Kolom
Selasa, 26 April 2016 - 05:10 WIB

GAGASAN : Membumi dan Membuku

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Naufel (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (25/4/2016), ditulis Ahmad Naufel. Penulis adalah peneliti Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Selama dua hari berturut-turut pekan lalu, 22 dan 23 April, kita bersua dengan dua momentum: Hari Bumi (22 April) dan Hari Buku (23 April). Dua momentum itu mampu berjalan sinergis, tidak tumpang tindih, dan saling melengkapi antara satu sama lain.

Advertisement

Semangat “kebumian” dan semangat “kebukuan” dapat terwujud dalam satu lorong aktualisasi. Itulah yang redup dari diri bangsa ini. Kesadaran menyayangi bumi terempaskan sehingga kebakaran hutan menciptakan jelaga yang mengotori langit-langit kebangsaan kita.

Belum lagi penambangan dan pembangunan yang tak mengindahkan dampak lingkungan. James Redfied (1997) dalam The Celestine Prophecy, Manuskrip Calestine merapal itu sebagai bentuk ketidaksempurnaan evolusi kesadaran kita.

Semesta ini tak mampu disikapi dengan arif dan bijaksana. Manusia ekonomi (homo economicus) yang terpatri dalam diri kita telah membuncahkan hasrat arogansi. Orientasinya semata kapital dan materi.

Advertisement

Penebangan hutan secara liar (illegal logging), pencemaran lingkungan akibat limbah pabrik, serta ekploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali menggumpal, menciptakan persoalan yang akan mengantarkan ke tebing kehancuran ekosistem.

Arogansi materialistis yang menjadi-jadi dengan tanpa memikirkan keseimbangan ekologis merupakan bumerang yang niscaya akan berimplikasi pada tercerai-berainya mata rantai ekologi yang menjadi pertanda dari sebuah tragedi di bumi.

Anasir-anasir kerusakan lingkungan kian menegaskan narasi pilu manusia modern. Kita terperangkap dalam krisis. Demikian kata Huston Smith dalam suatu risalahnya tentang modernitas. Indonesia memang tak mengalami tragedi seperti Chernobyl atau Fukushima, tapi kita gagal merawat untaian bumi zamrud khatulistiwa untuk senantiasa berkilau dengan keasriannya.

Advertisement

Kearifan lokal (local wisdom) yang tertanam sejak lama, yang mengandung prinsip keseimbangan ekologis, pudar akibat desakan modernitas dan dianggap sebagai mitos yang irasional yang tak bisa ditemukan kebenaran ilmiahnya.

Sementara di sisi berbeda, kita terpuruk dalam peradaban yang kian anti terhadap buku. Buku dianggap barang yang harus dihindari. Sehingga UNESCO pada 2015 merilis presentase minat baca Indonesia hanya sekitar 0,01%, padahal Khalid Abou el-Fadl (2005), dalam Musyawarah Buku, menegaskan peradaban besar ditopang oleh buku dan etos literer yang kuat.

Gelora membaca yang menyala-nyala telah mengungkit Indonesia dalam getir kelamnya kolonialisme. Bapak bangsa kita telah mengajarkan ikhtiar menggumuli buku-buku. Mohammad Hatta berujar, “Selama aku bersama buku, kalian boleh memenjarakanku di mana saja sebab dengan buku pikiranku tetap bebas.”

Buku adalah penuntut adab maka ia harus dibaca, dihadapi dengan sikap kritis, namun jangan ditampik. Buku-buku yang telah bergumul, berdialektika, dan saling tanggap-menanggapi itulah yang menetaskan peradaban.

Sedangkan peradaban yang berpijak pada buku akan mehirkan keadiluhungan tingkah laku. Inilah yang diparadekan oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Muhammad Yamin dan lain sebaginya untuk mengangkat derajat penduduk pribumi agar berperadaban.

Menampik buku berarti menampik peradaban. Pada titimangsa ini manusia kehilangan “obor” untuk menerangi jalan hidupnya. Tak pelak, tingkah laku mereka sama sekali tak menggambarkan sebuah adab adiluhung. Pada fragmen ini pula manusia terjatuh dalam kawah egoisme-destruktif. Harmoni dengan alam semesta tak dapat dijalin. [Baca selanjutnya: Ekoliterasi]Ekoliterasi

Fritjof Capra (1996), hadir dengan gagasan segarnya, mencoba merajut kesadaran ekologi dengan kesadaran literasi dalam satu konsep, yakni ekoliterasi. Ekoliterasi merupakan sebuah keadaan yang paham dan mengerti terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan ini.

Sebelum melahirkan ekoliterasi, Capra sebagai fisikawan Inggris telah lama membangun visinya yang penuh harmoni dengan mengintegrasikan sains dan mistisime Timur. Capra bersama dua rekannya, Peter Buckley dan Zenobia Barlow, mendirikan Center of Ecoliteracy.

Pembangunan pusat ekoliterasi tersebut menandakan Capra menginginkan perubahan radikal agar diskursus tentang hidup yang berkelanjutan tidak hanya mengawang dalam dunia wacana melainkan menjejak dalam realitas praktis.

Mereka mengembangkan konsep tersebut dengan mentransformsikannya ke dalam dunia pendidikan. Konsentrasi pendidikan yang berawawasan ekoliterasi mencakup keseimbangan gerak lingkaran hidup (web of life) secara kontinu.

Komposisi bumi yang secara garis besar meliputi tanah, air, dan udara perlu dijaga dan digumuli kembali. Kita butuh ziarah pada masa silam untuk sekadar membaca dan meneguk kebijaksanaan para moyang memberlakukan bumi ini.

Melalui The Web of Life, Capra merujuk enam hal harus dilakukan dalam menjalankan etos ekoliterasi; yaitu saling ketergantungan (interdependency), kemitraan (partnership), siklus kembali (recycling), keanekaragaman (diversity), fleksibilitas (flexibility), dan keberlanjutan (sustainability).

Membaca dan menjaga alam merupakan dua komponen yang berjalan sinergis. Membaca berarti memupuk ilmu pengetahuan untuk menebalkan kesadaran ekologis. Ekoliterasi sebagai episentrum oleh Capra diharapkan mampu memantik sebuah rancangan yang berwawasan ekologis.

Dengan demikian spektrum spiritnya dapat mengendap dalam berbagai dimensi, seperti politik, ekonom,i dan kebudayaan. Menggumuli buku-buku berarti juga menanam pohon-pohon. Ada transformasi dari teks ke konteks hingga dapat menciptakan gerakan konkret dan pasti. Itulah spirit “membuku” dan “membumi”.

Pada tahun keduaPresiden Joko Widodo memimpin negeri ini, wawasan “kebumian” dan “kebukuan” harus mendapat porsi yang lebih. Beginilah cara merawat imajinasi para bapak bangsa kita. Untaian keindahan negeri ini haus dijaga, jangan lagi dicorengi dengan kebakaran hutan, persoalan sampah, pembalakan liar, dan eksploitasi tak ramah lingkungan.

Keindahan bumi Indonesia yang kita pijak tidak akan bermanfaat jika tidak disokong dengan etos “kebukuan”. Tak mengacuhkan hal itu berarti kita tengah menjemput ahir sejarah kita sendiri (the end of history). Semoga tidak.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif