Kolom
Rabu, 8 Juni 2016 - 05:10 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Pemberedelan Itu Memang Didambakan?

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hanputro Widyono (Dok/JIBI/Solopos)

Mimbar mahasiswa kali ini, Selasa (7/6/2016), ditulis Hanputro Widyono. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Hal yang menarik perhatian saya dalam polemik di Mimbar Mahasiswa kali ini bukan pada maraknya pemberedelan pers mahasiswa (persma) melainkan lebih ke laku, obrolan, dan tanggapan atas kasus itu dari para pegiat pers mahasiswa.

Advertisement

Pascareformasi tentu orang-orang paham dan ngerti bahwa segala macam bentuk pelarangan kebebasan bersuara, berkumpul, dan berekspresi adalah suatu hal yang patut diberondong makian.

Jadi saya kira hal itu tak perlu dijelas-jelaskan lagi, seperti yang diungkapkan M. Irkham Abdussalam lewat esainya yang berjudul Pers Mahasiswa dan Banalitas Kampus (Solopos, 17 Mei 2016).

Advertisement

Jadi saya kira hal itu tak perlu dijelas-jelaskan lagi, seperti yang diungkapkan M. Irkham Abdussalam lewat esainya yang berjudul Pers Mahasiswa dan Banalitas Kampus (Solopos, 17 Mei 2016).

Hanya berbekal surat terbuka dan rilis dari pers mahasiswa korban beredel sudah cukup bagi Irkham untuk mendakwa pihak rektorat atau kampus melakukan pelanggaran keras yang patut diganjar kartu merah.

Irkham yang mengaku aktif di lembaga pers mahasiswa (LPM) berkesimpulan: birokrasi kampus telah menjadi manusia antikritik. Dalam banyak kasus, kritik mahasiswa justru dipandang melemahkan. Tanpa melakukan kajian dan evaluasi atas kritik, birokrasi kampus lebih memilih jalan pemberedelan dan pelarangan.

Advertisement

Penjelasan-penjelasan mengesankan Irkham dan Fera berlagak menjadi mahasiswa paling tahu. Kesimpulan-kesimpulan lebih mengarah pada tuduhan kejam nan menyayat hati. Saya merasa tanggapan yang menyeruak dari keduanya lebih banyak didasari rasa solidaritas sesama pegiat pers mahasiswa.

Perasaan senasib dan sepenanggungan cukup untuk membuat mereka tak tertarik meminta bukti cetak pemberitaan yang menyebabkan pemberedelan. Menurut saya, hal itu penting supaya pembelaan yang kita berikan tidak asal-asalan.

Pembelaan semestinya berdasarkan timbangan serta penilaian apakah pemberitaan pers mahasiswa tersebut telah sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku atau tidak, sehingga argumentasi kita pun tidak menjadi bensin yang turut membesar-besarkan isu pemberedelan yang muncul sepihak saja. [Baca selanjutnya: Prestasi]Prestasi

Advertisement

Fuad Hassan (dalam Ana Nadhya Abrar, 1992) sewaktu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengimbau agar pers mahasiswa menghindari citra koran kuning yang kerap menimbulkan keresahan dan keonaran.

Imbauan tersebut disampaikan dalam seminar Peranan Pers Kampus dalam Menunjang Karya Ilmiah yang digelar di Jakarta pada 4 Mei 1987. Imbauan itu tak terlalu didengar. Fuad Hassan telanjur dianggap ”orang dalam” (baca: pemerintah) sehingga setiap perkataannya patut untuk dicurigai.

Sikap pers mahasiswa yang demikian sudah dapat ditebak karena bukan rahasia lagi pers mahasiswa itu sering membudayakan sikap kontra (penguasa!) dalam organisasinya. Fuad Hassan menilai selama ini pers mahasiswa lebih banyak memerhatikan hal ihwal kemahasiswaan daripada perkembangan keilmuan.

Advertisement

Di titik ini, saya sepakat dengan Fuad Hassan. Dalam majalah, buletin, koran, atau tabloid terbitan beberapa lembaga pers mahasiswa sejak 2012 sampai 2016, saya belum pernah menemukan pemberitaan yang berkaitan dengan perkembangan pelbagai bidang keilmuan.

Saya tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Barangkali pegiat-pegiat pers mahasiswa memang tak berminat dengan ilmu, jadi tak perlu juga membaca buku, koran, jurnal-jurnal, maupun hasil penelitian-penelitian dalam bentuk lainnya.

Para pegiat pers mahasiswa lebih tertarik pada isu-isu kemahasiswaan yang berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana maupun kebijakan kampus. Berita-berita semacam itu hampir selalu ada dalam setiap terbitan pers mahasiswa.

Saat rapat redaksi, pembahasan tentang isu-isu yang berkaitan erat dengan dua hal tersebut akan berjalan alot. Opini-opini anggotanya, yang sering tidak puas dengan kebijakan rektorat, muncul untuk menggiring pers mahasiswa mengambil tempat oposisi.

Pemberitaan kontra terhadap kebijakan menjadi cara yang paling jitu agar pers kampus (pers mahasiswa) tetap mendapatkan perhatian dari rektorat maupun civitas academica lainnya. Dengan begitu pers mahasiswa merasa ”ada”.

Alih-alih terjadi perubahan kebijakan, mendapatkan banyak tanggapan dari berita yang diterbitkan saja sudah dianggap suatu pencapaian cukup membanggakan bagi pers mahasiswa.

Barangkali tuduhan saya jahat, tetapi percaya atau tidak sensasi semacam itu sering kali menjadi cerita-cerita heroik yang dibagi-bagikan para pegiat pers mahasiswa saat berjumpa. Senyum dan tawa tak pernah temaram dari wajah si pencerita.

Apalagi kalau media mereka sampai diberedel. Perasaan heroik itu bukan main besarnya. Itu prestasi! Mereka seakan-akan mencipta sejarah baru dan ikut terlibat di dalamnya. Pengalaman itu lantas membawa saya pada kesimpulan yang paling gegabah: jauh terselip di lubuk hati para pegiat pers mahasiswa, pemberedelan itu memang didambakan!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif