Kolom
Selasa, 17 Mei 2016 - 07:00 WIB

GAGASAN : Pak Yatno, Pit Onthel, Intelektual Asketik

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Imron Rosyid T.R (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (16/5/2016), ditulis Imron Rosyid T.R. Penulis adalah alumnus Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret Angkatan masuk 1993.

Solopos.com, SOLO — Pria berambut kelimis disisir ke belakang dengan kumis tipis tercukur rapi itu acap kali menuntun pit jengki saat memasuki pelataran Fakultas Sastra dan Seni Rupa (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Sebelas Maret (UNS).

Advertisement

Pada 23 tahun lalu, bagi saya dan mahasiswa lainnya yang masih berstatus mahasiswa baru di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, tak pernah menyangka penuntun pit onthel itu adalah dosen dengan gelar doktor yang kali pertama dimiliki Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

Soejatno Kartodirdjo nama lelaki itu. Pada semester kelima saya baru bertatap muka secara langsung ketika dia mengampu mata kuliah Filsafat Sejarah dan Sejarah Perkotaan. Kalau tidak salah ingat, dua mata kuliah yang diampunya itu adalah sedikit dari mata kuliah yang tidak mewajibkan mahasiswa UNS hanya berkutat dengan buku pegangan kuliah (BPK).

Kala itu BPK adalah salah satu “ciri khas” UNS. Modelnya mirip modul yang berisi bahan kuliah satu semester. BPK itu ditulis dosen pengampu mata kuliah. Pak Yatno-–begitu mahasiswanya memanggil–membebaskan mahasiswa untuk menyerap ilmu dari berbagai literatur.

Advertisement

Hal itu terlihat dari kebiasaannya membawa buku-buku tebal edisi bahasa Inggris atau bahasa Belanda dan diperlihatkan kepada mahasiswanya dengan sedikit tinjauan atau review. Sambil memberikan ulasan atas buku-buku yang dibawa, sesekali diselipkan berbagai cerita mengenai pengalaman pribadinya.

Kadang-kadang terasa seperti melompat-lompat dari satu topik ke topik yang lain. Belakangan saya memahami Pak Yatno ingin memberikan perspektif kepada mahasiswanya bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang multidisiplin. Lebih dari itu, Pak Yatno sedianya mengajak para mahasiswanya untuk menangkap makna-makna di balik peristiwa-peristwa sejarah.

Di akhir sesi perkuliahan, tanpa bermaksud berbasa-basi, Pak Yatno menawari mahasiswanya untuk membaca buku-bukunya tersebut. Hanya satu dua mahasiswa yang menyatakan ketertarikan, tentu saja yang dipilih adalah buku-buku yang berbahasa Indonesia.

Di banyak kesempatan lain, Pak Yatno juga mempersilakan mahasiswanya untuk bertandang ke rumahnya jika membutuhkan referensi, padahal bisa saja sebagai dosen hanya tinggal menyebut judul buku dan mahasiswa disuruh mencari sendiri.

Advertisement

Membaca merupakan hal yang pokok bagi mahasiswa, apalagi mahasiswa sejarah. Dalam beberapa kesempatan, Pak Yatno menyampaikan (calon) sejarawan itu harus bisa menulis. Kekayaan literatur atau referensi tidak akan banyak bermakna jika tak mampu menuangkan dalam tulisan.

Secara implisit Pak Yatno pernah menyampaikan sebagai mahasiswa sejarah tulisan yang dibuat seyogianya merupakan tulisan orisinal. Bukan sekadar merangkum atau mencomot dari buku-buku yang pernah dibaca.

Pak Yatno mendorong agar mahasiswanya berani menuliskan hal-hal di sekitar kehidupan mereka. Keluarga, kampung, atau desa-desa menyediakan bahan-bahan penulisan sejarah yang tak akan pernah habis atau tak pernah kering.

Kalau kita melihat karya historigrafi Pak Yatno, sebagian besar memang berasal dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di sekitarnya. Disertasi doktoralnya di Australia National University (ANU), Australia, yang berjudul Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950, juga tak jauh dari lingkungan kehidupan Pak Yatno.

Advertisement

Sayangnya disertasi Pak Yatno ini tidak (belum) dipublikasikan secara luas. Beberapa nukilannya bisa dibaca di jurnal seperti Prisma atau Indonesia Cornell. Entah apa alasannya. Yang pasti, Pak Yatno tidak pernah berhenti berkarya, melahirkan tulisan-tulisan yang menunjukkan ketinggian kualitas intelektualnya.

Penulisan sejarah memiliki kekuatan yang lebih karena memiliki aspek multidimensi.  Peristiwa yang mungkin dari sudut pandang ilmu lain dianggap sederhana akan berbeda ketika kita melihatnya dengan pendekatan ilmu sejarah.

Hal itu ditunjukkan Pak Yatno dalam salah satu tulisan pendeknya berjudul Revolusi Nasional dan Pergolakan Sosial di Delanggu (1989). Tulisan itu diperoleh dengan mengamati berbagai peristiwa pemogokan buruh di Delanggu pada 1948.

Pemogokan buruh yang berlangsung cukup lama itu menimbulkan konflik sosial dan politik. Pada ujungnya, pergolakan sosial tersebut adalah bagian dari proses terjadinya (politik) aliran.

Advertisement

Pak Yatno lahir di Sragen 17 Agustus 1940. Pak Yatno merupakan prototipe dosen yang disenangi mahasiswa. Meski punya banyak kesibukan akademis, termasuk sebagai perintis Program Studi Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNS, Pak Yatno adalah dosen yang mudah ditemui.

Mahasiswa yang pragmatis sekalipun juga senang dengan Pak Yatno, lantaran dia tak pelit saat memberikan nilai mata kuliah yang diampunya. Waktu mengajarnya biasanya pada siang hari, namun hampir sepua mahasiswa senang menunggu untuk mendengarkan cerita-cerita menarik Pak Yatno.

Kami, kala itu, seolah-olah adalah anak-anak yang ketagihan dongeng-dongeng yang tak kami dapatkan sebelumnya. Daya tahannya untuk berbicara di depan kelas luar biasa. Dua jam penuh dengan semangat yang tetap sama dari awal hingga akhir yang pada ujungnya adalah mendorong mahasiswa untuk memiliki kesadaran sejarah.

Kesadaran sejarah bagi Pak Yatno bukan sekadar memperluas pengetahuan tetapi bagaimana dapat menemukan kesadaran dalam menghayati nilai-nilai budaya. Pak Yatno merupakan salah satu murid langsung ”begawan sejarah Indonesia”, Sartono Kartodirdjo. [Baca selanjutnya: Tanpa Gelar Profesor]

Tanpa Gelar Profesor

Seusai menyelesaikan pendidikan ilmu sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Pak Yatno mengajar di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surakarta, cikal bakal UNS.

Advertisement

Pak Yatno dua kali ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dan mengantongi gelar doktor sejak 1986. Pak Yatno purnatugas pada 2004. Hingga pensiun itu Pak Yatno tak pernah menyandang status guru besar atau profesor.

Konon, Pak Yatno enggan mengurusi perabot administrasinya, namun hal itu tak mengurangi dedikasinya menggeluti ilmu sejarah. Kala menjadi dosen UNS, ciri khas Pak Yatno adalah pit onthel. Mungkin beliau satu-satunya doktor yang paling sering mengayuh sepeda ke kampus.

Pak Yatno nyaris selalu bersepeda di setiap kesempatan. Ke kampus untuk mengajar hingga menghadiri undangan seminar–tentu saja di dalam lingkup Kota Solo–sebagai pembicara. Jamaknya jarak yang harus ditempuh lumayan jauh jika dihitung dari rumahnya di Pajang, Laweyan, Solo menuju Kentingan, Jebres, Solo.

Urusan naik sepeda itu rupanya bukan sekadar klangenan atau bahasa sekarang sebagai pencitraan. Pak Yatno merupakan bikers sejati. Pada sebuah kesempatan setelah saya lulus, saat bertandang ke rumahnya bersama sejarawan muda Heri Priyatmoko, Pak Yatno bercerita banyak soal sepeda.

Baginya bersepeda bukan sekadar pilihan atas moda tranportasi tetapi lebih merupakan pilihan atas konsep hidup yang dijalani, yakni kesederhanaan. Dengan bersepeda dia merasa mendapati persoalan perkotaan yang memiliki akar sejarah, satu studi lain yang ditekuninya memang sejarah perkotaan.

Kebiasaannya bersepeda pulalah yang membuat sepanjang hayatnya nyaris tidak pernah jatuh sakit sampai suatu saat punggungnya mengalami gangguan saraf. Kondisi itu membuat Pak Yatno tak mampu berdiri tegak lagi dan tentu saja tak mampu lagi bersepeda.

Rupanya tak bisa bersepeda menjadikan penyakit Pak Yatno semakin meluas dan akut. Bertahun-tahun ia berjuang melawan derita fisik, hingga Sabtu (14/5) ia mengembuskan napas terakhirnya. Selamat jalan, Pak Yatno. Dedikasi dan kebersahajaanmu mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi kami.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif