Kolom
Jumat, 20 Mei 2016 - 06:10 WIB

GAGASAN : Anak sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dian Sasmita (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (18/5/2016), ditulis Direktur Sahabat Kapas Dian Sasmita.

Solopos.com, SOLO — Kasus kekerasan seksual belakangan marak jadi berita di aneka media cetak, siaran, dan online. Kasus ini belakangan melibatkan anak-anak sebagai pelaku.

Advertisement

Di Bengkulu, Surabaya, Klaten ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan seksual. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasan tersebut.

Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati kembali mengemuka di masyarakat.

Apakah dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan.

Advertisement

Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku pemerkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak?

Masih banyak pertanyaan yang menghantui terkait anak-anak yang bermasalah dengan hukum tersebut. Esai ini tidak akan mengupas akar persoalan kekerasan seksual. Saya mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari tujuh tahun.

Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Berdasar data Yayasan Sahabat Kapas, anak dengan kasus kekerasan seksual mendominasi daftar penghuni di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo pada 2015, yakni hampir 70%.

Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat.

Advertisement

Keputusan hakim wajib untuk memerhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penetapan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindari perilaku yang lebih buruk pada anak.

The Riyadh Guidelines menyatakan pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan dan mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada vonis di pengadilan. Ada rangkaian berikutnya, yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya.

Ketika di kepolisan, anak (hanya) akan ditahan selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari. Anak yang berkonflik hukum ditempatkan di LPKA atau di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara jika belum tersedia LPKA di wilayah tersebut.

Advertisement

Di Indonesia baru terdapat 17 LPKA. Apakah lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara layak untuk anak? Standar layak yang digunakan adalah terpenuhinya hak-hak anak sesuai amanat undang-undang, UU Ssistem Peradilan Pidana Anak, UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia. [Baca selanjutnya: Tantangan]Tantangan

Edwin H. Sutherland menyatakan perilaku jahat dipelajari dari lingkungan sosial tempat individu tersebut berada, bukan karena keturunan orang tua (differential association). Interaksi verbal maupun nonverbal dengan orang dewasa tentang kejahatan memberi ruang anak mempelajari dan meniru perilaku salah.

Anak yang terjerumus ke balik jeruji penjara mayoritas disebabkan pengaruh lingkungan sosial. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk berkumpul dengan orang dewasa yang memiliki potensi berbuat kriminal.

Kenapa mereka bisa bergaul dengan kelompok demikian? Karena mereka tidak nyaman di rumah, mereka tidak bersekolah, mereka tidak memilki alternatif kegiatan positif untuk mengisi waktu, atau alasan lainnya.

Advertisement

Ketika mereka kemudian melakukan tindak pidana dan divonis pidana penjara maka kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Mereka terpisah dari keluarga, harus tinggal di kamar khusus bersama teman-teman baru yang senasib.

Mereka berkenalan dengan kebiasaan baru seperti senam pagi serta makan dengan waktu dan jatah khusus. Mereka harus tunduk pada tata tertib selama di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara. Pembinaan di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara menginduk UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Narapidana diposisikan sebagai subjek selayaknya manusia lainnya yang memiliki harkat dan martabat. Manusia tidak ada yang tidak pernah lepas dari khilaf dan dikenai sanksi. Pembinaan di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara sebagai upaya menyadarkan mereka agar menyesali perbuatan mereka dan dapat kembali berguna di masyarakat.

Faktanya proses pembinaan masih belum maksimal karena fasilitas yang ada belum sesuai kebutuhan anak, misalnya terkait keberlanjutan pendidikan mereka. Petugas lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara kurang menguasai keterampilan konseling anak.

Program khusus untuk anak belum tersedia, masih menumpang program kegiatan narapidana dewasa. Kalaupun ada, fasilitas dan materi pembinaan belum mendukung pengembangan diri anak. Kita tidak dapat menutup mata dengan keberadaan anak di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara khusus dewasa.

Jumlah mereka tidak banyak, tapi ada. Perlu disadari juga tentang dampak pemenjaraan pada anak. Pemenjaraan merupakan proses akulturasi dan asimilasi tata cara kehidupan di dalam penjara (Donald Clemmer). Indikasinya berupa penggunaan istilah khusus, terdapat strata sosial tertentu, ada kelompok utama dan pemimpin kelompok.

Advertisement

Penyaringan perilaku negatif dari hasil interaksi sosial anak di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara tak dapat dilakukan 100%. Perilaku tersebut telah melembaga sekian waktu dan dilakukan oleh banyak orang sehingga menjadi budaya.

Menempatkan anak di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikis. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak.

Kebutuhan kasih sayang dan perhatian keluarga tidak bisa disubstitusi sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan. Tindak kriminalitas pada masa lalu tidak akan terhapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. [Baca selanjutnya: Pendampingan]Pendampingan

Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan mengubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak berbeda dengan anak di luar tembok penjara.

Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi. Penerimaan masyarakat setelah masa pidana selesai menjadi salah satu hal yang mengkhawatirkan. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak, namun tidak semudah anak pada umumnya untuk merealisasikan keinginan itu.

Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain mengikuti pendidikan informal di kelompok belajar sistem paket. Berburu pekerjaan tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara.

Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak.

Langkah lainnya adalah memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak, dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan secara khusus, serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas dari stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku kejahatan seksual baik dewasa maupun anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan saya, khusus anak harus dibedakan.

Pendekatan dan perlakuan selama masa pemidanaan harus berbeda dengan perlakukan untuk orang dewasa. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan pada kemudian hari.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif