak hanya masalah ekonomi, sosial, dan politik, tetapi juga masalah peradaban yang bernama Eropa atau Barat yang selama ini menjadi panutan dunia internasional. [Baca selanjutnya: Positif dan Negatif]Positif dan Negatif

Advertisement

Sebagai negara yang merdeka, Inggris keluar dari UE tidak perlu khawatir sebab masih bisa berhubungan dengan UE dengan model lain. Menurut saya, ada enam keuntungan bila kubu pro Brexit yang menang. Pertama, Inggris tidak perlu membayar uang iuran UE.

Pemerintah Inggris akan lebih berhemat. Pada 2015 yang lalu Inggris berkontribusi 8,5 miliar poundsterling. Nilai yang tidak sedikit tentunya. Kedua, Inggris bebas menyusun aturan kesepakatan perdagangan tanpa campur tangan UE. Inggris akan lebih lincah dalam bergerak dan menangkap peluang.

Ketiga, Inggris akan mempunyai kedaulatan penuh. UE mirip negara dalam negara yang mengurangi kedaulatan negara anggotanya. Keempat, arus imigrasi bisa dipotong dan perbatasan bisa dikontrol. Selama ini penduduk negara-negara UE bebas bekerja di Inggris yang pada akhirnya berimbas pada pengeluaran negara.

Kelima, bila investasi naik pasca-Brexit, lapangan pekerjaan akan bertambah. Bila ini yang terjadi maka jumlah penggangguran akan berkurang. Ekonomi akan tumbuh dan negara bisa menikmati pajak untuk kesejahteraan rakyat.

Keenam, Inggris bisa membangun kekuatan ekonomi, politik, pertahanan, keamanan tanpa campur tangan UE. Sekarang ini peran Inggris terhadap perdamaian dunia internasional cenderung menurun. Inggris berada di belakang UE dan AS. Kubu pro Brexit akan menata ulang nasionalisme dan internasionalisme Inggris.

Menurut saya ada sembilan kerugian bila Inggris keluar dari UE. Pertama, ekspor dan impor ke dan dari negara-negara UE akan dikenai tarif, padahal selama ini gratis. Lebih dari 50% ekspor Inggris ditujukan ke negara-negara anggota UE.

Kedua, UE sedang bernegoisasi dengan AS tentang area perdagangan bebas terbesar di dunia. Hal ini akan menguntungkan pebisnis Inggris. Bila Brexit yang terjadi, kesepakatan ini tidak bisa direalisasikan. Ketiga, diperkirakan perekonomian Inggris turun 2,2%dari keseluruhan total produk domestik bruto (PDB) pada 2030.

Advertisement

PDB bisa naik jika Inggris melakukan negosiasi pasar bebas dengan Eropa tanpa harus menjadi anggota UE. Keempat, UE diperkirakan akan mempersulit kebijakan-kebijakan yang diambil Inggris setelah keluar dari keanggotaan UE. Kelima, panggilan telepon ke negara-negara UE akan dikenai roaming atau tarif, padahal selama ini tidak.

Keenam, bila warga Inggris mengujungi negara-negara UE, kemungkinan harus menggunakan visa. Selama ini, kunjungan ke negara-negara anggota UE bebas visa. Ketujuh, bila investasi menurun maka ribuan peluang pekerjaan akan hilang. Kedelapan, tidak akan bisa lagi bertukar informasi dengan negara anggota UE tentang rekam jejak pelaku kriminal, penumpang pesawat, dan teroris.

Kesembilan, Inggris akan menjadi negara terkucil di Eropa, bahkan Irlandia dan Skotlandia ingin melakukan referendum ulang agar bisa merdeka dari Inggris Raya (UK). Sebenarnya masih banyak pola yang bisa digunakan Inggris ketika keluar dari UE.

Paling tidak ada empat pola hubungan yang bisa diadaptasi Inggris setelah bercerai dengan Uni Eropa, yaitu pola hubungan UE dengan Norwegia, pola hubungan UE dengan Swiss, pola hubungan UE dengan Kanada, atau pola hubungan UE dengan World Trade Organization (WTO).

Tiga negara d iatas bukan anggota UE, tapi mempunyai hubungan yang mesra dengan UE. Walaupun Inggris akan mengalami goncangan politik yang cukup kuat sebagai negara eks superpower abad ke-19, Inggris harus berbenah sehingga Brexit tidak merusak masa depan hingga menurunnya peradaban di Barat. Brexit membawa dilema yang besar bagi peradaban Barat dan masa depan Inggris bila kubu leave yang menang.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif