Kolom
Jumat, 22 April 2016 - 03:10 WIB

GAGASAN : Perempuan, Sawah, dan Pabrik Semen

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (20/4/2016), ditulis Aris Setiawan. Aris adalah penulis dan dosen di Institut Seni Indonesia (ISI)Solo.

Solopos.com, SOLO — Kita terharu menyaksikan pengorbanan sembilan perempuan petani dari Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang mengecor kaki mereka dengan semen (13/4) di depan Istana Negara Jakarta.

Advertisement

Tujuan mereka bertemu Presiden Joko Widodo dan menyampaikan segala keluh kesah terkait pembangunan pabrik semen di kawasan karst Pegunungan Kendeng. ”Perjuangan” mereka telah berlangsung cukup lama.

Lebih dari dua tahun yang lalu mereka dan sebagian warga Pegunungan Kendeng mendirikan tenda di dekat lokasi pembangunan pabrik semen sebagai wujud perlawanan. Bagi mereka, pembangunan pabrik semen merusak alam, mengotori lingkungan, mengancam keberlangsungan hidup para petani.

Perempuan petani yang tumbuh dalam nalar kultur kejawaan itu menjelma sebagai pejuang, melepas beban stereotipe perempuan  Jawa: diam dan termanggu di dapur. Dalam budaya Jawa, perjuangan meniti kemampanan dan kenyamanan hidup kebanyakan dilakukan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Advertisement

Perempuan atau ibu rumah tangga hanya menjadi penjaga benteng ketahanan pangan di rumah demi menyuplai perjuangan sang suami. Sebisa mungkin masalah di luar rumah tak disampaikan kepada sang istri agar tak menambah beban dan kecemasan.

Dengan kata lain, perempuan Jawa hanya mengurus rumah, tidak lebih. Perempuan-perempuan petani di Pegunungan Kendeng menyajikan makna dan nilai yang lain tentang perempuan di Jawa.

Mereka bukan penjaga “kuil kosong” yang menunggu kedatangan suami dari medan laga. Mereka turut ambil bagian. Laksana Srikandi dalam epos Mahabarata. Pikiran dan tenaga dicurahkan, suara-suara diteriakkan, demi keadilan dan masa depan anak cucu mereka.

Advertisement

Perempuan-perempuan Pegunungan Kendeng itu adalah petani. Sawah dan ladang bukan hanya tempat menanam dan memanen segala jenis tanaman. Sawah adalah denyut hidup dan napas mereka.

Di sawah mereka menggantungkan segala doa, harapan, dan cita-cita. Sawah memberi semangat dan menyadarkan tentang siapa dan dari mana mereka berasal. Para perempuan itu tak hendak mengingkari kodrat sebagai petani Jawa yang sering kali dicibir dan dianggap remeh oleh kaum perempuan sosialita perkotaan.

Mereka tampil di depan Istana Negara tanpa memoles tubuh, tanpa berdandan. Mereka memakai caping, jarik, dan baju khas petani Jawa yang bagi sebagian orang terkesan lusuh dan kolot. Begitulah gaya hidup mereka yang sederhana, tak berlebihan, dan apa adanya.

Segala daya dicurahkan, bahkan hingga mereka merelakan kaki dicor semen. Air mata telah menjadi hal biasa yang setiap saat mengucur deras disertai dengan rintihan dan kepedihan hidup. Suara-suara tak lagi didengar hingga tubuh merasa perlu berperan sebagai alat perjuangan.

Tubuh-tubuh kemudian menjadi senjata. Hari itu adalah kaki-kaki mereka yang jadi senjata. Besok atau lusa mungkin badan bahkan muka akan dikorbankan. Mereka tak menulis surat puitis seperti Kartini karena yakin kata-kata tidak lagi mampu menghentikan ketertindasan. [Baca selanjutnya: Kartini]Kartini

Pada bulan ini kita dihadapkan dengan selebrasi peringatan Hari Kartini yang secara rutin menggaungkan narasi kesetaraan dan emansipasi. Di layar kaca kita disuguhi banyak Kartini masa kini lewat berbagai keberhasilan dan kesuksesan profesi mereka.

Kartini-kartini itu adalah perempuan anggota parlemen, dokter, pilot, insinyur, pengusaha, pengacara, polisi, dan guru. Kita kemudian melupakan Kartini yang petani. Petani dan sawah dianggap tak penting diberitakan.

Sawah-sawah adalah ”komoditas” yang dapat diubah menjadi rumah-rumah dan gedung-gedung bertingkat. Di sisi yang berbeda, pemerintah mendengungkan cita-cita swasempada pangan, namun tanpa disertai pembelaan atau keberpihakan terhadap petani.

Petani mengalami nestapa. Kartini-Kartini di sawah tak lagi dimuliakan, apalagi didambakan. Bagi perempuan petani di Pegunungan Kendeng, Hari Kartini mungkin hanya rutinitas tahunan, tak lebih.

Mereka tak harus menunggu momen Hari Kartini untuk berjuang melawan ketertindasan. Mereka tak harus menunggu momen Hari Ibu atau Hari Perempuan untuk menunjukkan kasih sayang dan bakti bagi keluarga.

Pada saat perempuan lain sibuk bersolek memakai kebaya, sanggul, bibir dipenuhi gincu, dan wewangian dari segala parfum hanya untuk berlenggak-lenggok di panggung demi merayakan Hari Kartini, para perempuan petani Pegunungan Kendeng berpeluh, membasuh air mata, dan berteriak lantang menahan sedih dan derita.

Para perempuan petani itu adalah Kartini yang sebenarnya. Perjuangan mereka tak menuntut lebih. Mereka hanya ingin bertahan hidup layak dengan memuliakan sawah-sawah. Mereka melawan korporasi besar.

Uang dan kekuasaan menjadi senjata yang sering kali menang. Bertahun-tahun perjuangan itu belum berbuah hasil. Hanya untuk bertemu presiden negeri ini, mereka harus berkorban besar: memasung kaki-kaki mereka dengan semen.

Begitu buruk dan kotorkah mereka hingga baru didengar saat segala pengorbanan dan tragedi itu telah berlangsung? Di Jawa saat para ibu keluar rumah demi memperjuangkan nasib hidup keluarga, berarti masalah yang mereka derita telah begitu kompleks dan akut.

Laki-laki saja (kepala rumah tangga) dirasa tak lagi cukup untuk menyuarakan kebenaran. Para perempuan harus turun tangan. Mereka tak mau lagi berpangku tangan di dapur, mereka tak mau hanya menunggu kedatangan suami dengan penuh kecemasan, mereka tak mau hanya meninabobokan anak di peraduan.

Mereka kini adalah pejuang, pahlawan bagi sebangsa dan sesama. Kita patut berdoa agar Hari Kartini tak sebatas euforia, dirayakan lalu kembali dilupakan, namun memberi makna baru bagi emansipasi dengan mendudukkan perempuan-perempuan petani Pegunungan Kendeng sebagai teladan berharga pada hari ini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif