Kolom
Minggu, 1 Mei 2016 - 04:30 WIB

GAGASAN : Produktivitas dan Akses Pangan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anindita Prabawati (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (30/4/2016), ditulis Anindita Prabawati. Penulis adalah anak petani yang belajar di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Ala, Universitas Sebelas Maret Santri di Bilik Literasi Solo.

Solopos.com, SOLO — Seorang ilmuwan dan peneliti andal bidang penyakit tanaman, Norman Borlaug, dinobatkan sebagai Bapak Revolusi Hijau setelah bibit gandum unggul yang ia kembangkan menghasilkan panen  berlimpah dan berhasil menuntaskan masalah kelaparan di India pada 1960-an.

Advertisement

Bibit unggul ini seolah titisan Dewi Laksmi (India) atau Parvathi (utara Himalaya) yang menjawab doa para petani: tanaman tahan hama, umur tanaman relatif singkat, dan hasil panen melimpah. Nikmat mana yang dapat didustakan?

Indonesia kemudian menerapkan revolusi hijau skala nasional. Pemerintah dan masyarakat petani larut dalam euforia revolusi bidang pertanian yang mampu mengatasi krisis pangan dalam negeri. Revolusi hijau di Indonesia kemudian menuai banyak kritikan.

Sayang, kritikan ini datang sangat terlambat, yakni setelah memasuki era reformasi. Orde Baru yang menerapkan revolusi hijau memang kurang memungkinkan bagi kritik publik dan kritik ilmiah. Akibatnya, evaluasi dan perbaikan sistem pertanian, baik produksi maupun akses pangan, sulit terjadi.

Advertisement

Ilmuwan diberi kesibukan meneliti perkara-perkara pertanian yang—sayangnya—berguna melanjutkan kebijakan revolusi hijau. Pada akhirnya, kritikan (yang terlambat) dan  hasil penelitian mutakhir para saintis hanya berguna sebagai bahan refleksi dengan harapan semoga tidak terulang kembali kesalahan sistematis yang sama.

Kritik para peneliti dan ilmuwan umumnya ditujukan pada sebuah siklus yang sudah telanjur berputar. Kritik seputar program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan ”berasisasi” (pangan pokok ‘didefinisikan’ sebatas beras).

Kritik seputar introduksi bibit unggul tahan hama tetapi menguras unsur hara tanah sehingga butuh pupuk kimia sebagai tambahan. Pemerintah memberi subsidi pupuk yang justru membuat petani tergantung pada pupuk kimia.

Ketergantungan ini dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku industri bahan kimia pertanian. Ongkos produksi jadi tinggi. Akibat lainnya adalah hilangnya pola rotasi tanaman dan sistem pembacaan gejala alam untuk aktivitas bertani (pranata mangsa).

Advertisement

Dampak residu bahan kimia bagi kesehatan dan lingkungan banyak dipaparkan dalam buku-buku tentang lingkungan. Tetap saja petani belum bisa sepenuhnya melepaskan laku kimiawi. Majalah pertanian barangkali turut andil mengiklankan bahan kimia pertanian.

Hal yang cukup paradoksal adalah hasil produksi pertanian yang tinggi belum tentu sebanding dengan akses masyarakat terhadap pangan. Hasil riset tim Desa Tompobulu, Makassar, yang disponsori Dewan Mahasiswa Universitas Helsinki, Finlandia, membuktikan ketersediaan beras sebagai pangan utama bukanlah suatu masalah.

Petani (jelas) mampu memproduksi beras. Masalahnya adalah apabila jumlah beras yang dijual oleh petani terlalu banyak maka akses masyarakat terhadap pangan jadi berkurang.

Perilaku petani sangat menentukan akses pangan. Petani punya kuasa untuk menyimpan atau menjual hasil panen. Petani juga punya kuasa untuk menentukan apa yang akan ditanam pada musim berikutnya. [Baca selanjutnya: Gawat]Gawat

Advertisement

Krisis pangan diprediksi akan gawat justru dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, berbarengan dengan krisis air bersih, kerusakan ekosistem, berkurangnya biodiversitas, dan ancaman bencana lingkungan (Andreas Maryoto dalam Setyaningsih, 2016).

Dari beberapa ancaman yang membarengi krisis pangan tersebut, saya menduga akan/sedang terjadi bencana antropogenik atau bencana yang disebabkan polah manusia sendiri.

Penyebabnya adalah perilaku manusia yang kurang ramah terhadap alam, misalnya pengupayaan produksi padi (beras) yang boleh dibilang ngaya (memaksakan diri). Rasa takut dan khawatir akan pangan mungkin telah memotivasi orang untuk ”berjuang” memproduksi beras, apa pun risiko dan tantangannya.

Saat kemarau panjang, yang boleh dimanfaatkan untuk produksi selain beras, lahan tetap dipaksakan menjadi sawah penuh padi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tanaman padi, digalilah sumur bor untuk pengairan sawah.

Advertisement

Sumur bor ini bisa mengurangi stok air dalam tanah. Pemilihan varietas bibit unggul tak luput dari bagian perilaku bertani. Bibit unggul hasil rekayasa laboratorium tak jarang berhasil menyingkirkan varietas padi lokal.

Hal ini membuat ahli lingkungan seperti Otto Soemarwoto (1997) khawatir akan kehilangan sumber genetis/plasma nutfah padi asli Indonesia. Penemuan bibit unggul oleh Borlaug seperti madu dan racun dalam satu cawan.

Borlaug sukses menyelamatkan banyak manusia dari mitos kelangkaan pangan dan kelaparan, tetapi penemuan yang membuatnya dianugerahi Nobel Perdamaian pada 1970 harus ia bayar mahal di kemudian hari dengan rasa penyesalan, bahkan sepanjang sisa hidupnya.

Penemuan itu tidak juga menyadarkan khalayak pada masalah yang sesungguhnya: akses terhadap pangan! Sepertinya pola pikir untuk pemenuhan ”akses pangan” masih belum bisa menandingi imajinasi klasik ”produksi pangan” yang telanjur mengental dalam mental masyarakat petani.

Kini, masyarakat petani dan tentu juga pemerintah sepertinya masih mewarisi konsep bertani ala revolusi hijau yang berorientasi pada hasil. Seperti pandangan Borlaug, Amartya Sen (1982) menilai kelangkaan pangan bukan karena faktor produksi, tetapi akses terhadap pangan.

Sebelum revolusi hijau, daerah Besuki (Jawa Timur) dan Banyumas (Jawa Tengah) pernah mengalami surplus beras terbanyak di Indonesia pada era kolonial hingga masa pendudukan Jepang (Nawiyanto, 2003).

Advertisement

Peningkatan panen terjadi karena pembangunan irigasi, bukan introduksi bibit unggul, apalagi pupuk sintetis seperti yang termaktub dalam program revolusi hijau. Akses pangan tergantung pada gaya hidup konsumen dan gaya bercocok tanam para petani.

Menurut hemat saya, perilaku konsumen akan memengaruhi perilaku produsen. Kekuatan konsumen terletak pada kesadaran akan pilihan menu konsumsinya. Peningkatan kesadaran gaya hidup sehat dengan mengonsumsi bahan pangan yang bebas pestisida, misalnya, berpotensi meningkatkan jumlah petani organik.

Dengan membatasi penggunaan pupuk atau pestisida sintetis, petani melepaskan diri dari belenggu kapitalisme industri bahan kimia pertanian. Popularitas istilah diversifikasi pangan yang lebih menuntut aneka jenis tanaman pangan lokal bisa turut memengaruhi gaya bercocok tanam petani.

Sejak ribuan tahun lalu manusia telah berhasil mendomestikasi, membudidayakan tanaman di sekitar tempat hidupnya sebagai sumber pangan. Dengan kata lain, sejak ribuan tahun lalu, manusia telah mengonsumsi aneka buah, sayur, umbi-umbian, biji-bijian yang beraneka ragam, tidak melulu terpagut pada satu atau dua spesies pangan.

Dalam hal pangan lokal, Jared Diamond (2009) menekankan pentingnya kesadaran perbedaan biogeografis, yaitu tiap wilayah dengan kondisi geografi yang berbeda berkemungkinan (secara alami) ditumbuhi jenis tanaman yang berbeda pula.

Akan menjadi baik jika petani kembali menanam beragam jenis pangan untuk memenuhi diet nutrisi, sekaligus membuka akses pangan seluas-luasnya. Penerapan diversifikasi pangan sebagai salah satu akses terhadap pangan masih membutuhkan kajian mendalam.

Kajian itu terutama ihwal  pengaruhnya terhadap sistem pertanian skala besar, kemampuan alam mengimbangi kebutuhan pangan manusia (dan makhluk hidup lain), dan mungkin sampai pada pengaruhnya terhadap kehidupan sosial-politik.

Semoga para cendekiawan, peneliti, petani, dan pemerintah dapat bersama-sama memperluas akses pangan dan tentu ini akan terkait dengan perluasan akses ilmu bertani. Semoga.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif