Kolom
Minggu, 24 April 2016 - 07:00 WIB

GAGASAN : Isu Lingkungan Jadi Topeng Proteksi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Feriana Dwi Kurniwati (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (23/4/2016), ditulis mahasiswa Program S3 Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Feriana Dwi Kurniwati.

Solopos.com, SOLO — Keputusan moratorium izin perluasan lahan kelapa sawit dan tambang dilakukan menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo ke empat negara di Eropa. Moratorium itu didahului dengan mengeluarkan aturan penundaan pemberian izin baru untuk lahan gambut pada 13 Mei 2015 lalu melalui Instruksi Presiden No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.

Advertisement

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 10,4 juta hektare dengan produksi 70 juta ton per tahun. Dari lahan seluas itu, empat juta hektare merupakan lahan yang dikelola petani rakyat.

Selama ini izin perkebunan kelapa sawit diberikan oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah provinsi kadang kala mengubah status tata ruang sebuah wilayah menjadi hutan lindung atau konservasi. Hal inilah yang kadang membuat lahan kelapa sawit seakan-akan melanggar tata ruang.

Industri kelapa sawit dari sisi kepentingan domestik adalah sektor strategis yang pada 2015 bernilai ekspor 19 miliar dolar Amerika Serikat dan pada tahun yang sama Indonesia masih menjadi produsen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dengan jumlah produksi 31,5 juta ton.

Advertisement

Selain itu perkebunan kelapa sawit mempekerjakan banyak tenaga kerja serta melibatkan enam juta petani. Kondisi industri kelapa sawit pada 2016 akan tumbuh positif jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, salah satunya didorong mulai naiknya harga komoditas tersebut.

Jika dilihat secara keseluruhan ekspor nonmigas Indonesia yang mencapai 137,73 miliar dolar Amerika Serikat pada 2015 lalu, maka sekitar 13,5% dari total ekspor nonmigas Indonesia adalah sawit dengan nilai mencapai 18,6 miliar dolar Amerika Serikat. Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia penghasil minyak sawit mentah terbesar dunia sudah tercapai.

Pada 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia dari urutan pertama. Jika pada 2006 produksi CPO baru 16 juta ton, data terbaru memperlihatkan dengan luas areal sawit 14 juta hektare pada 2015, Indonesia mampu memproduksi CPO 33 juta ton (Sibuea, 2016).

Apakah kunjungan Presiden Joko Widodo selama beberapa hari ke Eropa berkaitan dengan isu moratorium izin lahan kepala sawit tersebut? Menurut data Kementerian Perdagangan, Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa.

Advertisement

Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Malaysia di tempat kedua dengan nilai ekspor mencapai 1,5 juta ton. Pasar terbesar di Eropa adalah Italia, Belanda, dan Jerman. Prancis hanya memanfaatkan sekitar 10% dari total ekspor CPO ke Uni Eropa.

Sayangnya kampanye hitam terhadap produk sawit juga mulai melanda Eropa. Mereka satu suara: sawit tidak ramah lingkungan dan mesti dimusuhi. Kampanye anti sawit di Belgia banyak ditemukan di sektor makanan dengan menggunakan isu dampak negatif kesehatan dan isu lingkungan hidup.

Di beberapa supermarket ditemukan beberapa produk yang menggunakan label anti sawit seperi no oil palm, zero percent oil palm, dan palm oil free. Ini sekian kali serangan terhadap sawit dilakukan negara-negara maju. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan.

Regulasi-regulasi itu seperti Renewable Fuel Standards di Amerika Serikat, Renewable Energy Directive bikinan Uni Eropa, dan Food Standards Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 di Australia. Jauh sebelumnya, American Soybean Association (ASA) pada 1980 berkampanye bahwa minyak sawit mengandung lemak jahat yang merusak jantung.

Advertisement

Faktanya? Berdasarkan penelitian lebih jauh, minyak sawit justru mengandung lemak omega dan berbagai vitamin antioksidan yang menyehatkan jantung. Kampanye negatif itu terbantah dengan sendirinya. Kampanye negatif lain muncul. Konon, sawit merusak lingkungan karena menyerap banyak air.

Kampanye ini pun mental. Sawit memang tanaman yang butuh air banyak seperti halnya jenis palem-paleman tertentu. Sawit harus ditanam di daerah dengan curah hujan tinggi, minimal 1.500 mm per tahun. Beberapa wilayah di Indonesia seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua curah hujannya di atas 1.500 mm sehingga bagus untuk sawit.

Kebijakan Prancis sempat membuat berang pengambil kebijakan domestik. Pada Juli 2015, Menteri Lingkungan Hidup Prancis Segolene Royal menyerukan pemboikotan nutela karena memakai minyak sawit. Ini kali kesekian serangan terhadap sawit dilakukan negara-negara maju.

Ketika itu pemerintah Prancis akan memungut tarif impor progresif dan regresif, yakni 300 euro per ton CPO pada 2017 dan 500 euro per ton CPO pada 2018. Pada 2019, tarif pungutan dinaikkan jadi 700 euro per ton dan meningkat menjadi 900 euro pada 2020. Bukan hanya itu, masih ada pajak tambahan.

Advertisement

Jika CPO digunakan untuk makanan (oleo food) akan dikenai tambahan pajak (ad valorem tax) sebesar 3,8%. Anehnya, pajak tidak berlaku untuk minyak nabati dari kedelai dan biji bunga matahari. Emisi karbon per kapita rakyat Prancis mencapai 5,1 kg CO2 atau hampir lima kali lebih tinggi daripada Indonesia (1,76 kg CO2). [Baca selanjutnya: Perang Dagang]Perang Dagang

Seharusnya minyak nabati produksi Uni Eropa, termasuk Prancis, yang harus dikenai pajak lingkungan, bukan minyak sawit (Sipayung, 2016). Prancis (dan negara Uni Eropa lainnya) sesungguhnya tengah merancang embargo impor minyak sawit. Prancis menggunakan isu lingkungan untuk menutupi praktik perdagangan tidak adil dan perang dagang.

Alasan di balik itu sesungguhnya Prancis hendak melindungi produksi minyak nabati domestik yang dibuat dari biji bunga matahari, rapeseed, dan kedelai. Sudah lebih dua tahun petani Prancis mengeluh minyak nabati mereka kalah bersaing dengan minyak sawit. Harga rata-rata minyak biji bunga matahari di Eropa pada 2015 mencapai US$1.000 per ton, sementara harga CPO CIF Rotterdam hanya US$565 per ton.

Jika Prancis tidak memberlakukan tarif impor tinggi pada CPO, minyak nabati mereka kalah bersaing. Sekitar 45 tahun lalu kelapa sawit masih merupakan komoditas pinggiran. Saat itu neraca minyak pangan dunia didominasi minyak kedelai, rapeseed, bunga matahari, atau jagung yang diproduksi Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Kini sawit jadi jawara dan mengalahkan para pendahulu. Ini terjadi karena minyak sawit lebih kompetitif ketimbang minyak pangan lain. Produktivitas sawit amat tinggi: 5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter/hektare), kanola (1.073 liter/hektare), dan bunga matahari (952 liter/hektare).

Dengan produktivitas 5-13 kali lebih besar daripada minyak pangan lain, Indonesia, Malaysia, dan dua jawara minyak sawit dunia kini telah menguasai pasar minyak pangan di dunia. Alhasil, kebijakan Prancis patut diduga tak lebih kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan.

Advertisement

Aturan-aturan seperti itu menabrak prinsip Pasal I, III, dan XI WTO karena telah mendiskriminasi sebuah produk. Indonesia memiliki peluang untuk mengadukan diskriminasi dan praktik dagang tidak adil itu ke WTO. Kecaman Indonesia terhadap rencana kebijakan Prancis memang diperhatikan oleh para politikus di negeri anggur tersebut.

Parlemen Prancis akhirnya memangkas pajak impor minyak sawit setelah protes keras Indonesia dan Malaysia. Senat tadinya mengusulkan pajak impor sampai 500 euro per ton. Parlemen sekarang menyetujui 30 euro per ton. Mayoritas anggota parlemen Prancis akhirnya menolak kenaikan drastis pajak impor minyak sawit, yang juga sering disebut “pajak nutella”, karena banyaknya kandungan minyak sawit dalam produk terkenal itu.

Impor komoditas yang mengandung minyak sawit saat ini dikenakan pajak sekitar 104 euro per ton. Anggota parlemen Jean-Louis Bricout dari Partai Sosialis yang berkuasa mengatakan kenaikan drastis tarif impor minyak sawit justru bisa mengguncang pemasokan (minyak sawit) ke perusahaan-perusahaan Prancis atau mereduksi secara mendadak pendapatan produsen minyak sawit yang kebanyakan berada di negara berkembang.

Presiden Joko Widodo memang tidak mengagendakan kunjungan ke Prancis, namun moratorium izin pembukaan lahan sawit cukup menjadi pesan bahwa Indonesia tidak hanya mengejar ekspansi ekonomi dan kemudian mengorbankan kelestarian fungsi lingkungan.

Di balik itu, semakin terkonfirmasi, justru negara-negara maju acap kali menggunakan isu lingkungan hidup sebagai topeng proteksionisme untuk mengekang negara maju yang berpotensi merusak tatanan perdagangan internasional yang adil sebagaimana sering mereka teriakkan dan paksakan dengan keras.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif