Soloraya
Minggu, 24 April 2016 - 11:53 WIB

RAZIA PENGEMIS : Libatkan Anak & Bayi, Gerombolan Pengemis Diciduk di Pabrik Mojo Sragen

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pengemis (Dok/JIBI/Solopos)

Razia pengemis dan pengamen di Cembreng Pabrik Mojo Sragen menjaring gerombolan yang melibatkan anak-anak dan bayi.

Solopos.com, JAKARTA — Mengemis dan mengamen menjadi cara paling populer bagi orang-orang dan anak jalanan. Tak hanya sendirian, mereka mengajak anak, istri, bahkan bayi yang masih berusia beberapa bulan. Di Pabrik Mojo Sragen, eksploitasi anak-anak oleh orang tua mereka ini terlihat jelas saat mereka terjaring aparat.

Advertisement

Salah satu keramaian yang mereka manfaatkan adalah cembrengan Pabrik Mojo Sragen, Sabtu (23/4/2016) malam. Mereka datang dari berbagai daerah, termasuk luar Sragen. Sebagian berasal dari Ngawi dan sekeluarga menyewa kamar indekos di Sragen untuk mengemis dan mengamen bersama rombongan mereka di cembrengan.

Petugas Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Sragen berkeliaran di sekitar pasar zona daging dan pisang di tanah eks SDN Mojo itu. “Empat orang perempuan sudah kabur ke arah kerumunan cembreng,” katanya saat tim gabungan razia penyakit masyarakat (pekat) tiba.

Advertisement

Petugas Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Sragen berkeliaran di sekitar pasar zona daging dan pisang di tanah eks SDN Mojo itu. “Empat orang perempuan sudah kabur ke arah kerumunan cembreng,” katanya saat tim gabungan razia penyakit masyarakat (pekat) tiba.

Tim gabungan dipimpin Kasi Operasional dan Pengendalian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sragen, Sukamto. Laki-laki berkumis itu datang bersama anggota tim dari Polres Sragen, Kodim 0725/Sragen, Subdenpom IV Sragen, dan Dinas Sosial (Dinsos) Sragen. Mereka menyisir pasar yang menjadi sarang pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) dari sisi tengah, timur, dan barat.

Sg, 51, warga Ngawi, duduk santai dan bermain dengan cucunya, Wd, 6, di los daging pasar itu. Laki-laki gondrong dengan tato di tubuhnya tak menggubris kedatangan aparat. Dua orang anaknya, Dw, 20, dan FN, 11, ikut bergabung di tempat itu. Dw juga mengajak anaknya yang berumur lima bulan, Rn. Str, 30, tetangga Sg, dan Lrz, 13, keponakan Sugeng, juga ikut dalam rombongan pengamen dan pengemis jalanan itu.

Advertisement

Paimin, Mariyo, dan Sugiyem, tinggal di pasar daging Pasar Bunder itu berbulan-bulan. Maklum pasar itu mangkrak karena tak berfungsi. Para pedagang daging masih bertahan di Pasar Bunder lama. Sugeng dan keluarganya mengaku hanya istirahat di tempat itu setelah melihat-lihat cembreng. Sugeng dan keluarganya bermalam di indekos Kutorejo, Sragen Tengah, dengan sewa Rp10.000/hari atau Rp300.000/bulan.

FN, siswi kelas V SD swasta di Sragen, tersenyum ketika ditanya petugas Dinsos. Gadis cilik itu sudah terjaring razia kali kedua. Bahkan FN sempat tinggal di Unit Pelayanan Sosial Pamardi Siwi tetapi kabur dan bergabung dengan orang tuanya. “Baru dua kali ini, Bu. Iya, nanti kalau SMP saya ingin ke panti lagi,” katanya.

FN ingin membantu ayahnya mencari uang untuk biaya sekolah. Ia sering ngamen dengan ayahnya dari satu bus ke bus lainnya di Terminal Pilangsari. Dalam sehari, Fitri mendapat Rp20.000-Rp40.000. “Kasihan bapak. Biaya SPP bulanan saja Rp35.000, belum kebutuhan buku dan biaya indekos,” ujar FN saat berbincang dengan Solopos.com, Sabtu malam.

Advertisement

Berbeda dengan Lrz. Gadis cilik asal Ngawi itu baru tiba di Sragen Sabtu pagi bersama kedua orang tuanya. Mereka juga indekos di Kutorejo. Lrz mengamen di cembrengan pada hari pertama di Bumi Sukowati. “Dapat Rp15.000,” kata Loren. Hasil tersebut didapat hanya dengan mengemis di cembreng sejak pukul 18.00 WIB hingga 21.00 WIB.

Kasi Pelayanan Rehabilitasi Sosial, Tuna Susila, dan Korban Napza Dinsos Sragen, Ine Marliah, berpesan kepada FN dan Lrz agar tidak mengamen atau mengemis lagi. Dia meminta Sg menjamin mereka tidak mengamen lagi. Ine juga mengingatkan Dw yang membawa anaknya untuk tidak mengamen.

“Kalau kamu mengajak anakmu mengamen berarti kamu mendidik anakmu jadi pengamen. Kalau seperti itu, kamu bisa kena UU Perlindungan Anak karena ada indikasi ekploitasi anak. Kalau Kak Seto tahu, kamu bisa kena. Paham! Mulai besok tidak usah mengamen lagi, ya!”

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif