Kolom
Sabtu, 23 April 2016 - 08:00 WIB

GAGASAN : Perempuan Indonesia Harus Maju Sendiri

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Yeni Mulati (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (21/4/2016), ditulis bloger, novelis, dan aktivis perempuan, Yeni Mulati.

Solopos.com, SOLO — Bukan kebetulan jika tiga sosok perempuan yang menghias catatan sejarah ini ternyata berasal dari Jepara. Mereka adalah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, Ratu Kalinyamat, dan R.A. Kartini.

Advertisement

Lokasi Kerajaan Kalingga memang masih menjadi perdebatan, tetapi bukti-bukti yang kuat menunjukkan ibu kota Kerajaan Kalingga di Kabupaten Jepara.

Ratu Kalinyamat atau Ratna Kencana setelah meninggalnya sang ayah, yakni Sultan Trenggana, memerintah di daerah Kalinyamat, Jepara. Bukti-bukti R.A. Kartini berasal dari Jepara sangat terang benderang.

Mempelajari sejarah hanya dengan menghafal tahun demi tahun adalah penyempitan cakrawala. Menurut Daniel Dakhidae (1980), sejarah lebih dari sekadar kronik (urutan kejadian berdasarkan waktu) karena dalam sejarah juga terkandung pikiran yang hidup dari dan tentang masa lampau.

Advertisement

Tugas historiografi bukan saja mencari kebenaran masa lalu (what the past is really like), tetapi juga membandingkan peristiwa masa lalu itu dengan masa kini. Inilah yang disebut dengan dialog. Marilah kita berdialog antara peristiwa masa lalu, khususnya catatan sejarah atas tiga perempuan istimewa tersebut.

Ratu Shima adalah sosok yang tegas, tak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Putranya sendiri tak luput dari hukuman keras karena kakinya menyentuh satu kantong emas yang sengaja diletakkan oleh raja dari negara lain untuk menguji kejujuran rakyat Kerajaan Kalingga.

Sejatinya, secara fisiologis, sistem hormonal perempuan berperan besar dalam pembentukan karakter perempuan yang lemah lembut, feminim, keibuan, dan cenderung subjektif, khususnya kepada sosok yang memiliki kedekatan afektif dengannya.

Advertisement

Ratu Shima dengan integritas dan kapasitasnya sebagai pemimpin berhasil menepis karakter khas keperempuanannya. Ratu Kalinyamat memiliki ketegasan yang lebih dibandingkan dengan kaum lelaki saat itu. Dua kali ia mengirim pasukan ke Malaka untuk membantu Sultan Johor melawan Portugis.

Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat tentu berbeda dengan R.A. Kartini. Dua perempuan pertama adalah leader. Kapasitas yang harus dibuktikan adalah berani mengambil keputusan dan menanggung risiko.

Kartini adalah pemikir. Buah pikirannya tak sekadar ditulis, tetapi juga dikirimkan kepada teman-teman dekatnya, di antaranya Estelle Zeehandelaar alias Stella serta Tuan dan Nyonya J.H. Abendanon. Proses korespondensi mereka merupakan sebuah proses diskusi yang menarik.

Pemikiran R.A. Kartini itulah yang oleh J.H. Abendanon dikumpulkan dan dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht. Balai Pustaka pada 1922 menerjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.

Meski berbeda peran, Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan R.A. Kartini, yang semua berasal dari Jepara, telah mengukir sejarah negeri ini dengan kiprah mereka. Banyak tokoh perempuan lain menghias lembaran sejarah.

Dalam masalah leadership dan semangat heroisme, kita mencatat nama Sultanah Safiatuddin yang memerintah Kerajaan Aceh selama 35 tahun dan ikut berperang melawan Portugis di Malaka. Ada pula Laksmana Malahayati (pemimpin angkatan laut Aceh), Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, dan sebagainya.

Dalam jajaran pemikir dan penggerak di bidang pendidikan, sosial, dan budaya terdapat nama Dewi Sartika, Rahmah el Yunusiyah, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Nyi Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya. Proses dialog antara perempuan masa kini dengan para perempuan penggerak peradaban itu seharusnya lebih pada bagaimana meneladani mereka.

Leadership, integritas, kemampuan mengambil risiko, budaya literer, heroisme, semangat membela kaum tertindas, tradisi keilmuan yang baik, dan kesediaan berkorban untuk bangsa dan negara mestinya menjadi obsesi setiap perempuan masa kini.

Jika aksi semacam Ratu Kalinyamat tampak terlalu sulit, aksi yang lebih konkret seperti advokasi dan langkah-langkah memajukan kehidupan kaum perempuan sangat dinanti-nanti. Data Migrant Care menunjukkan dalam  kurun waktu 2004-2014 tercatat tiga orang buruh migran Indonesia dieksekusi mati tanpa pembelaan berarti.

Sebanyak 23 orang buruh migran Indonesia (mayoritas pembantu rumah tangga) divonis mati dengan kekuatan hukum tetap dan sekitar 265 orang lainnya dalam proses pengadilan dengan ancaman hukuman mati. Mayoritas mereka adalah perempuan. [Baca selanjutnya: Belum Sampai Substansi]Belum Sampai Substansi

Menurut data Kementerian Kesehatan berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 228 orang per 100.000 kelahiran. Angka yang cukup tinggi.

Sekitar 9,36% dari seluruh perempuan di Indonesia menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 masih buta huruf, padahal angka melek huruf pada laki-laki adalah 95,87%. Permasalahan-permasalahan tersebut hanya sebagian kecil dari masalah besar kaum perempuan.

Sayangnya, pembacaan sejarah masih sekadar kronik. Kita tahu setiap 21 April adalah Hari Kartini. Alih-alih mengejawantahkan semangat Kartini dalam mengadvokasi kaum perempuan, masyarakat saat ini sekadar mengejar kemeriahan yang sering kali tanpa makna: lomba mengenakan sanggul, lomba berkebaya, dan sebagainya.

Proses dialog antarwaktu baru menyentuh kulit belaka, belum mencapai substansi. Penunjukan perempuan oleh berbagai partai politik untuk menduduki posisi tertentu sering kali tidak dibarengi penguatan kapasitas dan kapabilitas.

Dalam pemilihan umum ada kuota 30% untuk kaum perempuan. Nyatanya tak banyak partai politik yang benar-benar mengutus kader perempuan terbaik untuk memenuhi kuota tersebut. Mungkin partai politik itu tidak berhasil mendidik kader perempuan menjadi politikus yang hebat atau faktor lainnya.

Tentu perempuan tak perlu menunggu uluran tangan pihak lain untuk menjadi unggul. Perempuan harus berusaha sendiri menjadi maju, salah satunya berdialog yang mendalam dengan catatan-catatan sejarah. Jika perempuan sendiri malas memperbaiki diri, kita perlu bertanya: quo vadis perempuan Indonesia?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif