Peluang usaha yang dilakukan warga Sleman ini bisa menjadi inspirasi Anda.
Solopos.com, SLEMAN — Ikan pari selain dikonsumsi, ternyata bagian kulitnya bisa menghasilkan pundi-pundi. Seorang difabel asal Brebes Jawa Tengah pun berusaha memanfaatkan kulit ikan pari sebagai bahan kerajinan.
Di tangan Sulaeman, kulit ikan pari disulapnya menjadi dompet, tas, sabuk, gantungan kunci, dan bahkan sepatu. Ia menjalani produksinya di Jalan Kaliurang Km.13,5 Sukoharjo, Ngaglik, Sleman tepatnya 30 meter di selatan Pusat Rehablitasi Penyandang Cacat Yakkum Sleman.
Keterbatasan fisik tak menghalanginya untuk terus berkarya dan mandiri. Meski ia dibantu kaki palsu untuk berjalan, ia tampak gesit menjajakan produknya. “Setiap bulan bisa memproduksi sampai 500 produk,” kata bapak dua anak ini saat ditemui Harian Jogja di rumah produksinya, Jumat (29/4/2016) pagi.
Keterbatasan fisik tak menghalanginya untuk terus berkarya dan mandiri. Meski ia dibantu kaki palsu untuk berjalan, ia tampak gesit menjajakan produknya. “Setiap bulan bisa memproduksi sampai 500 produk,” kata bapak dua anak ini saat ditemui Harian Jogja di rumah produksinya, Jumat (29/4/2016) pagi.
Sulaeman mendapatkan material kulit pari dari nelayan di pesisir utara dan selatan Jawa. Kulit pari yang sudah disamak tersebut ia beli seharga Rp50.000 per lembar. Satu lembar biasanya dapat digunakan untuk membuat satu buah dompet seharga Rp100.000 sampai Rp300.000.
Untuk kebutuhan bahan kulitnya, Sulaeman mengaku tidak kesulitan karena ada penyuplai yang menyediakannya. Dalam sebulan kulit pari yang dibutuhkan antara 500 sampai 1.000 lembar.
Dari modal kulit Rp50.000 tersebut, ia mampu mengubahnya menjadi kerajinan bernilai jual tinggi. Setidaknya untuk tas, ia mampu menjualnya hingga Rp2,5 juta dan sabuk Rp350.000-Rp750.000.
Produk-produknya ia jual sampai ke pelosok daerah di Indonesia, seperti Papua. Pria kelahiran 10 Oktober 1963 ini belum fokus terhadap pasar ekspor namun, beberapa pelanggannya ada yang menjual produk berlabel Fanri Collection ini sampai luar negeri.
Bisnis ini sudah ia rintis sejak 1994. Pada 2012, ia mendapat pembinaan dan bimbingan dari Dinas Kelautan DIY untuk terus meningkatkan kemampuan para pelaku usaha ikan nonkosumsi.
Melalui bimbingan tersebut ia mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan mengenai pengolahan produk perikanan, dan pemasaran produk perikanan. Untuk mendukung usahanya, ia juga mendapatkan bantuan peralatan berupa mesin jahit, mesin seset, kompresor, dan juga genset.
Sulaeman bisa mendapatkan omzet antara Rp100 juta hingga Rp200 juta dalam sebulan. Dengan keuntungan 10%-20% dari omzet per bulannya itu, Sulaeman mampu mempekerjakan 15 karyawan yang semuanya juga penyandang cacat.
Sulaeman sengaja memilih karyawannya dari kaum difabel, yang menurutnya memang sangat membutuhkan kesempatan untuk bekerja. “Kemarin sempat nambah karyawan hasil kerjasama dengan SMK,” kata dia.
Ia membuka counter di rumahnya untuk memasarkan produknya. Namun untuk pemasaran besar, Sulaeman lebih banyak mengirim produknya ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, Sumatera, hingga Merauke.