News
Jumat, 27 Mei 2016 - 19:08 WIB

Wantimpres Tuding Gejolak Harga Pangan Karena Data Tak Akurat

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivitas pedagang bawang merah di Pasar Bawang Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (24/8/2015). Harga bawang merah pada Panen Raya 2015 anjlok hingga ke level Rp3.000/kg-Rp6.500/kg dan mengakibatkan petani merugi karena tidak sebanding dengan biaya produksi yang tinggi. (Peni Widarti/JIBI/Bisnis)

Wantimpres menyoroti data yang tak akurat menyebabkan gejolak harga pangan setiap jelang Ramadan dan Lebaran.

Solopos.com, JAKARTA — Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menuding gejolak harga komoditas pangan strategis yang bermula dari kelangkaan barang setiap momen Ramadan dan Lebaran berakar dari data produksi yang tidak akurat.

Advertisement

Anggota Wantimpres Suharso Monoarfa menyatakan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan stabilisasi dan menurunkan harga sejumlah komoditas pangan strategis justru ketika momen Lebaran adalah hal yang mungkin untuk dicapai. Menurutnya, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya tidak mengalami gejolak harga seperti di Indonesia.

“Wantimpres melihat, kita ini hanya satu-satunya negara yang menghadapi gejolak seperti ini kalau menjelang Ramadan dan Lebaran,” katanya, Jumat (27/5/2016).

Dia menyampaikan, untuk komoditas seperti beras, jika data yang dirilis oleh Kementerian Pertanian benar, maka Indonesia akan selalu surplus sebanyak 10 juta ton per tahun. Namun kenyataannya, tambah Monoarfa, saat ini tidak ditemukan surplus di lapangan.

Advertisement

Adapun, dia juga mengatakan data tersebut juga menjadi basis pemberian subsidi pupuk dan bibit. Karena itu, jika data tersebut tidak valid, maka alokasi subsidi tersebut juga layak dipertanyakan.

Harga daging sapi Rp80.000 per kg yang diminta oleh Presiden, lanjutnya, merupakan level harga yang masuk akal dan bisa diserap oleh Perum Badan Urusan Logistik. Pasalnya, ternyata ada swasta yang menawarkan harga Rp73.000 per kg.

“Berarti kan bisa [Rp80.000 per kg]. Bulog sanggup, nanti tambah biaya distribusi. Bisa dijual dengan harga Rp80.000 per kg. Jadi memang ada persoalan yang non teknis, dan sekali lagi soal data itu,” kata Suharso.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif