Kolom
Sabtu, 30 April 2016 - 06:10 WIB

GAGASAN : Ujian Independensi Bank Indonesia

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Haryo Kuncoro (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (29/4/2016), ditulis Dosen Keuangan Negara di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Haryo Kuncoro.

Solopos.com, SOLO — Menutup April, dua peristiwa penting di bidang ekonomi terjadi dalam waktu yang berdekatan. Pekan pertama, pemerintah berhasil merampungkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016.

Advertisement

Skenario tanpa Undang-undang (UU) Tax Amnesty, perlambatan ekonomi domestik, dan merosotnya harga komoditas di pasar global membuat postur penerimaan negara menyusut signifikan.

D sisi lain, tingginya kebutuhan belanja infrastruktur menyebabkan pergeseran dari pos-pos pengeluaran lainnya dan dari pos penerimaan tertentu untuk dialokasikan ke belanja modal. Belanja kementerian/lembaga dan subsidi (bahan bakar minyak atau BBM, listrik, solar, dan gas) adalah ”korban” dari pergeseran ini.

Advertisement

D sisi lain, tingginya kebutuhan belanja infrastruktur menyebabkan pergeseran dari pos-pos pengeluaran lainnya dan dari pos penerimaan tertentu untuk dialokasikan ke belanja modal. Belanja kementerian/lembaga dan subsidi (bahan bakar minyak atau BBM, listrik, solar, dan gas) adalah ”korban” dari pergeseran ini.

Alhasil, efisiensi ketat atas pos-pos belanja di semua lini tetap saja belum mampu menekan pelebaran defisit dari 2,1% menjadi 2,5% atas pendapatan domestic bruto (PDB). Imbasnya, ada tambahan kebutuhan utang sekitar Rp40 triliun dan Rp21 triliun di antaranya adalah utang baru.

Peristiwa penting di sektor moneter terjadi pada pekan kedua. Bank Indonesia (BI) mengumumkan perubahan instrumen kebijakan moneternya. Mulai 19 Agustus 2016 instrumen suku bunga acuan tidak lagi menggunakan BI Rate melainkan BI 7-Days Reverse Repo Rate.

Advertisement

Dalam hal stabilisasi rupiah, nilai kurs dolar Amerika Serikat memang relatif stabil pada posisi Rp13.000-an, namun hal tersebut lebih disebabkan oleh arus masuk dana asing (capital inflow) lantaran kebijakan suku bunga negatif yang diterapkan negara-negara Eropa dan Jepang. Konsekuensinya, stabilitas nilai tukar belum mencerminkan keampuhan BI Rate.

Dari sisi perbankan, penggantian suku bunga acuan diumumkan pada saat proses penurunan suku bunga perbankan menuju single digit belum tuntas. Pemotongan BI Rate tiga bulan berturut-turut belum secara proporsional diikuti oleh penurunan suku bunga perbankan.

Alhasil, perebutan likuiditas antarpelaku pasar keuangan masih menjadi ancaman serius. Per definisi, BI 7-Days Repo Rate merupakan suku bunga transaksi atas penjualan Surat Utang Negara (SUN) dari BI kepada perbankan dengan syarat akan dibeli lagi oleh BI pada jangka waktu tertentu.

Advertisement

Artinya, suku bunga transaksi di pasar SUN menjadi jangkar alih-alih inflasi sebagaimana penentuan BI Rate. Pengendalian dinamika di pasar uang dari sisi likuiditas memudahkan BI dalam mengarahkan pergerakan suku bunga instrumen keuangan lainnya, seperti suku bunga simpanan dan pinjaman.

Dengan demikian, kebijakan ini mendukung mekanisme transmisi kebijakan moneter pada sektor riil. BI 7-Days Repo Rate merujuk pada SUN dengan tenor yang jauh lebih pendek, yaitu tujuh hari dibanding dengan BI Rate yang bertenor satu tahun.

Dengan demikian, BI 7-Days Repo Rate lebih fleksibel mengartikulasi dinamika yang terjadi di pasar uang. Pendalaman keuangan (financial deepening) adalah target pergantian suku bunga acuan ini. Benang merah antara kedua peristiwa di atas tersimpul pada SUN.

Advertisement

Harus diakui, SUN masih menjadi andalan pemerintah menambal defisit APBN. Strategi pre-funding pada akhir 2015 dan front loading pada awal 2016 menyebabkan penawar SUN melimpah (oversubscribe). Akibatnya tingkat bunga yang ditawarkan harus tinggi agar pemodal mau membeli SUN. [Baca selanjutnya: Dilema Pemerintah]Dilema Pemerintah

Kenyataan di atas memunculkan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi, tingginya suku bunga mendorong pemilik dana bersedia memegang SUN yang selanjutnya melancarkan operasi APBN. Di sisi lain, tingginya suku bunga SUN berakibat pada beban pembayaran saat jatuh tempo nanti.

Sebagai gambaran, sepanjang tahun lalu pemerintah menyisihkan Rp183 triliun untuk pembayaran bunga. Dengan ruang gerak fiskal yang sempit, belanja bunga dibayar dari aliran utang neto. Insolvensi ini berakibat risiko gagal bayar semakin besar. Risiko yang semakin besar menuntut suku bunga yang lebih tinggi lagi untuk dapat utangan baru.

Mengantisipasi beban bunga pada masa depan, pemerintah sudah sering kali minta agar perbankan menurunkan suku bunganya. Dalam pertemuan untuk kali pertama antara pemerintah dengan BI pada rapat Dewan Gubernur, Maret, Menteri Koordinator Perekonomian kembali mengemukakan pandangan pemerintah untuk menurunkan suku bunga.

Bagi BI, memasukkan faktor transaksi SUN sebagai dasar dalam menetapkan suku bunga acuan BI 7-Days Repo Rate potensial menggerus independensinya. UU No. 23/1999 yang diperbaharui beberapa kali hingga UU No. 6/2009 tentang Bank Sentral mengamanatkan independensi BI dari intervensi pihak manapun dalam merumuskan kebijakan moneter.

Sasaran tunggal yang diamanatkan UU adalah stabilisasi rupiah. Stabilitas rupiah mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai terhadap barang dan jasa di dalam negeri yang dicerminkan oleh inflasi, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang ditunjukkan oleh rendahnya fluktuasi kurs.

Suku bunga acuan BI 7-Days Repo Rate semata-mata merujuk pada dinamika pasar uang alih-alih terhadap tingkat inflasi dan fluktuasi kurs. Dengan demikian, tanpa mekanisme akomodasi ketat terhadap tingkat inflasi dan fluktuasi kurs, BI 7-Days Repo Rate akan menjauh dari amanat stabilisasi rupiah.

Alhasil, transisi dari BI Rate ke BI 7-Days Repo Rate dalam tiga bulan mendatang menjadi masa kritis. Kecurigaan hubungan subordinasi antara Kementerian Keuangan dan BI senantiasa akan muncul. Otoritas fiskal mengondisikan sektor finansial agar memasok dana murah kepada negara. Artinya, target fiskal menjadi faktor utama pengubah kebijakan moneter.

Kalau sudah begini, independensi BI sebagai institusi dengan sendirinya menjadi ujiannya, padahal independensi kebijakan moneter banyak disebut-sebut sebagai salah satu aspek yang paling fundamental dalam implementasi kebijakan ekonomi makro. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif