News
Kamis, 21 April 2016 - 17:30 WIB

OPERASI TANGKAP TANGAN : Geledah Rumah Sekretaris MA Nurhadi, KPK Sita Uang & Dokumen

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi penyidik KPK (Dok/JIBI/Bisnis)

Operasi tangkap tangan yang menjaring panitera PN Jakarta Pusat juga membuat rumah dan kantor Sekretaris MA Nurhadi digeledah.

Solopos.com, JAKARTA — KPK melakukan penggeledahan di empat tempat berbeda. Di antaranya dilakukan di rumah dan kantor Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. KPK menyita sejumlah dokumen dan uang dari penggeledahan di empat lokasi, termasuk rumah dan kantor Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

Advertisement

“Sejak Rabu malam penyidik banyak yang tidak tidur hingga siang ini melakukan penggeledahan di empat lokasi yaitu pertama di kantor Paramont Enterprise International di Jl. Gading Serpon Boulevard, kedua di kantor PN Jakarta Pusat, ketiga rumah di Jl. Hang Lekir itu rumah Pak Sekretaris (MA), dan keempat salah satu kantor di ruang MA Jakarta Pusat termasuk ruang Pak Sekretaris. Kami menyita dokumen dan uang yang belum dihitung dan akan dikonfirmasi ke sejumlah pihak,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (21/4/2016).

Penggeledahan itu dilakukan pasca operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada Rabu (20/4/2016) di Hotel Accacia, Jl. Kramat Raya Jakata Pusat dan mengamankan panitia/sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno.

Advertisement

Penggeledahan itu dilakukan pasca operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang dilakukan pada Rabu (20/4/2016) di Hotel Accacia, Jl. Kramat Raya Jakata Pusat dan mengamankan panitia/sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno.

Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy terkait pengaduan Peninjauan Kembali yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat antara dua perusahaan dalam kasus perdata. “Uang ditemukan di semua tempat dan masih dihitung,” tambah Agus.

Agus menegaskan bahwa penggeledahan tersebut legal dilakukan. “KPK boleh melakukan penggeledahan pada waktu yang bersangkutan belum menjadi tersangka, langkah-langkah itu dilakukan,” ungkap Agus.

Advertisement

Agus menyebut Doddy Aryanto Supeno (DAS) yang memberi suap kepada panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution (EN), hanya perantara suap. Agus memastikan bahwa ada pelaku lain di balik Doddy. “Keikutsertaan tadi [Pasal 55 KUHP] kita perlu mendalami betul. [DAS] Ini baru perantaranya yang ditangkap,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di kantornya, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis.

Agus pun menyebut pelaku di balik Doddy tengah diusut. KPK memastikan bahwa pelaku lain itu akan dijerat juga. “Pasti ada pelaku berikutnya, tapi pasti akan kita dalami,” ujar Agus. “Kita mendalami karena keterangan orang yang ditangkap dan alat bukti sementara kita telusuri.”

Dalam perkara ini KPK menetapkan dua tersangka yaitu panitera/sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dengan sangkaan pasal pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Advertisement

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif