Soloraya
Rabu, 27 April 2016 - 21:40 WIB

PERTANIAN SUKOHARJO : Petani Kritik Program Asuransi Pertanian, Ini Alasannya

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi panen padi (JIBI/Bisnis/Dok.)

Pertanian Sukoharjo, nilai ganti rugi sawah yang rusak akibat bencana dinilai tak memihak petani.

Solopos.com, SUKOHARJO–Sejumlah petani di Sukoharjo mengkritik program asuransi di sektor pertanian yang digulirkan pemerintah pusat pada 2015. Nilai ganti rugi sawah yang rusak akibat bencana alam atau serangan hama senilai Rp6 juta/hektare dinilai tak dapat menjaga kelangsungan hidup petani pada masa tanam (MT) berikutnya.

Advertisement

Jatah program asuransi pertanian dari pemerintah pusat di Sukoharjo seluas 20.000 hektare. Asuransi pertanian hanya diberikan kepada petani yang sawahnya terkena dampak bencana alam seperti banjir, kekeringan atau diserang organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti tikus dan wereng batang cokelat.

Nominal premi asuransi pertanian di setiap hektare senilai Rp180.000. Petani hanya dibebani membayar premi asuransi senilai Rp36.000. Sementara sisanya ditanggung pemerintah pusat.  Pelaksanaan program asuransi pertanian di Sukoharjo hanya selama enam bulan mulai Oktober 2015-Maret 2016 atau satu kali MT.

Seorang petani asal Desa Cangkol, Kecamatan Mojolaban, Sriyono, mengatakan sebagian petani di Desa Cangkol gagal panen lantaran sawahnya diserang hama tikus sejak awal Januari lalu. Lantaran gagal panen akibat serangan hama tikus maka petani mengajukan program asuransi pertanian. Namun, ganti rugi yang dibayarkan pemerintah maksimal senilai Rp6 juta/hektare dinilai cukup minim.

Advertisement

“Biaya operasional seperti membeli benih, pupuk dan mengolah sawah lebih dari Rp15 juta/hektare. Nah, kalau nilai ganti rugi maksimal hanya Rp6 juta tak bisa digunakan untuk menggarap sawah pada MT II,” kata dia, saat ditemui Solopos.com di Mojolaban, Rabu.

Kepala Desa Cangkol ini mengungkapkan semestinya nilai ganti rugi yang dibayarkan kepada petani paling tidak setara dengan biaya operasional untuk menggarap sawah. Sehingga petani dapat mengolah sawah pada MT berikutnya.

Dia mengancam bakal menolak program asuransi pertanian untuk para petani di wilayahnya pada MT II. Hal itu dilakukan agar pemerintah pusat mengkaji ulang program asuransi di sektor pertanian itu. “Saya sudah puluhan tahun menjadi petani jadi tahu benar kondisi pertanian. Saya minta pemerintah mengkaji ulang program asuransi pertanian karena kurang diminati petani. Nilai premi yang harus dibayarkan petani cukup tinggi sementara petani juga harus merogoh kocek untuk membiayai operasional mengolah sawah,” papar dia.

Advertisement

Hal senada diungkapkan petani lainnya, Murdoko. Para petani telah mengajukan program asuransi pertanian lantaran gagal panen akibat sawahnya diserang hama tikus. Hingga kini, para petani belum menerima uang ganti rugi yang dibayarkan PT Jasindo.

“Uang ganti rugi maksimal Rp6 juta/hektare. Jadi belum tentu segitu [Rp6 juta], bisa jadi hanya Rp3 juta/hektare atau Rp4 juta/hektare,” tutur dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif