Kolom
Minggu, 15 Mei 2016 - 09:00 WIB

GAGASAN : Dokumen Panama, Akuntabilitas, dan Tranparansi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Todung Mulya Lubis (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (13/5/2016), ditulis Todung Mulya Lubis. Penulis adalah Advokat Partner Senior Lubis, Santosa & Maramis Law Firm.

Solopos.com, SOLO — Saya tidak sedang melawan arus ketika mengatakan pendirian perusahaan cangkang (shell company) untuk keperluan bisnis transnasional sangat banyak ditemukan.

Advertisement

Dalam pekerjaan saya sebagai konsultan hukum, saya sering berpapasan dengan perusahaan cangkang yang masuk ke Indonesia yang didirikan oleh perusahaan induknya (perusahaan cangkang ini masuk sebagai badan hukum terpisah).

Konglomerat Indonesia yang berinvestasi di negara lain juga sering menggunakan perusahaan cangkang. Selama berpuluh tahun praktik menggunakan perusahaan cangkang sebagai kendaraan bisnis (special purpose vechile) seolah menjadi praktik bisnis yang lazim.

Rasionalnya adalah perusahaan induk tak mau terkena risiko (liability) kalau perusahaan cangkang yang didirikannya itu merugi, disita, atau digugat ke pengadilan.

Advertisement

Selain itu, perusahaan cangkang itu didirikan di negara tax haven sebagai bagian dari perencanaan pajak (tax planning). Kepada pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), saya tanyakan apakah BKPM pernah dan akan menolak perusahaan cangkang yang masuk membawa modal ke Indonesia?

Jawabannya tidak akan menolak karena BKPM tahu persis masuknya perusahaan cangkang itu adalah strategi korporasi dari penanam modal.

Dalam UU Penanaman Modal kita tak ada persyaratan pendirian perusahaan terbatas penanaman modal asing (PT PMA) yang mewajibkan perusahaan itu tak didirikan di negara yang disebut suaka pajak atau tax haven countries.

Kalau perusahan cangkang ditolak maka tak akan banyak penanam modal masuk ke negeri ini karena sangat jelas bahwa perusahaan induk tak mau mengaitkan aset dan kekayaannya sebagai sumber pembayaran liability jika penanaman modalnya itu mengalaman kerugian atau digugat oleh pihak lain.

Advertisement

Kalau dilihat dalam strategi bisnis korporasi, strategi ini punya alasan rasional yang kuat karena mana ada pebisnis yang mau merugi? Bisnis itu pasti mencari untung.

Untuk itu kekayaan perusahaan induknya pasti dipisahkan agar tak menjadi jaminan pembayar ganti rugi jika perusahaan cangkang yang didirikannya merugi.

Adalah sangat biasa perusahaan multinasional dan konglomerasi mencari fasilitas yang menguntungkan buat bisnisnya, apalagi investasinya terbilang besar.

Jadi kendaraan perusahaan juga dicari yang memberikan keleluasaan dan terjauhkan dari risiko dan perusahaan cangkang adalah yang paling lincah sebagai special purpose vechile atau SPV.

Advertisement

Melalui SPV inilah perusahaan masuk ke negara mana pun yang dianggap memberikan semua insentif dan prospek keuntungan. Perlu kita ketahui, walaupun perusahaan cangkang ini merupakan milik warga negara dari negara tempat didirikan tetapi pada dasarnya perusahaan itu tak memiliki nasionalitas.

Perusahaan itu juga bukan stateless actor. Perusahaan itu adalah aktor bisnis yang ideologinya keuntungan (profit). Jadi kalau negara mengharapkan perusahaan itu punya nasionalisme maka harapan itu mungkin terdengar sangat idealistis dan romantis.

Panama Papers atau Dokumen Panama yang bocor ke publik memang menggemparkan dunia karena banyak nama penguasa, politikus, dan selebritas yang muncul di sana.

Mereka serta-merta dituduh menghindari kewajiban membayar pajak. Mereka dituduh melarikan modal ke luar negeri. Mereka dituduh mencuci uang. Mereka dituduh tidak nasionalis.

Advertisement

Mungkin tuduhan itu ada benarnya tapi belum tentu semuanya benar. Mungkin ada yang sengaja menghindari pajak, melarikan modal, dan mencuci uang.

SPV itu bisa juga sebagai perusahaan yang didesain sebagai tempat menerima uang (kickback), tetapi banyak juga yang mendirikan itu murni sebagai strategi bisnis yang meminimalisasi risiko dan tanggung jawab kalau perusahaan merugi atau digugat.

Banyak juga yang mendirikan perusahaan itu untuk sekadar berjaga-jaga kalau ada business opportunity dan SPV sudah tersedia. Jangan lupa, banyak juga yang sudah didirikan lantas mati karena tidak ada bisnis yang dikerjakan dan SPV itu menjadi mubazir.

Poinnya adalah kita tak bisa menyamaratakan semua perusahaan cangkang seolah-olah mereka itu punya niat jahat, pengemplang pajak, dan pelaku pencucian uang. Kita mesti melihatnya secara kasuistis. [Baca selanjutnya: Beban Pembentukan]

Beban Pembentukan

Jadi di sini ada soal beban pembuktian (burden of proof). Perusahaan cangkang  yang dituduh menghindari pajak, menerima kickback, atau mencuci uang harus dibuktikan bahwa mereka memang melakukan itu.

Advertisement

Jika perusahaan cangkang itu semata-mata didirikan sebagai aktor bisnis untuk investasi, keberadaan perusahaan cangkang itu harus diterima sebagai praktik bisnis yang lazim.

Belum tentu perusahaan cangkang itu membawa modal dari negara asal pemegang sahamnya. Bisa jadi perusahaan cangkang itu mendapatkan modal dari pasar modal internasional atau pinjaman dari berbagai lembaga keuangan.

Sejatinya, inilah konsekuensi dari globalisasi, bisnis tak mengenal lagi batas-batas negara. Panama Papers harus diterima sebagai bagian dari revolusi yang terjadi, revolusi dari sistem tertutup menuju sistem yang lebih terbuka. Rahasia bank tak lagi absolut.

Konfidentialitas dokumen tak lagi kebal terhadap penyelidikan publik. Singkat kata, Panama Papers adalah pertanda kita tengah berlayar di lautan transparansi dan akuntabilitas.

Di sini perilaku bisnis harus berkiblat pada kemaslahatan orang banyak, tak lagi hanya memikirkan pemegang saham. Prinsip bahwa hak milik itu punya fungsi sosial tampaknya menjadi utama dan sekaligus apa yang disebut sebagai illicit enrichment menjadi sama sekali mustahil (serta melawan hukum).

Dalam konteks ini bisa dikatakan Panama Papers bisa disebut sebagai eye opener untuk lebih berkaca pada diri kita dan bertanya sejauh mana kita menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Khususnya mereka yang memangku jabatan publik sama sekali tak boleh memiliki perusahaan cangkang karena itu mengkhianati kewajiban mereka sebagai pelayan rakyat.

Kalau mereka pernah memiliki perusahaan cangkang maka sebelum menjabat semua itu  harus dilepaskan dan dilaporkan kepada publik melalui laporan harta kekayaan pejabat negara LHKPN. Buat mereka yang tak melaporkan diharapkan untuk mundur dari jabatan publik itu. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif