Kolom
Selasa, 7 Juni 2016 - 06:30 WIB

GAGASAN : Tafsir Perilaku Korup ala Ronggawarsita

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - A. Windarto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (6/6/2016), ditulis A. Windarto. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLOJeksa/Culika? dalah judul sebuah tembang puitis modern yang dilantunkan B.J. Riyanto bersama Endah Laras dengan garapan musik Younky Soewarno.

Advertisement

Tembang yang merupakan saduran dari puisi Ronggawarsita dalam Serat Jayengbaya itu mengguratkan sebuah kisah tentang sengkarut dunia peradilan di Jawa abad ke-19 dengan segenap perangkatnya.

Puisi yang ditulis pada 1830 di pengujung Perang Jawa/Perang Dipanegara itu sesungguhnya menjelaskan mengapa dan bagaimana sampai saat ini masih ditemukan para hakim yang ”tertangkap tangan” dalam berbagai kasus suap, mulai dari tingkat Mahkamah Agung (MA) hingga Pengadilan Negeri (PN).

Advertisement

Puisi yang ditulis pada 1830 di pengujung Perang Jawa/Perang Dipanegara itu sesungguhnya menjelaskan mengapa dan bagaimana sampai saat ini masih ditemukan para hakim yang ”tertangkap tangan” dalam berbagai kasus suap, mulai dari tingkat Mahkamah Agung (MA) hingga Pengadilan Negeri (PN).

Yang menarik untuk ditanyakan adalah hanya kebetulankah puisi Ronggawarsita itu mampu menunjukkan tentang bobroknya dunia peradilan sebagaimana yang kita saksikan saat ini? Apakah puisi itu benar-benar adalah sebuah ramalan? Dari manakah sumber-sumber yang diperoleh sang pujangga panutup Jawa itu untuk menyusun puisinya?

Nancy K. Florida dalam bukunya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (Bentang, 2003) memaparkan puisi-pusi Ronggawarsita amat dipengaruhi oleh keluarganya yang santri dan merupakan sastrawan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat secara turun-temurun.

Advertisement

Teks ramalan yang paling banyak dibaca orang Jawa adalah Serat Kalatidha. Teks lain yang ia gubah sebagai ”sastra piwulang” atau pendidikan moral adalah Serat Jayengbaya. Di sini Jayengbaya yang digambarkan sebagai tokoh dari sang ego yang terbayangkan dapat berpindah-pindah dalam khayalannya melalui serangkaian karier.

Salah satunya adalah ”dari pengacara hukum ke maling ke hakim hingga jongos Belanda (bait 56-74)” yang secara sosiologis maupun sastrawi menjungkirbalikkan gambaran konvensional tentang sastra Jawa abad ke-19. Bukan kebetulan jika teks sastra Jawa tradisional yang kerap dibayangkan sebagai ikon adiluhung itu seakan-akan ”tak jodoh” dengan kearifan dari sastra istana yang beraksara mulia dan misterius seperti Weddhatama misalnya. [Baca selanjutnya: Kekuatan Tak Tampak]Kekuatan Tak Tampak

Itulah mengapa teks yang lebih berbentuk ”dendam budaya” tersebut diterjemahkan sebagai Kitab Sang Penakluk Bahaya. Tentu muncul pertanyaan lain yang menarik, untuk (si)apa sesungguhnya teks itu digubah? Dari bait pembuka Serat Jayengbaya terdapat suatu sandi-asma (penulisan tanda tangan ”yang tersembunyi” oleh penulis/penyalin) bertuliskan ”Kiyahi Sarataka”.

Advertisement

Itu adalah nama yang dianugerahkan Pakubuwono V kepada Ronggawarsita ketika menjabat Mantri Carik Kadipaten Anom di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan sebutan Mas Ngabehi Sarataka. Selanjutnya tatkala naik pangkat sebagai Panèwu Carik Kadipaten Anom namanya berganti menjadi R.Ng. Ronggawarsita.

Dengan latar seperti itulah, penulisan teks itu merupakan bentuk dari ”kekuatan yang tak tampak” (de stille kracht), yang bukan sekadar menjadi bayangan atas Islam, melainkan juga bagaikan hantu atau mimpi buruk bagi kekuasaan kolonial. Hal itu adalah konsekuensi logis dari kondisi masyarakat Jawa, terutama kalangan priayinya, yang sesudah berperang selama lima tahun (1825-1830) dengan korban 200.000 orang Jawa dan 15.000 tentara Belanda, menolak untuk sekadar menjadi ”informan pribumi/bayaran” dari para filolog Belanda.

Masuk akal jika para sastrawan istana seperti Ronggawarsita muda melakukan pembangkangan secara diam-diam dengan menulis teks-teks sastra yang ”anti” kebudayaan tradisional Jawa yang diperkenalkan adiluhung itu. Efeknya mudah ditebak, berdampak pada ciri-ciri teks yang bersifat begitu sinis, menggigit, satire, bahkan parodik, namun nadanya justru terkesan lucu dan mengejutkan.

Advertisement

Gambaran yang ditampilkan dalam Jeksa/Culika? sekilas tampak radikal lantaran dengan enaknya memasukkan melodi tembang tradisional ke dalam musik gitar dan suling bambu yang bergaya ”blues”, bahkan dengan visualisasi dari tari topeng yang amat memukau.

Syair yang membayangkan peran seorang jaksa dengan segala pangkat, hormat, dan kemewahan menjadi begitu memilukan ketika hanya membuahkan sumpah serapah terhadap dirinya seperti pohon yang tidak berbuah pada musimnya. Ironisnya, dalam sumpah itu, yang dijadikan tumbal agar pohon dapat berbuah kembali adalah kepala jaksa.

Sinisme yang dihadirkan lewat puisi setragis itu telah membuka ”sejarah” yang selalu disembunyikan oleh penguasa kolonial dengan menjadikan sastra Jawa sebagai ”cagar budaya” yang tak tersentuh, tak terbaca, dan terlalu adiluhung untuk dipahami, padahal justru dari sanalah suatu kekuatan yang kerap dicurigai sebagai ”sarang Islam radikal” atau ”fanatisme Islam” mampu menunjukkan suatu sisi yang sering terlupakan.

Sisi dari kuasa politik yang sebelumnya dipegang oleh keraton-keraton Jawa telah diambil alih oleh penguasa kolonial dengan memisahkan kehidupan rakyat kecil dengan akar-akar budayanya yang sebagian besar terdiri atas jaringan kiai-kiai pesantren di perdesaan.

Pemisahan yang dikembangkan dengan siasat kebudayaan, selain melalui cultuur stelsel, berpenampilan adiluhung itu semakin memiskinkan hidup para priayi dan menggiring mereka dalam kondisi yang amat menekan dan serba korup.

Itulah mengapa Ronggawarsita menulis dalam bahasa syair yang mudah dipahami dan penuh kelakar untuk menampilkan bahaya-bahaya yang mengadang dan perlu ditaklukkan dengan teks-teks alternatif, bahkan subversif, agar tidak perlu menanggung malu serupa dengan para jaksa yang kepalanya ditanam di pepohonan supaya menghasilkan buah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif