Kolom
Senin, 16 Mei 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : Intervensi Pemerintah terhadap Harga Pangan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Feriana Dwi Kurniawati (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (14/5/2016), ditulis Feriana Dwi Kurniawati. Penulis adalah Kepala Seksi Usaha Tani Dinas Pertanian Perkebuhan dan Kehutanan Kabupaten Karanganyar Mahasiswa Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Ada yang berubah dari persiapan menyambut Lebaran tahun ini. Kabinet Kerja berkoordinasi jauh-jauh hari mengenai persiapan Lebaran. Sebelum ini persiapan hampir selalu mepet. Kali ini pembahasan dilakukan sejak 2,5 bulan sebelum Lebaran pada 6-7 Juli mendatang.

Advertisement

Di antara persoalan yang menarik perhatian Presiden Joko Widodo adalah harga dan ketersediaan bahan makanan. Ada kesan pemerintah ingin memastikan politik pangan yang menjadi urusan negara harus bukan saja memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga melindungi masyarakat dari tekanan harga yang acap kali membubung menjelang hari raya.

Langkah memastikan ketersediaan stok bahan pangan ini harus dilihat sebagai masalah yang serius oleh pemerintah mengingat fluktuasi harga di sektor pangan yang terus berlanjut hingga saat ini. Pada periode hari besar keagamaan nasional (HBKN) permintaan bahan pangan pokok masyarakat cenderung lebih tinggi dibandingkan ketersediaannya.

Salah satu komoditas yang paling dicari menjelang hari besar dan dan hari raya keagamaan nasional adalah beras. Kebutuhan beras tiap tahun sekitar 32 juta ton hingga 33 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri mencapai 46 juta ton. Selain beras, beberapa komoditas lain menjadi perhatian seperti cabai, gula, dan bawang merah.

Advertisement

Kementerian Pertanian memprediksi produksi akan mencukupi untuk memenuhi permintaan. Data Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyatakan ketersediaan ayam ras dan telur hingga Juni-Juli 2016 masing-masing sebanyak 493.985 ton dan 503.750 ton. Adapun kebutuhannya hanya sekitar 217.144 ton dan 253.634 ton sehingga dipastikan masih ada surplus. [Baca selanjutnya: Ketersediaan Data]Ketersediaan Data

Untuk daging sapi cenderung ada kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi daging pada hari raya sehingga akan terjadi peningkatan permintaan. Dengan demikian, masih perlu tambahan pasokan daging untuk bisa memenuhi kebutuhan dengan impor.

Kebijakan  ini dibutuhkan untuk menutup kebutuhan daging sapi nasional sebanyak 674.690 ton tahun ini atau meningkat daripada tahun lalu yang hanya 653.980 ton. Produksi dalam negeri hanya 439.530 ton atau bertambah daripada tahun lalu yang hanya 416.090 ton.

Advertisement

Realitas yang dihadapi masyarakat sejak Desember 2015 adalah harga daging sapi meningkat sangat signifikan dan sangat memberatkan masyarakat. Komite Daging Sapi (KDS) Jakarta Raya pada tahun lalu pernah mengungkapkan penjualan daging sapi di Jakarta menurun hingga 40% akibat meroketnya harga daging sapi hingga Rp 120.000/kg.

Pada saat yang sama daya beli masyarakat semakin menurun disebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin melambat. Menurut perhitungan, kebutuhan daging sapi nasional tahun ini naik 8,5% dibanding tahun lalu menjadi sekitar 640.000 ton.

Sebagian kalangan menganggap untuk memenuhi kebutuhan di atas pemerintah harus mengimpor daging, namun di sisi lain kebijakan ini akan mengganggu peternak dalam negeri. Sebagai gambaran, Provinsi Jawa Tengah mampu memproduksi daging hingga 402.670 ton, sedangkan kebutuhan di Jawa Tengah mencapai 204.119 ton.

Jawa Tengah dapat memasok daging ke daerah lain yang minus daging sapi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa impor hanya salah satu cara menurunkan harga komoditas dalam negeri, namun pada saat yang sama impor yang terus-menerus akan menerangkan kepada khalayak bahwa negara ini belum dapat mandiri dan swasembada pangan yang menjadi program prioritas sejak dulu hingga kapan pun tidak akan dapat terealisasi.

Harus diakui hingga saat ini kalkulasi kebutuhan daging dalam negeri belum jelas. Data kebutuhan daging simpang siur, tidak menunjukkan data yang akurat. Bagaimanapun kalkulasi persediaan daging harus akurat.

Jika tidak, pemerintah tidak dapat menjawab kebutuhan dan ketersediaan daging masa kini dan masa mendatang, termasuk menjelang hari raya. Simpang siurnya data menyebabkan terjadi penentuan kebijakan yang salah oleh pemerintah dan secara langsung tentu rakyat yang kena dampaknya.

Berdasarkan pengalaman selama ini, hukum supply and demand  akan sangat berlaku selama HBKN. Meski pasokan pangan dipastikan aman, distribusi yang masih panjang dan sentra produksi yang tersebar bisa berpengaruh terhadap harga yang dibebankan kepada masyarakat.

Jika distribusi ini tidak diatur, termasuk transportasinya, harga akan tinggi dan akses masyarakat akan susah. Kuncinya adalah membawa dari sentra produksi kepada sentra konsumen. Selama ini pola transportasi bahan pangan sedikti terganggu setelah Lebaran.

Transportasi bahan pangan hanya bisa beroperasi hingga H-1 Lebaran. Sedangkan stok beras cenderung aman hingga H+8 Lebaran karena biasanya sejak H-1 Lebaran distributor sudah menyimpan pasokan hingga delapan hari setelah Lebaran.

Pemerintah perlu mengendalikan distribusi pangan selama Ramadan dan Lebaran, seperti mencegah beredarnya makanan yang tidak layak, memberantas penimbunan oleh spekulan, menambah kelancaran armada pengangkut pangan, memberantas pungutan liar, dan menjaga stok serta harga yang tidak terlalu tinggi. [Baca selanjutnya: Apresiasi]Apresiasi

Niat pemerintah mengantisipasi harga dan ketersediaan pangan menjelang Lebaran dengan perencanaan jauh-jauh hari layak untuk diapreasiasi. Urusan ini adalah pertaruhan kesejahteraan rakyat. Ketentuan dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan di antara tugas wajib negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.

Ketika kita kaitkan dengan doktrin negara kesejahteraan (welfare state),  niat pemerintah itu sangat penting sebagai bentuk campur tangan negara dalam urusan-urusan publik. Selama ini hampir setiap memasuki bulan suci Ramadan dan menjelang Lebaran harga pangan selalu naik tanpa ada intervensi optimal dari pemerintah untuk menahannya.

Kondisi tersebut layak menjadi perhatian pemerintah sekarang di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat. Telah ada landasan yuridis untuk intervensi pemerintah tersebut. Dalam Pasal 25 UU Perdagangan dijelaskan pemerintah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dengan jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.

Dalam Pasal 26 UU yang sama ada penjelasan  bahwa Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.

Sementara dalam Pasal 51 UU Pangan  disebutkan pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan dengan tujuan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan, terutama pangan pokok, manajemen cadangan pangan serta menciptakan iklim usaha pangan yang sehat.

Selanjutnya dalam Pasal 52UU Pangan ada penjelasan dalam hal perdagangan pangan pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif