Kolom
Rabu, 15 Juni 2016 - 06:30 WIB

GAGASAN : Ihwal Pulung Itu Berlebihan dan Ilusif

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (13/6/2016), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah saudagar buku dan pembaca karya sastra Jawa.

Solopos.com, SOLO — Pada masa 1920-an, para pembaca sastra biasa mengenang novel-novel terbitan Balai Poestaka. Ingatan cenderung ke novel-novel berbahasa Melayu atau Indonesia. Di bilik ingatan publik, sastra (berbahasa) Jawa mungkin ada di pinggiran.

Advertisement

Pada masa 1920-an, Balai Poestaka juga menerbitkan novel-novel berbahasa Jawa. Pada 1924, terbit novel berjudul Kirti Ndjoendjoeng Dradjat garapan Jasawidagda (1885-1958). Novel ini tipis, bercerita kemodernan dan kritik pada kepriayian.

Novel ini menghadirkan tokoh-tokoh bercap priayi, Belanda, saudagar, buruh, dan kaum pergerakan politik kebangsaan. Cerita berlangsung di Solo dan Semarang. Cerita bergerak dari akhir abad XIX sampai tahun 1918.

Pengarang dan judul novel ini mungkin nostalgia indah untuk arus perkembangan sastra Jawa modern di Indonesia. Pengarang berasal dari Klaten, bekerja dan bermukim di Solo. Isi novel berlatar Solo. Kita bisa menganggap keterangan-keterangan itu pembenaran atas kemonceran sastra Jawa di Solo.

Advertisement

Penjelasan ini agak berbeda dengan tulisan Keliek S.W. di Solopos edisi 8 Juni 2016. Penjelasan ini mengurusi sastra Jawa dengan pembedaan ruang untuk tinggal dan publikasi, tak harus dipastikan garapan tema atau latar tempat.

Keliek menjadikan kangen pada para pengarang asal Solo atau ”sempat” tinggal di Solo sebagai dalih memberi cap bagi perkembangan sastra Jawa. Pilihan ruang untuk pulung terasa berlebihan jika merunut kesejarahan sastra Jawa mengacu tokoh, penerbit, komunitas, dan media publikasi.

Dalam esai Keliek berjudul Ke Mana Perginya Pulung Sastra Jawa? itu Solo dipaksakan menjadi ruang tetap. Keliek enggan melonggarkan pemahaman Solo sebagai ide, bahasa, tema, atau suasana. Barangkali ketetapan itu agak sulit memberi pembuktian bahwa Rangsang Tuban (1900) garapan Padmasusastra pantas sebagai representasi sastra Jawa di Solo.

George Quinn (1992) berani menjuluki Padmasusastra adalah “bapak sastra Jawa modern.” Pujian dan julukan tak wajib ditopang pembuktian bahwa Padmasusastra dilahirkan dan menjalani detik-detik hidup di Solo.

Advertisement

Kita perlu bergerak lagi ke pengetahuan ihwal kota penerbit novel berbahasa Jawa agar tak melulu melihat Solo. Pada 1920, terbit novel berjudul Serat Riyanto garapan Soelardi. Pengarang dilahirkan di Wonogiri, bekerja di Mangkunegaran.

Novel itu diterbitkan oleh Balai Poestaka di Jakarta. Penerbitan di kota jauh tapi pembaca berada di kota-kota berbahasa Jawa. Solo tentu memiliki pembaca dengan jumlah ratusan orang menilik kemunculan kaum terpelajar dan kaum priaayi melek sastra “modern”.

Novel itu bersama novel-novel garapan Jasawidagda diterbitkan dan disahkan di naungan Balai Poestaka, institusi pemberi derajat ”kemuliaan” bahasa dan sastra Jawa berpijak ketentuan-ketentuan pemerintah kolonial.

Pada era 1920-an, perbincangan Solo sebagai kota sastra masih menguat berdalih keberadaan para pujangga besar, kaum sarjana kolonial, institusi bahasa dan sastra, pers berbahasa Jawa, dan sekolah-sekolah baru. Sastra Jawa di Solo mengandung pelbagai pengertian, tak melulu ruang.

Advertisement

Padmasusastra, Jasawidagda, Soelardi mungkin gampang saja diakui Keliek sebagai pengarang-pengarang Solo. Kesadaran ruang akibat administrasi pemerintahan Indonesia tak bisa disamakan dengan pengalaman hidup pada masa awal abad XX sampai menjelang kemerdekaan.

Solo tak cuma ruang politik-kultural untuk disahkan dalam lembaran-lembaran administrasi birokrasi. Tiga pengarang itu memiliki biografi di Solo dan menceritakan Solo melalui teks-teks sastra. Apakah dua hal tersebut telah memastikan representasi sastra Jawa di Solo? [Baca selanjutnya: Ratapan Rindu Dendam]Ratapan Rindu Dendam

Mereka malah jadi penggugat tata kehidupan di Solo dan mengalami keterasingan atas kerancuan patokan hidup di Solo. Di garapan sastra, Solo bergerak sebagai ide  melampaui pengetahuan tentang ruang sesuai peta atau data pemerintah kolonial.

Anggapan pulung sastra Jawa pergi dari Solo mirip ratapan dengan setumpuk rindu dendam. Di mata Keliek, Solo itu pernah memiliki pengarang-pengarang ampuh pada masa 1960-an sampai 1980-an. Daftar nama disebut tak lengkap tanpa mengikutkan judul-judul buku jika pernah diterbitkan oleh penerbit di Solo, Jogja, Jakarta, atau Semarang.

Advertisement

Sastra Jawa di Solo cenderung ke nama-nama pengarang saja. Nama tanpa sejumput biografi tentang tempat kelahiran, sekolah atau pendidikan, profesi, dan alamat rumah. Keterangan agak melegakan saat ada daftar nama surat kabar berbahasa Jawa. Sayang, daftar itu tak lengkap.

Kita tak menemukan tokoh penting dalam penerbitan majalah Adil bernama Sikoet yang disebutkan sebagai pengarang sastra Jawa. Nama itu terlalu lama tak diperbincangkan di jagat pers dan sastra di Solo. Sikoet itu wartawan dan pengarang.

Pada 1966, Sikoet mempersembahkan novel berbahasa Jawa berjudul Asmara Sutji, diterbitkan CV Ramadhani, Semarang. Barangkali novel ini jarang mendapat pembaca atau masuk dalam kajian sastra Jawa modern oleh dosen dan kritikus sastra.

Sikoet menjuluki novel karyanya sebagai ”roman Islam”, berseberang dengan keberlimpahan roman picisan berbahasa Jawa atau panglipur wuyung. Pembelajar sastra Jawa agak lega saat nama dan novel itu diulas di buku berjudul Eskapisme Sastra Jawa (2002) garapan Imam Budi Utomo, Adi T., Y. Sarwono S., dan R. Wisma N.C.

Para peneliti itu ”memaksa” Asmara Sutji termasuk roman picisan, membantah anggapan Sikoet. Solo sedang ramai dengan penerbitan sastra dan kemunculan pengarang-pengarang tenar tanpa harus terbedakan menurut kriteria serius dan roman picisan.

Apakah itu pembenaran bahwa pulung sastra Jawa pernah berada atau singgah di Solo? Kita tak ingin asal menjawab bermodal jumlah penerbit, harga novel, dan jumlah pembaca. Kita pun bakal sulit mengesahkan jika tak mengetahui catatan mengenai diskusi-diskusi di Solo dan nuansa perdebatan mengenai sastra yang termuat di surat kabar.

Advertisement

Sebutan pulung mengesankan puncak pencapaian dan pembatasan waktu. Pengertian itu membakukan, tak memberi ruang untuk mengerti sastra Jawa di Solo sebagai bagian dari pasang surut sastra modern di Indonesia yang dipengaruhi situasi politik, pendidikan, industri perbukuan, dan pertumbuhan ekonomi kota.

Terkait masa sekarang, Keliek sempat mengenalkan dan mengakui nama-nama pengarang yang masih mau menekuni sastra Jawa. Daftar nama itu tentu sesuai pengalaman Keliek membaca atau berjumpa. Kita tak usah protes ketiadaan nama-nama pengarang yang bergerak di dua jalan: sastra berbahasa Indonesia dan sastra berbahasa Jawa.

Keliek mungkin belum sempat mengenali atau membaca teks-teks sastra Jawa gubahan Indah Darmastuti, Y.E. Marstyanto, Puitri Hati Ningsih, Yessita Dewi, Impian Nopitasari, dan Abednego Afriadi. Mereka memamg tak sering mengikuti sarasehan atau kumpulan para pengarang sastra Jawa tapi bergairah mengurusi sastra berbahasa Jawa.

Mereka tentu agak gamang melihat sastra Jawa itu cenderung ke organisasi. Mereka menulis dan mempercakapkan sastra Jawa tanpa harus laporan kepada para sesepuh atau organisasi. Kita harus mulai insaf bahwa pulung bukan perkara genting untuk menilai sastra Jawa atau mengerti Solo.

Kita tak harus menuruti petuah mirip pejabat agar pelbagai pihak melakukan kerja sama secara sinergis demi mengembalikan pulung sastra Jawa. Para pengarang tetap menulis dan mengobrolkan sastra Jawa tanpa membuat spanduk dan laporan resmi.

Peristiwa-peristiwa bersastra Jawa bukan mutlak milik orang berlagak sastrawan dengan tampilan busana dan omongan bersimbol Jawa. Sastra Jawa tentu tak cuma bisa dipastikan hidup di panggung melalui pembacaan teks sastra dengan pameran nuansa Jawa. Urusan pulung itu logika dan pemahaman yang menyedihkan, berlebihan, dan ilusif, hanya berbasis ilusi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif