Kolom
Rabu, 27 April 2016 - 05:10 WIB

GAGASAN : Ironi Petani dalam Kehidupan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Irkham Abdussalam (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (26/4/2016), ditulis M. Irkham Abdussalam. Penulis adalah esais dan petani di Desa Keron Lor, Sidoharjo, Wonogiri, dan aktif di Etnolib Culture Studies Semarang.

Solopos.com, SOLO — Nasib petani negeri ini di ujung tanduk. Meski berjuluk negara agraris, nyatanya nasib petani selalu terpinggirkan. Petani selalu termarginalkan, distigma sebagai kaum kelas bawah. Gambar petani berkelindan di buku-buku anak sekolah dasar (SD), nyatanya tak banyak generasi yang sudi jadi petani.

Advertisement

Petani yang selalu menyediakan pangan bagi manusia lain justru diperlakukan semena-mena oleh negara. Menjadi petani di negeri ini justru identik dengan sejuta kesialan. Masalah saat bertani juga tak kalah sialnya.

Saat hendak menanam, petani teradang besarnya modal yang harus dikucurkan. Saat menanam, musuh petani adalah iklim yang tak bisa diperhitungkan. Saat memanen, petani berhadapan dengan para tengkulak dan permainan harga pasar.

Alhasil, bertani tak cukup memberi untung, justru kadang merugi berujung buntung. Jika kita membandingkan nasib petani kita dengan nasib petani di negara lain, permasalahan-permasalahan ini tidak pernah ditemui.

Advertisement

Di banyak negara petani ditempatkan sebagai pekerjaan yang sangat terhormat. Tengoklah negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, dan Australia. Nyaris tidak ada kasus bentrok petani dengan pemerintah yang berujung penggusuran atau pembunuhan.

Lain soal dengan negara ini. Pada 2015 saja kasus bentrok pemerintah dengan petani berujung hilangnya nyawa. Kasus bentrok petani dengan tentara di Kebumen, Jawa Tengah; kasus pembunuhan petani di Lumajang, Jawa Timur; penculikan petani di Kabupaten Tebo, Jambi; dan masih banyak lagi.

Yang masih hangat tentunya adalah bentrok kepentingan antara petani dengan pengusaha di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Perlawanan para petani selama kurang lebih dua tahun. Nasib bertani diperjuangkan sendiri oleh petani.

Negara seakan abai, tidak hadir, bahkan ikut bermain mencederai petani. Meski dalam setiap pidato dan kampanye selalu menekankan akan mendorong kesejahteraan petani, namun faktanya tak lebih sekadar omongan.

Advertisement

Alhasil, kesejahteraan para petani tak kunjung didapatkan. Yang terjadi justru semakin terpinggirkan. Sekitar 56% dari 68% penduduk miskin di perdesaan adalah petani. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di sektor pertanian mencapai 56,1%, jauh di atas industri (6,77%).

Sebagai produsen pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling terancam masalah rawan pangan. Sungguh, ironi negeri beras. Fakta-fakta di atas membuat pekerjaan bertani tak menarik minat generasi muda. Pertanyaan besar menggantung, jika nasib seperti itu, mengapa masih menjadi petani. Mengapa harus melawan pemerintah untuk sekadar mempertahankan tanah? [Baca selanjutnya: Tanah]Tanah

Pada 2009, seorang fotografer terkenal, Yann Arthus-Bertrand, memproduseri sebuah film dokumenter berjudul Home. Film ini dibuat sebagai upaya peningkatan kesadaran publik mengenai pemanasan global dan kelangsungan hidup bumi.

Disertai dengan beragam data dan statistik, film ini menghadirkan rekaman sejarah bumi, realitas kini, sekaligus tantangan bumi pada masa depan. Di film tersebut, pertanian juga disinggung, “pertanian adalah revolusi terbesar manusia.”

Advertisement

Pertanian adalah hasil kerja peradaban dan kejeniusan yang paling berpengaruh bagi kehidupan manusia pada masa-masa mendatang. Para petani sangat menyadari hal itu. Sawah yang merupakan bagian dari tanah bukan sekadar benda mati.

Bagi orang Jawa, tanah adalah pusaka. Tanah berharga bukan karena nominalnya semata, tapi karena ada ikatan batin dengan pemiliknya. Sebagaimana juga sawah, tetap dipertahankan bukan karena keuntungan, tapi lebih dari itu, menyangga kehidupan.

Persepsi orang Jawa memandang tanah bisa dilihat dari sejumlah ungkapan. Orang Jawa menyebut tanah dengan sebutan siti. Kata siti memiliki arti ”sing ngati-ati”, ”sing gemati.” Artinya, tanah adalah barang penting yang harus dipelihara dengan hati-hati dan penuh perhatian.

Siti juga kerap diasosiasikan dengan nama perempuan, yang dimaknai sebagai kesuburan. Ungkapan sadumuk bathuk sanyari bumi menggambarkan bahwa tanah juga sebuah kehormatan. Bagaikan bathuk (kepala), tanah adalah sesuatu yang sakral.

Advertisement

Hanya orang-orang pilihan yang diperkenankan menyentuhnya. Jika ada yang berani melanggar itu, orang Jawa berikrar akan ”ditohi pati”. Jika tanah direbut orang lain, nyawa siap dipertaruhkan.

Tak mengherankan jika para petani berani mengadang penggusuran dan kesewenang-wenangan penguasa. Tak jarang, perlawanan itu berujung pada kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah kepada mereka.

Kita bisa melihat bagaimana para petani di Pegunungan Kendeng berjuang menjaga tanah mereka dari usaha pendirian pabrik semen. Meski menjadi petani tak pernah membuat mereka menjadi kaya, tapi sehidup semati mereka mempertahankan tanah mereka, sawah mereka.

Mereka meyakini dalam setiap butir padi yang mereka tanam akan menghasilkan beratus-ratus bulir padi. Padi itulah yang kelak akan dimakan banyak orang. Padi itulah yang akan menjaga kehidupan. Mereka bekerja untuk kemanusiaan.

Masanobu Fukuoka dalam bukunya berjudul Revolusi Sebatang Jerami menyatakan tujuan puncak bertani bukanlah hasil yang melimpah, melainkan kesempurnaan manusia. Tak banyak dari kita yang memahami nilai-nilai itu, apalagi di era yang berlari cepat tak terkendali.

Hal-hal semacam itu semakin terlupakan. Kita selalu mengira kegiatan dan aktivitas dalam hidup selama ini bisa membuat dunia lebih baik. Kita selalu mencipta teknologi terbaru, terlibat kerja ilmiah, merancang banyak program seolah-olah itu menyelamatkan kehidupan.

Advertisement

Sesungguhnya tak ada yang bisa kita selamatkan. Justru yang terjadi adalah kerusakan. Ini sesuai dengan yang digambarkan Wordworth dalam bait-bait puisinya: Campur tangan kaum intelek kita / merusak bentuk-bentuk indah benda-benda / Kita membunuh untuk membedah.

Sedangkan para petani yang terus-menerus dimarginalkan telah merawat kehidupan dengan cara yang sederhana. Membumi. Para petani mungkin tak mengenal Kahlil Gibran, tapi mereka memahami bahwa alamku bukan alamku, melainkan hidup yang menjaga masa depan anak-anakku, anak-anakmu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif