Kolom
Sabtu, 21 Mei 2016 - 06:00 WIB

GAGASAN : Perebutan Kuasa Hak Guna Jalan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Titis Efrindu Bawono (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (19/5/2016), ditulis pengamat transportasi yang tinggal di Kota Solo, Titis Efrindu Bawono.

Solopos.com, SOLO — Daffa Farros Oktoviarto menyilangkan sepedanya tegak lurus demi mengadang pengendara sepeda motor yang melaju di jalur pejalan kaki. Daffa, bocah di Kota Semarang itu, dengan berani menendang pengendara sepeda motor agar kembali ke jalurnya.

Advertisement

Upaya serupa juga dilakukan Alfini Lestari di Jakarta (The Jakarta Post, 4 Mei 2016). Alfini tiap hari berani beradu mulut sembari mengadang pengendara sepeda motor yang melintas di jalur pejalan kaki.

Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan jalan sesuai kegunaannya sudah sejak lama dilakukan melalui pelbagai kampanye. Apalah daya, jumlah kendaraan yang terus meningkat dan keegoisan pengendara kendaraan pribadi (baca: motor dan mobil) menyebabkan masyarakat abai terhadap pesan-pesan kampanye tersebut.

Advertisement

Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat menggunakan jalan sesuai kegunaannya sudah sejak lama dilakukan melalui pelbagai kampanye. Apalah daya, jumlah kendaraan yang terus meningkat dan keegoisan pengendara kendaraan pribadi (baca: motor dan mobil) menyebabkan masyarakat abai terhadap pesan-pesan kampanye tersebut.

Keinginan untuk menguasai semua lini fasilitas jalan menjadi kebutuhan utama sedangkan keselamatan dan hak pengguna jalan lain menjadi hal sekunder setelahnya. Besarnya keinginan untuk menjadi penguasa fasilitas jalan membuat pengendara kendaraan pribadi menjadi arogan.

Kalimat umpatan “Emange ini jalane mbahmu?” kerap digunakan para ”penguasa jalanan” tersebut. Alfi ni mendapat umpatan khas tersebut ketika berupaya mempertahankan haknya berjalan di fasilitas untuk pejalan kaki.

Advertisement

Konvoi kendaraan bermotor yang berjalan secara eksklusif dan melanggar aturan lalu lintas, pengawalan voorrijder untuk kalangan ”atas”, angkutan barang yang membawa muatan berlebih, angkutan umum yang mengebut dan mendominasi jalur lalu lintas, serta penggunaan kendaraan oleh anak di bawah umur merupakan sebagian dari ratusan contoh upaya saling berebut kekuasaan atas jalan.

Sejatinya jalan merupakan barang publik. Sayangnya, logika kepemilikan barang publik ini hilang ketika pengen dara kendaraan pribadi berada di belakang kemudi. Saat berada di balik kemudi (ruang privat), pengendara kendaraan bermotor pribadi hanya memandang jalan sebagai objek mati belaka tanpa mengingat bahwa jalan merupakan fasilitas publik yang tidak dapat digunakan semena-mena. [Baca selanjutnya: Pengembalian Hierarki]Pengembalian Hierarki

Berdasarkan perbedaan sudut pandang atas kepemilikan jalan di atas maka upaya penguasaan jalan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu kuasa atas fasilitas jalan dan kuasa atas kemudi di jalanan.

Advertisement

Sebelum Indonesia merdeka, fasilitas jalan dikuasai kaum Eropa. Ribuan kaum pribumi menjadi korban rodi dalam pembangunan Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels pada 1809. Selain itu, penggunaan moda transportasi di jalanan pada awal 1900-an juga menunjukkan perbedaan antara kelas elite dan rakyat jelata.

Mas Marco Kartodikromo dalam majalah Doenia Bergerak yang terbit pada 1914 menulis: Mobil pada zaman kita adalah kendaraan yang paling disayangi oleh para petinggi dan kaum kapitalis… Sekarang ini, tentu saja, apa yang dianggap paling kuasa, dan ke arah mana semua kekuatan dan semua waktu dihabiskan, adalah perbaikan jalan. Jalan-jalan besar menjadi lebih baik, lebih indah, lebih lurus, dan lebih licin setiap harinya (Engineers of Happy Land: 25-44).

Selepas Indonesia merdeka hingga kini jalan-jalan dikuasai sepenuhnya oleh publik dan perawatan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyedia barang publik. Penguasaan atas jalan kini telah bergeser di balik kemudi. Pengemudi atau sopir menjadi aktor utama dalam penguasaan jalan.

Advertisement

Pada awal 1900-an, sopir masih merupakan sebuah pekerjaan bagus yang dapat dilihat dari gaji yang tinggi. Orang Belanda, Tionghoa, dan Indonesia semuanya suka menjadi sopir. ”Lambat laun… hanya kami, bangsa Indonesia yang bertahan menjadi sopir. Kami, begitu tampaknya sekarang, memegang monopoli” (Engineers of Happy Land: 54).

Pada 1970-an, wartawan Kompas mencatat kisah sopir di Jakarta yang mogok melayani pelanggan karena seluruh sopir di Jakarta pergi hanya untuk menonton pertandingan sepak bola (Kompas, 23 Maret 2016).

Kemajuan produksi kendaraan pribadi dan kemudahan mengaksesnya telah mengangkat setiap warga masyarakat sebagai sopir untuk diri masing-masing. Wajar saja jika kemudian masyarakat menempatkan kendaraan pribadi menjadi tingkat teratas dalam hierarki pengguna jalan.

Hal ini tercermin pula dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 134 UU tersebut menjelaskan pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai urutan pemadam kebakaran; ambulans; kendaraan pertolongan kecelakaan; kendaraan pimpinan lembaga negara; kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing atau tamu negara; pengantar jenazah; konvoi untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian.

Nasib pejalan kaki, pengendara sepeda onthel, dan angkutan umum menjadi elemen terpisah yang terpinggirkan dalam regulasi lalu lintas dan angkutan jalan. Hal ini tentu berlawanan dengan prinsip transportasi berkelanjutan yang mengedepankan udara bersih, minimnya kecelakaan, dan rendahnya tingkat kemacetan.

Dalam prinsip transportasi berkelanjutan hierarki pengguna jalan justru mendahulukan pejalan kaki, pengendara sepeda onthel, dan angkutan umum baru kemudian kendaraan darurat seperti pemadam kebakaran, ambulans, dan lainnya. Kendaraan pribadi menempati prioritas terakhir.

Jika prinsip ini dapat ditanamkan dalam tiap diri pengemudi, tentunya egoisme dan kesewenang-wenangan pengemudi kendaraan bermotor pribadi dapat berkurang. Daffa, Alfini, dan jutaan pejalan kaki maupun pengendara sepeda onthel lainnya dapat menikmati fasilitas jalan dengan hak yang sama. Semoga ini tidak sekadar berandai andai.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif