Kolom
Minggu, 29 Mei 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : Matematika dalam Kehidupan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (25/5/2016), ditulis penulis Setyaningsih. Penulis adalah seorang pembaca buku yang aktif di Bilik Literasi Solo.

Solopos.com, SOLO — Keputusan membawa simbol matematika ke dalam puisi dilakukan Chairil Anwar. Kita tidak perlu berimajinasi Chairil Anwar menggarap puisi berangka dan bersimbol matematika. Puisi matematika Chairil Anwar berbicara semesta yang luas.

Advertisement

Semesta mengabarkan matematika itu mengandung narasi keluarga, politik, ekonomi, religiositas. Kita bisa membacanya dalam puisi melankolis berjudul Sebuah Kamar.

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini / pada dunia // Bulan jang menyinar ke dalam / mau lebih banyak tahu. // Sudah lima anak bernyawa di sini, / Aku salah satu!/ /  Sekeliling dunia bunuh diri! / Aku minta adik lagi pada / Ibu dan bapakku, karena mereka berada / di luar hitungan: Kamar begini, / 3 ´ 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Advertisement

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini / pada dunia // Bulan jang menyinar ke dalam / mau lebih banyak tahu. // Sudah lima anak bernyawa di sini, / Aku salah satu!/ /  Sekeliling dunia bunuh diri! / Aku minta adik lagi pada / Ibu dan bapakku, karena mereka berada / di luar hitungan: Kamar begini, / 3 ´ 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Simbol 3 m ´ 4 m menggambarkan kesulitan hidup, kemiskinan, nestapa, dan barangkali juga rasa lapar. Chairil Anwar membalik konsepsi rumus panjang kali lebar sama dengan luas. Dalam kenyataannya 3 m ´ 4 m tidak cukup luas sebagai ruang bagi nyawa lain.

Di puisi Sorga Chairil Anwar memakai tanda plus (+) daripada menggunakan kata ”dan”.  Seperti ibu + nenekku juga / tambah tujuh keturunan yang lalu / aku minta pula supaya sampai di sorga / jang kata Masyumi + Muhammadyah bersungai susu / dan bertabur bidari beribu.

Advertisement

Ibu-ibu menghitung uang belanja, pedagang menimbang buah dan sayur, anak-anak menghitung koleksi kelereng. Spontanitas mulut mengucap; ditambah, dikurangi, dibagi, dikali, selisih, hasil, jumlah. Angka-angka dan simbol-simbol terdefinisikan dalam lisan sebelum tubuh benar-benar mendaftar belajar matematika di sekolah. [Baca selanjutnya: Rahasia]Rahasia

Silakan terpukau saat membaca novel karya penulis Jepang Yoko Ogawa berjudul The Housekeeper and the Professor (2016). Seorang pengurus rumah beranak satu dipertemukan dengan seorang laki-laki, profesor Matematika, bermur 64 tahun.

Kecelakaan menakdirkan ingatan profesor itu berhenti sampai 1975 dan berefek daya ingatnya hanya bertahan 80 menit. Bilangan tidak pernah berkhianat. Dimulai dari empati kepada profesor Matematika itu, pengurus rumah dan anaknya yang berumur 10 tahun bernama Root tersebut “terjerumus” dalam obrolan matematika hampir setiap waktu.

Advertisement

Bilangan-bilangan terus menggoda, membikin penasaran, memasuki emosi, dan memiliki rahasia. Setiap mengingat profesor dan bilangan prima, pengurus rumah itu menyadari angka-angka ada hampir di setiap tempat yang dia lihat: label harga di supermarket, nomor-nomor rumah di atas pintu-pintu, di jadwal bus, atau tanggal kedaluwarsa sebungkus ham, bahkan nilai tes Root.

Pengurus rumah itu selalu ingin memerhatikan bilangan-bilangan dan memetik rahasia. Ia berkata,”Di tengah samudra bilangan yang sangat luas, sebuah jalan lurus terbuka di hadapanku. Sebuah cahaya menyorot di ujung jalan, memanduku untuk berjalan, dan saat itu aku tahu, itu jalan menuju pencerahan.”

Matematika tidak hanya muncul dalam puisi dan novel, matematika. Pernah terbit buku Gunung Pi, Kisah-kisah Matematika yang Asyik (2005) karya Richard Preston, Steve Olson, David Salsburg, dan Igor Alexander. Buku setebal 179 halaman itu lebih banyak dimuati huruf.

Advertisement

Angka dan simbol matematika memang ada di sana, terkemas dalam cerita-cerita. Brian Bolt menyusun beberapa seri Jambore Matematika (1996) yang berisi pelbagai teka-teki dan permainan matematika aneka bentuk. Kita bisa menyiapkan kertas dan pensil untuk menjawab sajak Inggris kuno yang didasarkan pada teka-teki Fibonacci dalam buku Liber Abaci yang terbit pada awal abad ke-19.

Ketika aku sedang ke St. Ives, / Aku bertemu seorang laki-laki dengan tujuh istri. / Setiap istri membawa tujuh kantong, / Setiap kanoung berisi tujuh kucing, / Setiap kucing mempunyai tujuh anak kucing, / Anak kucing, kucing, kantung, dan istri-istri, / Berapa banyak yang menuju St. Ives?

Kita tidak perlu mengadakan sensus pelajar untuk membuktikan matematika itu sulit, susah, rumit, atau gurunya angker. Keresahan itu terbukti sejak dalam pikiran orang tua ketika menghadapi nilai buruk matematika di setiap penerimaan rapor atau ketakutan anak-anak menghadapi pelbagai ujian matematika.

Seusai ujian ketakutan semakin menjadi-jadi karena matematika. Andai matematika tidak sulit, bimbingan belajar tentu sepi peminat dan bangkrut. Sekolah juga tidak perlu mengirimkan hanya sekelompok sangat kecil siswa di setiap olimpiade matematika bergengsi.

Beberapa kasus di sekolah menunjukkan banyak anak-anak sulit terbiasa dengan soal matematika yang bercerita karena telanjur mafhum bahwa soal matematika itu berangka dan simbol.

Pemerintah pemangku pendidikan agaknya perlu merekomendasikan novel, cerita, dan puisi matematika kepada guru, orang tua, murid, atau pengusaha bimbingan belajar sebelum ujian atau pelajaran harian.

Matematika tidak hanya ada di buku pelajaran, kumpulan soal-soal, lembar kerja siswa (LKS), buku himpunan rumus-rumus, atau buku sakti memecahkan soal secepat kilat. Ini barangkali memang jadi usulan ganjil dan tidak menjamin nilai bertambah baik.

Membaca cerita atau puisi berisi matematika bisa jadi satu harapan memperbaiki resepsi atas matematika. Mencerabut angka-angka dari kebekuan ruang kelas atau membiarkan rumus-rumus menjadi terang di bawah sinar matahari dan desir angin. Matematika ada di sekitar kita untuk mengejutkan hidup kita.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif