Jatim
Rabu, 27 April 2016 - 07:05 WIB

INDUSTRI KECIL PONOROGO : Musim Penghujan, Produksi Batu Bata di Jenangan Merosot

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengrajin batu bata asal Jenangan, Ponorogo, Parlan, menata batu bata basah di rumah produksinya, Selasa (26/4/2016). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Industri kecil Ponorogo berupa produksi batu bata merosot pada musim penghujan.

Madiunpos.com, PONOROGO — Produksi batu bata di Kecamatan Jenangan, Ponorogo, pada musim penghujan menurun hingga mencapai 50% ketimbang produksi pada musim kemarau.

Advertisement

Kondisi ini membuat pengrajin batu bata harus memutar otak untuk melakukan pekerjaan sambilan supaya kebutuhan hidup bisa terus terpenuhi.

Pantauan Madiunpos.com di Desa Semanding, Jenangan, yang merupakan sentra industri batu bata, Selasa (26/4/2016), puluhan pengrajin terlihat menyetak tanah liat menjadi persegi panjang dan kemudian menjemurnya di terik matahari.

Advertisement

Pantauan Madiunpos.com di Desa Semanding, Jenangan, yang merupakan sentra industri batu bata, Selasa (26/4/2016), puluhan pengrajin terlihat menyetak tanah liat menjadi persegi panjang dan kemudian menjemurnya di terik matahari.

Siang itu, matahari hanya tampak sebentar setelah itu hujan menutup sinarnya. Akhirnya, para pengrajin pun terpaksa menutupi batu bata yang masih basah itu dengan terpal.

Seorang pengrajin batu bata Jenangan, Parlan, 50, mengatakan pada musim penghujan jumlah produksi batu bata mengalami penurunan yang cukup tinggi mencapai 50% dari produksi pada musim kemarau.

Advertisement

Parlan menyampaikan untuk harga satuan batu bata yaitu senilai Rp600. Harga tersebut merupakan harga pada umumnya. Menurut dia, harga itu bisa naik pada saat kebutuhan batu bata di pasaran meningkat.

Pada musim kemarau, kata dia, untuk satu kali produksi  membutuhkan waktu lima hari. Tetapi, saat musim penghujan satu kali produksi bisa mencapai 12 hari.

“Ini saya 1.000 batu bata produksi tiga hari lalu masih basah, ya ini karena tidak ada sinar matahari,” kata warga Dukuh Jatisari, Semanding, saat berbincang dengan Madiunpos.com di rumah produksinya, Selasa.

Advertisement

Untuk bahan baku, dia mengaku sudah memiliki tanah liat sendiri, sehingga dia hanya membutuhkan kayu untuk proses pembakaran batu bata. Untuk kayu bakar, dia membeli dengan harga Rp400.000 per pikap.

“Kayu bakar satu mobil pikap biasanya untuk 4.000 batu bata, itu belum jerami untuk membakarnya,” kata dia.

Lebih lanjut, dia menuturkan karena produksi batu bata menurun saat ini dia juga bekerja serabutan. Hal ini supaya bisa menutup biaya kebutuhan setiap hari yang tidak mungkin hanya dibebankan pada pendapatan dari produksi batu bata.

Advertisement

Pengrajin batu bata lain, Bambang Sutarno, menyampaikan hal yang sama. Pada musim penghujan, jumlah produksi batu batanya menurun cukup tinggi.

Dia mengatakan tidak memiliki bahan baku, sehingga seluruh bahan baku seperti tanah liat dan kayu bakar harus membeli ke warga yang memilikinya.

Untuk bahan baku tanah liat, kata dia, untuk satu bak mobil pikap senilai Rp100.000, itu untuk 800 batu bata. Sedangkan bahan baku kayu bakar dibeli dengan harga Rp400.000 per mobil pikap.

“Saat produksi menurun, biasanya saya mencari kerja serabutan, sembari menunggu produksi batu bata selesai. Ini supaya dapur tetap mengepul,” jelas dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif