Entertainment
Senin, 16 Mei 2016 - 09:30 WIB

KABAR DUKA : Sang Maestro Wayang Orang Berpulang, Solo Berduka

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Jenazah maestro Wayang Orang Sriwedari, Yohana Darsi Pudyorini, disemayamkan untuk mendapatkan penghormatan terakhir di Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari, Solo, Minggu (15/5/2016). Darsi, berpulang di kediamannya pada Minggu (15/5/2016) dini hari dan dimakamkan di TPU Pracimaloyo. (Ivanovich Aldino/Solopos/JIBI)

Kabar duka dari dunia seni wayang orang Solo. Salah satu maestro wayang orang Sriwedari Yohana Darsi Pudyorini berpulang.

Solopos.com, SOLO – Kerumunan orang berpakaian serba hitam di Gedung Wayang Orang Sriwedari pada Minggu (15/5/2016) siang mulai bercecar saat suara sirine ambulance terdengar semakin mendekat. Begitu ambulance tiba di depan pintu, mereka pun merapat. Beberapa di antaranya masuk ke dalam mobil, lalu keluar dengan menyunggi sebentuk peti jenazah berbahan kayu dengan roncean bunga melati menjuntai ke bawah.

Advertisement

Bersama-sama, mereka menggotong peti memutari bagian dalam ruangan gedung. Di dalam peti tersebut, terbaring jenazah Yohana Darsi Pudyorini. Maestro Wayang Wong Solo, Yohana Darsi Pudyorini berpulang di usianya yang menginjak 84 tahun.

Dari dalam ruangan, birama sendu tetabuhan gending Ketawang Rujit yang berlanjut dengan Ayak-Ayakan Slendro Pathet Manyuro mengalun pelan. Di antara, para niyaga, ada Koordinator Wayang Orang Sriwedari, Agus Prasetyo. Kedua sudut matanya sembab, memerah.

Advertisement

Dari dalam ruangan, birama sendu tetabuhan gending Ketawang Rujit yang berlanjut dengan Ayak-Ayakan Slendro Pathet Manyuro mengalun pelan. Di antara, para niyaga, ada Koordinator Wayang Orang Sriwedari, Agus Prasetyo. Kedua sudut matanya sembab, memerah.

Di antara isak tangis ratusan orang keluarga, seniman, tokoh masyarakat, dan pejabat yang mengiringi peti jenazah, ada Sutinem yang sesekali menyeka air matanya dari balik gerobak berisi rokok, permen, dan camilan di samping pintu masuk gedung Wayang Orang Sriwedari Solo. Puluhan tahun berjualan di area Sriwedari, Sutinem, perempuan asli Solo berusia 70 tahun ini termangu mengenang betapa Darsi dulu kerap mampir ke gerobaknya.

“Mben dinten [Darsi] jajanan dateng nggen e kulo [Setiap hari Darsi selalu mampir, membeli makanan di gerobak saya]. Orangnya itu grapyak [suka bergaul dan menyenangkan],” kenang dia, lirih. Sutinem memang tidak mengenal seni. Kendati demikian, puluhan tahun menjadi saksi kegiatan seni, utamanya wayang orang di kompleks gedung Sriwedari menjadikan Sutinem memiliki ikatan batin dengan aktivitas seni, utamanya dengan Darsi, maestro yang begitu spesial di hatinya tersebut.

Advertisement

Puteri sulung Darsi yang juga seorang seniman tari, Rusini, berkisah sosok Darsi yang begitu gigih dalam berpendirian. Saat ingatan dan kondisi kesehatannya menurun karena usia, Darsi masih tetap terlihat teguh.

“Ibu sakit tua, namanya Decubitus. Awalnya hanya luka kecil di beberapa bagian tubuh, setelah di cek ke dokter, ternyata sudah parah. Sudah beberapa tahun ibu enggak bisa apa-apa, karena awalnya sempat stroke juga. Meski begitu, 2015 lalu, pas lebaran, ibu masih berusaha membuka mulutnya, berbicara,” tutur dia, Minggu.

Berulangkali keluar-masuk rumah sakit, keluarga memutuskan merawat Darsi di rumah. Darsi mengembuskan nafas terakhir di kediamannya di Kalitan, Solo sekitar pukul 03.30 WIB. Sebelum dimakamkan bersebelahan dengan makam sang suami di Tempat permakaman Umum (TPU) Pracimaloyo, Kartasura, jenazah Darsi disemayamkan dalam gedung WOS. Di sana, sebuah prosesi “pamit” diselenggarakan.

Advertisement

Kilas balik ke belakang, fragmen tarian Gatotkaca Gandrung membawa Darsi bersama sang suami menjadi penari yang melegenda sejak era presiden Soekarno. Pesona lakon Pregiwa yang memadu kasih dengan Gatotkaca yang diperankan sang suami, Roesman, seakan mampu membahasakan rasa dalam sebuah estetika seni yang sesungguhnya.

Sebagai penari kelompok Wayang Orang Sriwedari Solo, keduanya kerap didaulat menari di hadapan presiden dan tamu-tamu presiden Soekarno. Rusini juga berkisah pada 2005 lalu, di usianya yang sudah menginjak 72 tahun Darsi masih mendedikasikan dirinya terhadap kesenian wayang orang.

Salah seorang seniman rekan seperjuangan Darsi, Sulasih, 85, mengutarakan betapa Darsi memiliki sisi lain yang tak dimiliki seniman lainnya. Darsi mengawali kiprahnya di bidang seni secara otodidak sejak masih berusia belasan tahun. Sejak kecil Darsi selalu tertarik dengan gendhing-gendhing dan tembang Jawa.

Advertisement

Darsi belajar dengan memperhatikan detail laku para senior. Darsi muda bahkan tak malu membantu senior menyiapkan kostum dan aktivitas remeh lainnya.

Darsi yang buta aksara dan tak bisa menulis diakuinya sangat professional dan luar biasa. Darsi memilih untuk memahami naskah dengan pemahaman “rasa” nya sendiri. “Saya itu selama jadi temannya selalu heran tapi juga senang, yang seperti dia itu langka. Dia juga enggak sungkan bertanya kalau ada yang enggak paham,” kenang dia, Minggu.

Hal senada dipaparkan budayawan senior Kota Solo, Suprapto Suryodarmo. Dia mengaku kepiawaian panggung seni dari “dalam” membuatnya pantas disebut maestro. Sementara itu, Walikota Kota Solo, FX. Hadi Rudyatmo mengutarakan rasa duka dan komitmen untuk menjaga nyala sang maestro melalui pembinaan generasi wayang orang.

“Bu Darsi ini luar biasa, dengan kepergian beliau, kita kehilangan satu maestro wayang orang. Beliau memainkan wayang orang itu sejak 1940 dan diangkat jadi pegawai negeri pada usia 53. Pengganti beliau belum ada yang bisa melebihi. Namun, kami tidak berhenti membina sumber daya manusia yang ada, sehingga wauang orang Sriwedari menjadi satu destinasi wisata wayang orang,” ujar dia, Minggu.

Sebagai bentuk penghormatan, sosok mereka berdua diabadikan dalam monumen patung Gatotkaca-Pergiwa di area kompleks Taman Sriwedari pada 1980.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif