Jogja
Rabu, 22 Juni 2016 - 10:40 WIB

MUSIBAH LONGSOR : Warga Daerah Rawan Diminta Patuhi Peringatan Zona Bahaya

Redaksi Solopos.com  /  Sumadiyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Petugas TNI, Polri, sukarelawan dan warga mengevakuasi sepeda motor yang tertimbun tanah longsor di Caok, Loano, Purworejo, Jawa Tengah (Jateng), Senin (20/6/2016). Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan saat ini tercatat sebanyak 43 orang tewas, 19 belum ditemukan, puluhan orang luka-luka serta ribuan rumah rusak akibat banjir dan longsor di sejumlah wilayah di Jawa Tengah. (JIBI/Solopos/Antara/Andreas Fitri Atmoko)

Zona bahaya, yang ditandai dengan zona oranye atau zona merah seharusnya tidak digunakan menjadi wilayah budi daya.

Harianjogja.com, SLEMAN-Pakar bencana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dwikorita Karnawati beserta tim yang dipimpinnya pada Selasa (21/6/2016) mengingatkan masyarakat untuk patuh terhadap adanya peringatan zona bahaya dan rawan bencana dalam tata ruang wilayah.

Advertisement

Rita mengungkapkan, sesungguhnya pemetaan zona bahaya bencana telah disusun oleh masing-masing daerah. Pemetaan tersebut seharusnya kemudian diintegrasikan ke pemetaan tata ruang. Zona bahaya, yang ditandai dengan zona oranye atau zona merah seharusnya tidak digunakan menjadi wilayah budidaya, misalnya permukiman penduduk.

Meski demikian, ada beragam alasan yang membuat orang tetap memilih tinggal di wilayah rawan tersebut, mulai dari ekonomi, sosial dan lainnya. Ketika persoalan ini muncul, hanya ada satu langkah yang menjadi fase utama yang harus bisa diambil oleh masyarakat, yaitu patuh terhadap tanda-tanda dan mampu beradaptasi dengan wilayah rawan tersebut. Salah satu cara adaptasi, misalnya warga yang tinggal di kawasan rawan bencana longsor adalah pengetahuan mengenai berbagai macam lereng dan gerakan tanah.

Pengetahuan ini penting setidaknya sebagai langkah kesiapsiagaan dan meminimalisir jumlah korban atau resiko bencana. Di wilayah dengan bentuk dan sifat lereng tanah tertentu, sangat diperlukan penerapan pengosongan wilayah sempadan lereng, atau tidak adanya permukiman di wilayah sempadan lereng ini. Luasan sempadan lereng minimal satu setengah kali tinggi lereng yang berpotensi jatuh atau longsor. Dengan begitu, apabila terjadi longsor, maka tidak akan terjadi korban yang besar akibat longsornya lereng tersebut, karena wilayah sempadan berada dalam kondisi kosong.

Advertisement

“Selain mengetahui jenis lereng, dan patuh terhadap tanda zona bahaya, jangan menanam tanaman yang ‘berat’ seperti jati atau bambu di lereng bagian atas, tanaman yang bersifat berat itu akan memberikan beban bagi tanah lereng. Ketika lereng telah dimasuki air karena hujan, terlebih kemudian diguncang gempa, maka berat tanaman tadi akan membuat tanah semakin mudah longsor,” kata dia, dalam temu media di ruang rapat rektorat UGM.

Penghijauan di lereng memang dibenarkan, meski demikian ia menyarankan agar tanaman yang ditanam adalah jenis seperti sengon atau tanaman lain yang berakar tunggang dan dapat menembus lapisan tanah lereng yang berupa batuan keras. Tanaman jati sesungguhnya dapat membantu menahan air dan menahan beban tanah lereng, namun tanaman-tanaman tersebut harus ditanam secara jarang atau dalam jarak tertentu antar pohon. Tanaman bambu justru bisa ditanam di lereng bagian bawah untuk menahan tanah, atau agar ketika terjadi longsor, tanah tidak meluncur begitu jauh.

Disinggung mengenai bencana longsor di Purworejo, ia menyebut longsor disebabkan terjadinya hujan deras yang mengguyur lereng bukit yang cukup tajam, kala itu curah hujan di wilayah setempat mencapai 130 milimeter. Air hujan tersebut meresap dalam susunan tanah lereng bagian atas yang gembur, sedangkan lapisan terbawah tanah lereng adalah tanah keras.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif