Kolom
Senin, 25 April 2016 - 07:00 WIB

GAGASAN : Pengarusutamaan Kesadaran Lingkungan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Calvin Sidjaya (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (22/4/2016), ditulis peneliti di Marthinus Academy Jakarta Calvin Sidjaya. 

Solopos.com, SOLO — Februari 2016 tercatat sebagai bulan terpanas sepanjang sejarah umat manusia. Bangsa Indonesia tidak semestinya mendiamkan hal ini. Indonesia sudah mencatatkan rekor sebagai salah satu produsen emisi gas karbon dioksida terbesar di dunia karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.

Advertisement

Pada 2005, Indonesia tercatat memproduksi 2,05 miliar ton CO2 (karbon diaoksida). Emisi ini terbesar setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Dewan Perubahan Iklim memperkirakan emisi Indonesia bisa mencapai 2,8 miliar ton pada 2020, meningkat 36% dalam 15 tahun.

Pembakaran hutan merupakan penyumbang persentase terbesar emisi saat ini, tetapi meningkatnya gelombang urbanisasi juga memberi andil. Proporsi konsumsi energi, semen, dan bangunan diperkirakan akan memberi kontribusi sebesar 24% pada masa yang akan datang.

Advertisement

Pembakaran hutan merupakan penyumbang persentase terbesar emisi saat ini, tetapi meningkatnya gelombang urbanisasi juga memberi andil. Proporsi konsumsi energi, semen, dan bangunan diperkirakan akan memberi kontribusi sebesar 24% pada masa yang akan datang.

Meningkatnya kekuatan ekonomi akan membuat penduduk ingin meningkatkan kualitas hidup mereka dan akan mengonsumsi energi lebih banyak lagi. Indonesia telah menargetkan mengurangi emisi sebesar 26% pada 2020.

Visi ini dituangkan dalam berbagai regulasi yang memicu kota-kota menggunakan serfitikasi bangunan hijau, misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No/02/PR/M/2015. Kota Bandung, Makassar, dan Surabaya menjadi kota untuk pilot project atau proyek percontohan.

Advertisement

Pada 2013 hanya ada sekitar 20 bangunan hijau di Jakarta, namun pada 2015 ada sekitar 140 gedung yang menunggu disertifikasi. Hal ini tentunya merupakan perkembangan yang sangat baik mengingat rendahnya pengarusutamaan kesadaran lingkungan di Indonesia.

Sangat penting bagi pemerintah Indonesia maupun pihak yang terkait untuk mempelajari praktik-praktik terbaik dari sertifikasi bangunan hijau. Beberapa riset memperlihatkan sertifikasi gedung hijau memang telah membuahkan hasil.

Australia menggunakan National Australian Built Environment Rating System (Nabers). Menurut penelitian Dexus, penggunaan sertifikasi Nabers ini berhasil membuat Australia mengurangi konsumsi energi sampai 36% dari 2008 sampai 2012.

Advertisement

Di Amerika Serikat, penggunaan sertifikasi seperti Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) telah memicu peningkatan kesadaran lingkungan di sektor swasta. [Baca selanjutnya: Bisa Dimanipulasi]Bisa Dimanipulasi

Berita buruknya, walau sertifikasi bangunan hijau mulai mendapat perhatian masyarakat, angka dan statistik bisa dimanipulasi. Sertifikasi-sertifikasi bangunan hijau berpotensi rawan penyelewangan dan berakhir menjadi gimmick.

Metodologi LEED telah dikritik karena bangunan-bangunan yang disertifikasi tidak memperlihatkan efisiensi yang lebih baik daripada bangunan yang tak tersertifikasi. Hal ini dikarenakan pemilik gedung bisa saja meminta sertifikasi sebelum bangunan tersebut diokupasi oleh pihak penyewa.

Advertisement

Nabers juga dikritik karena standarnya tidak konsisten dan kurangnya tenaga ahli. Audit dan sertifikasi bisa berakhir menjadi sebuah ritual tahunan tanpa efek berarti. Salah satu benang merah dari semua sertifikasi hijau adalah meningkatnya biaya sewa gedung di masyarakat yang sudah sadar lingkungan.

Sertifikasi gedung hijau di beberapa negara menjadi sebuah label premium untuk mengerek harga kepada penyewa. Hal ini tentunya meningkatkan biaya ekonomi yang tidak perlu. Kebanyakan sertifikasi saat ini juga masih menganggap bangunan sebagai beban, bukannya aset yang dapat memproduksi energi.

Mengingat Indonsia berada di garis khatulistiwa dengan potensi energi matahari yang sangat melimpah tiap tahun, bangunan-bangunan yang ada saat ini bisa menjadi produsen energi ramah lingkungan dengan menggunakan panel energi surya di atap gedung (rooftop solar systems).

Hal ini sebetulnya bukan hal baru. Jatuhnya harga panel surya telah meningkatkan penggunaan panel surya sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan di kota-kota besar. Malaysia telah mendahului Indonesia.

Diperkirakan sekitar 67% dari energi terbarukan di Malaysia berasal dari panel surya. Thailand saat ini memimpin penggunaan panel surya di kawasan Asia Tenggara. Pada 2015, Thailand tercatat telah mencapai kapasitas melebihi jumlah kapasitas panel surya di seluruh negara kawasan Asia Tenggara.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup pesat telah meningkatan urbanisasi dan peningkatan konsumsi energi. Indonesia tidak bisa menghindari tanggung jawab sebagai bagian dari komunitas global. Indonesia adalah salah satu produsen emisi terbesar di dunia dan akan memengaruhi perubahan iklim global.

Walau Indonesia masih termasuk lambat dalam mengadopsi sertifikasi gedung hijau, tetapi ini membuka peluang untuk mempelajari pengalaman negara lain. Sertifikasi gedung hijau perlu terus-menerus dievaluasi agar tidak berakhir menjadi sebuah gimmick semata dan harus kontekstual dengan situasi Indonesia.

Paradigma yang ada harus diubah, gedung bangunan komersial harus dilihat sebagai sebuah aset yang dapat menghasilkan energi ramah lingkungan melalui panel surya. Tahun 2020 sudah berada di pelupuk mata.

Indonesia mungkin belum dapat mencapai target pengurangan emisi karena saat ini isu tersebut masih sebuah niche, tetapi banyak hal-hal yang dapat diperbaiki mulai dari sekarang, salah satunya adalah sosialisasi kesadaran lingkungan dan pemberian insentif bagi praktik-praktik pembangunan yang ramah lingkungan. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif