Kolom
Minggu, 19 Juni 2016 - 09:00 WIB

GAGASAN : Simtom Primordial di Euro 2016

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Naufil Istikhari Kr (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (18/6/2016), ditulis Naufil Istikhari Kr. Penulis adalah esais dan penyuka sepak bola yang tinggal di Jogja.

Solopos.com, SOLO”The world of sport has long been, and remains, a space where politics—and indeed racism and bigotry—looms strong.” (Khaled A. Beydoun)

Advertisement

Banyak yang terkejut ketika Didier Deschamp tanpa sedikit cemas memilih berjudi dengan mengeliminasi sosok penting Karim Benzema di Euro 2016. Tak hanya Benzema, sejumlah pemain papan atas Prancis semacam Samir Nasri, Franck Ribery, dan Hatem Ben Arfa hilang dari daftar skuad.

Manuver Deschamp tentu saja cepat menggelinding bak bola salju. Pelbagai spekulasi datang berhambur. Deschamp telah menyiapkan seikat alasan untuk menjawabnya bahwa tidak dipanggilnya nama-nama tenar tersebut lebih dikarenakan faktor-faktor personal yang diklaim nonpolitis.

Benzema, misalnya, dicoret karena lebih dulu terjerat kasus rekaman seks dan pemerasan terhadap rekan sesama anggota tim nasional, Mathieu Valbuena. Dalih Deschamp mendapat legitimasi politis dari Manuel Valls.

Advertisement

Menurut Perdana Menteri Prancis ini, alasan tidak dipanggilnya Benzema tidak ada kaitan sama sekali dengan motif rasial. Benzema memang selayaknya tidak dipanggil karena dia masih berurusan dengan hukum. Kasus yang hampir sama juga terjadi pada Ribery.

Untuk sementara, mungkin alasan itu dapat kita terima. Lalu, bagaimana dengan Ben Arfa dan Nasri? Dua orang ini tidak ada masalah dengan hukum, tapi toh tetap tak dipanggil, dengan alasan—meski terkesan dipaksakan—kepribadian mereka tidak cocok untuk kemajuan tim nasional Prancis.

Remi Piet, seorang guru besar Kebijakan Publik Universitas Qatar, yang menulis artikel bertajuk France, Football, and Racism: The Karim Benzema Affair di laman opini Aljazeera.com (11/16) mendukung alasan moral tersebut.

Baginya, tuduhan yang dilayangkan Benzema tidak memiliki dasar. Jika rasisme menjadi alasan, Partrice Evra (Senegal), Steve Mananda (Kongo), Adil Rami (Maroko), dan Samuel Umtiti (Kamerun) juga tidak akan masuk ke dalam skuat tim nasional Prancis.

Advertisement

Tidak dipilihanya Benzema, Ben Arfa, Nasri, dan Ribery, menurut Peit, tak lain karena sikap dan karakter mereka yang tidak mengandung keteladanan. Di antara mereka ada yang tersandung kasus skandal seks dan pemerasan, pemakaian jasa pelacur di bawah umur, dan sikap-sikap yang nirteladan.

Bekas pemain tim nasional Prancis, Eric Cantona, menolak keras pertimbangan moral dalam sepak bola. Ketika dimintai tanggapan tentang kasus Benzema, Cantona berujar, ”Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tetapi, satu hal yang penting bahwa Benzema dan Ben Arfa adalah dua pemain terbaik Prancis yang secara menyedihkan tidak dimasukkan ke dalam skuat”.

Yang dibutuhkan dalam sepak bola adalah seni dan skill tinggi, bukan moral ataupun religi. Di akun Twitter miliknya, Benzema menulis, “Dua belas musim saya menjadi pemain profesional melalui 541 pertandingan, 0 kartu merah dan 11 kartu kuning. Dan saya disebut pemain yang tidak teladan!?” [Baca selanjutnya: Tak Sepele]Tak Sepele

Benzema tak kehilangan akal sehat. Ia tahu profesionalisme di lapangan hijau tidak bisa dikaitlekatkan dengan keseharian dia di luar lapangan. Sangat tidak masuk akal kategori moral menjadi ukuran dalam sepak bola.

Advertisement

Lagi pula, sejak kapan Prancis yang mengusung semboyan Liberte, Egalite, Fraternite mendadak menjatuhkan diri ke dasar jurang konservatisme etis? Rasa-rasanya memang benar dugaan Cantona bahwa ada simtom primordialisme yang tengah berembus di Prancis.

Ini memang tak dapat dianggap sepele. Teror bom yang mengguncang Paris pada November 2015, tepat saat laga persahabatan antara Jerman dan Prancis di Stadion Saint-Denis, memiliki andil besar dalam memasok kecemasan dan kebencian terhadap muslim.

Kebencian itu telah tumbuh sejak tragedi Charlie Hebdo yang terjadi Januri 2015 lalu. Harus diakui, suaca politik yang kurang bersahabat menyelimuti Prancis akhir-akhir ini. Sejak awal Juni, sejumlah buruh mogok massal.

Mereka protes terhadap ketimpangan ekonomi yang mengepung kaum buruh migran. Persis seperti Piala Dunia 2014 di Brasil, penyelenggaraan Euro 2016 di Prancis banyak yang mengecam. Bedanya, infrastruktur Prancis jauh di atas Brasil.

Advertisement

Di pihak lain, pamor Partai Front National menanjak di bawah pemerintahan Francois Hollande. Ini memberi pupuk bagi pertumbuhan ekses politik nasionalisme sayap kanan yang cenderung mengkristalisasi pandangan etno-primordialisme.

Deschamp yang diduga kuat dekat dengan Partai Front National membuat Benzema yakin bahwa unsur rasisme berperan penting dalam keterdepakan dirinya dari skuat tim nasional Prancis. Partai Front National memang memiliki pandangan keras terkait identitas kaum imigran di Prancis.

Benzema (juga Nasri) keturunan Aljazair, negara bekas jajahan Prancis yang menyumbang imigran terbanyak di negeri Menara Eiffel ini. Kaum imigran kebanyakan terkonsentrasi di pinggiran-pinggiran kota-kota di Prancis dan tingkat aksesibilitas politik mereka sering terbentur dengan ideologi Partai Front National yang memang memasang sentimen terhadap kaum imigran (muslim).

Sialnya, Benzema, Ben Arfa, Nasri, dan Ribery adalah keturunan imigran dan mereka muslim. Tiga yang pertama sama-sama keturunan Afrika Utara. Keluarga Benzeman dan Nasri berasal dari Aljazair, sementara Ben Arfa dari Tunisia.

Cantona tidak kaget ketika Benzema dan Ben Arfa tidak dipilih. Ia berkomentar,”So I’m not surprised he used the situation of Benzema not to take him. Especially after Valls said he should not play for France. And Ben Arfa is maybe the best player in France today. But they have some origins: North Africa.

Tentu saja Benzema sangat kecewa. Kepada Marca, ia berkata, ”his is one of the biggest disappointments I’ve had.” Kekecawaan Benzema dibalas cuek oleh pemuka Partai Front National, Marion Marechal-Le Pen.

Advertisement

”Lahir dan dibesarkan di negara kita, Benzema telah menjadi multijutawan berkat Prancis tempat ia meludah hari ini. Biarkan ia bermain untuk “negaranya” jika ia tidak senang,” kata Le Pen.

Nada komentar Le Pen terhadap apa yang menimpa Benzema, jika dirasa-rasakan, persis ungkapan Beydoun di awal tulisan ini: ia tengah menabalkan ruang tempat politik—rasisme dan fanatisme—tertenun kuat dalam olahraga.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif