Kolom
Kamis, 19 Mei 2016 - 08:10 WIB

GAGASAN : Melihat dan Meresapi Tanpa Kendali Meniru

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Susatyo Yuwono (Istimewa)

Gagasan Solopos edisi Selasa (17/5/2016), ditulis Susatyo Yuwono. Penulis adalah psikolog/dosen di Fakultas Psikologi  Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kandidat Doktor Psikologi di Universitas Gadjah Mada.

Solopos.com, SOLO — Pemberitaan media massa beberapa pekan terakhir sebagian mengungkap kejahatan asusila yang makin marak. Kejahatan ini makin memprihatinkan manakala para pelaku dan korban adalah para remaja, bahkan anak-anak.

Advertisement

Mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus yang gemilang, namun malah terjerumus tidak karuan. Sehingga masa depan bangsa pun menjadi suram, tidak jelas mau dibawa ke mana apabila hal ini dibiarkan terus.

Apabila memerhatikan berbagai informasi, kejahatan asusila termasuk salah satu jenis kejahatan dengan tingkat kejadian yang terus meningkat setiap saat. Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi lokasi kejahatan terhadap anak, baik berupa tindak kekerasan maupun kejahatan seksual, meningkat dibandingkan pada 2015.

Statistik tentu bukan acuan utama sehingga bisa diperdebatkan, namun menilik sifat kejahatan asusila yang berkaitan dengan hal yang bersifat tabu maka besar kemungkinan statistik yang muncul baru sebatas puncak gunung es. Kasus sebenarnya dimungkinkan jauh lebih besar daripada angka yang dilaporkan.

Advertisement

Sebagian besar kejahatan asusila yang terjadi dimungkinkan tidak pernah terungkap di media massa atau media sosial karena menghindari rasa malu yang lebih besar. Kondisi demikian tentu sangat memprihatinkan.

Artikel ini tidak dimaksudkan mengkritik peran berbagai pihak, namun lebih ditekankan pada mengungkap bagaimana proses kemunculan kejahatan asusila ini yang kemudian menjadi marak. Melalui perspektif psikologi, uraian lebih banyak menilik proses yang dialami diri pelaku kejahatan. [Baca selanjutnya: Psikologi Perilaku]Psikologi Perilaku

Psikologi mengenal teori pembelajaran sosial yang dimunculkan kali pertama oleh Albert Bandura. Teori ini menekankan pada proses peniruan atau modeling yang menjadi penyebab munculnya satu perilaku. Melalui interaksi yang lekat sehari-hari, proses modeling menjadi makin kuat dalam diri anak.

Anak termotivasi memiliki perilaku yang sama dengan modelnya. Banyak informasi dari pendapat para ahli dan juga hasil penyidikan yang menunjukkan kejahatan asusila sering kali bermula dari kebiasaan menonton pornografi, baik berupa gambar, cerita, maupun film.

Advertisement

Teori Bandura menunjukkan objek pornografi yang dilihat memang akan menjadi salah satu model atau contoh bagi yang menonton. Orang yang menonton tersebut akan mampu meniru perilaku modelnya, apalagi kalau menonton dengan frekuensi yang sering.

Model akan memberi contoh kepada anak-anak yang semula belum paham tentang perilaku seksual sehingga mereka menjadi tahu. Anak-anak akan semakin ingin tahu dan ditambah dorongan nafsu seksualnya maka keingintahuan ini menjadi dorongan untuk melakukan hingga ia akan mencoba melakukannya.

Alinea di atas menunjukkan proses modeling. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri orang saat menonton hingga ia mewujudkan perilakunya, kiranya dapat dijelaskan melalui teori lain. Salah satu teori yang dikenal dengan teori reasoned action dari Fishbein dan Ajzen menyebutkan niat menjadi predisposisi perilaku yang paling kuat.

Niat seseorang akan menunjukkan perilaku apa yang akan dimunculkannya. Niat terbentuk oleh adanya sikap positif terhadap apa yang diyakini. Keyakinan muncul pada diri individu sehingga terbentuk sikap positif atau setuju dengan apa yang diyakini.

Advertisement

Keyakinan dibentuk oleh berbagai informasi dan pengalaman yang dimiliki. Makin banyak informasi dan pengalaman maka makin kuat keyakinannya. Pada saat seorang anak kali pertama menonton pornografi maka dia akan menerima informasi terkait pornografi kali pertama.

Beragam informasi terkait seksual ada di tayangan pornografi. Selain informasi tentang anatomi tubuh lawan jenis juga ditunjukkan beragam ekspresi yang berkaitan dengan perilaku seksual. Semua informasi yang diterima ini kemudian akan diolah secara kognitif, dibenturkan dengan berbagai informasi lain yang sudah lebih dahulu dimiliki.

Di sinilah terjadi proses persepsi atau pemberian arti terhadap informasi ini. Persepsi ini akan memunculkan makna daya tarik anatomi tubuh dan juga makna kenikmatan perilaku seksual. Setelah persepsi inilah individu akan bisa merasakan sesuatu yang membuatnya merasa lebih nyaman dengan pornografi.

Sesuatu yang nyaman tersebut kemudian menjadi satu keyakinan bahwa perilaku tersebut benar dan membuat orang menjadi lebih nyaman, apalagi kalau kemudian ada penguatan dari orang lain, misalnya dari teman sebaya.

Advertisement

Berbagi pengalaman dengan teman akan menjadi informasi lain yang akan menguatkan keyakinan. Keyakinan inilah yang kemudian mengarahkan individu kepada sikap positif bahwa perilaku seksual memang membuat diri menjadi lebih nyaman.

Individu menjadi setuju dan merasa hal ini sesuai dengan keadaan dirinya. Tahap berikutnya akan terbentuk niat (intensi) untuk berperilaku yang sama dengan sikapnya. Niat mewujudkan keinginan seseorang yang kuat untuk berperilaku seksual. Pada akhirnya niat inilah yang akan menjadi perilaku yang mewujud secara nyata, kecuali kalau kemudian ada perubahan niat. [Baca selanjutnya: Peran Norma]Peran Norma

Begitu mudahkah seseorang melakukan sesuatu seperti yang ditontonnya? Tentu hal ini sangat dipengaruhi proses seperti sudah disebutkan di atas yang berbeda-beda pada setiap orang. Informasi yang diterima atau pernah diterima sesungguhnya sangat banyak.

Informasi lama dan baru akan saling berinteraksi dan akan membentuk persepsi baru. Informasi lama ini antara lain berupa nilai-nilai moral yang pernah diterima melalui berbagai media. Informasi inilah yang akan diolah bersama dengan informasi baru untuk membentuk persepsi tentang pornografi.

Bagaimana orang tua atau guru melarangan pornografi, misalnya mandi terpisah antara laki-laki dan perempuan, tidak berganti baju di depan orang lain, juga menunjukkan model bagi anak tentang ketidakbolehan dekat dengan pornografi.

Ketidaksetujuan orang lain terhadap pornografi juga menjadi salah satu norma yang bisa menjadi referensi anak. Selanjutnya, melalui beragam informasi, nilai, dan norma di atas anak memiliki bahan yang memadai untuk memunculkan persepsi bahwa pornografi itu buruk dan terlarang.

Advertisement

Persepsi ini membentuk sikap negatif atau menolak perilaku seksual sehingga niat untuk melakukannya akan mereda. Dengan demikian perilaku seksual juga tidak akan terwujud. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk membekali anak dengan nilai moral yang menjadi perisai dari informasi yang buruk.

Ini menjadi kewajiban seluruh unsur masyarakat, khususnya orang tua yang mendampingi kehidupan anak hingga masa dewasanya kelak. Sekolah menjadi salah satu pembentuk pribadi anak. Bekal ilmu pengetahuan dan ilmu agama perlu diseimbangkan. Pemerintah berperan dengan wewenang mengendalikan tayangan di berbagai media hasil teknologi informasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif