News
Kamis, 21 April 2016 - 00:15 WIB

BPJS KETENAGAKERJAAN : Buruh Konveksi Karanganyar Ini Sukses "Lawan" Perusahaan Demi JHT

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana antrean pencairan dana JHT di Gedung BPJS Ketenagakerjaan Jogja, Jumat (4/9/2015). (JIBI/Harian Jogja/Abdul Hamied Razak)

BPJS Ketenagakerjaan wajib diikuti perusahaan. Namun, masih banyak perusahaan yang mengabaikannya.

Solopos.com, SOLO — Eni Kestiningsih, 41, dan Jumadi, 40, sebulan lalu menemui pengurus Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Solo dengan wajah memelas. Warga Tasikmadu, Karanganyar, itu bertutur tentang perusahaan tempat mereka bekerja. Selain soal gaji, mereka mengadukan perusahaan yang tak mendaftarkan mereka ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan maupun Kesehatan.

Advertisement

Di saat mereka atau anak mereka sakit, Eni dan Jumadi pontang panting mencari pinjaman kepada kerabatnya. Jika beruntung atau ada yang berbaik hati, pinjaman bisa didapat dengan cepat. “Semua anak kami yang lahir tak satu pun yang dikaver BPJS. Semua pakai uang pribadi dari utang sana sini,” ujar Eni, ibu tiga anak itu menuturkan kisah getirnya kepada pengurus PBH Peradi Solo, awal Maret 2016 lalu.

Pekerja di pabrik konveksi dengan gaji setara UMK itu akhirnya mendatangi PBH Peradi Solo untuk melaporkan tak adanya akses ke BPJS itu ke kepolisian. Sebelumnya, Eny yang 23 tahun bekerja itu juga telah menyurati Bupati Karanganyar dengan harapan ada tindakan tegas kepada perusahaannya.

Advertisement

Pekerja di pabrik konveksi dengan gaji setara UMK itu akhirnya mendatangi PBH Peradi Solo untuk melaporkan tak adanya akses ke BPJS itu ke kepolisian. Sebelumnya, Eny yang 23 tahun bekerja itu juga telah menyurati Bupati Karanganyar dengan harapan ada tindakan tegas kepada perusahaannya.

“Sebenarnya sudah ada sanksi tegasnya jika perusahaan tak mendaftarkan karyawannya di BPJS. Tapi, kelemahan kita selama ini kan pada law enforcement [penegakan hukum],” papar Sekretaris Dewan Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ahmad Ansyori, di sela-sela lawatannya ke Jogja akhir pekan lalu.

Sejarah mencatat, kasus terkait ketenagakerjaan jarang sekali yang dibawa ke ranah pidana. Kasus-kasus tenaga kerja selama ini lebih banyak dituntaskan melalui jalan damai atau di pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).

Advertisement

Tak hanya itu, perusahaan juga bisa dijerat Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan. “BPJS itu kan hak karyawan, jika tak dibayarkan berarti perusahaan telah menggelapkan uang karyawan,” lanjut Ansory.

Upaya Eny dan Jumadi ini rupanya direspons positif Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo. Langkah mereka ini dinilai jauh lebih elegan dan efektif ketimbang melalui cara demonstrasi yang bisa mengganggu kondusivitas dunia kerja.

“Kami apresiasi langkah itu [pemidanaan perusahaan yang tak mendaftarkan karyawannya di BPJS]. Kami juga telah menjalin MoU dengan BPJS untuk memberikan pembinaan hukum kepada perusahaan-perusahaan nakal,” ujar Kasi Intel Kejari Solo, M. Rosyiddin.

Advertisement

Aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Soloraya, Suharno, menyoroti banyaknya perusahaan di wilayah Soloraya yang mengabaikan BPJS karyawannya. Meski tak ada angka pasti terkait jumlahnya, namun Suharno memastikan perusahaan-perusahaan besar memakai berbagai cara untuk melepaskan tanggungan BPJS.

Sejumlah modus yang dipakai perusahaan antara lain mengandangkan karyawan yang dianggap kritis atau menganak emaskan karyawan yang dianggap senior agar bisa mengkondisikan rekan-rekannya. Selain itu, ada perusahaan yang tak memberi slip gaji atau sengaja tak memberi kejelasan status para pekerjanya meski pekerjanya telah mengabdi selama belasan bahkan puluhan tahun.

“Kalau ada karyawan bertanya soal BPJS, biasanya akan dibuang ke bagian lain yang membuat karyawan tak betah dan akhirnya memilih keluar,” paparnya.

Advertisement

Selanjutnya: Membuahkan Hasil

Membuahkan Hasil

Di sinilah, pentingnya keberanian kaum buruh memakai jalur hukum untuk melawan perusahaan nakal. Direktur PBH Peradi Solo, Achmad Bachrudin Bakri, mencatat pasca PBH Peradi mengadvokasi para buruh selama dua bulan terakhir, dampak positifnya mulai terasa. Sejumlah perusahaan di Soloraya rupanya mulai waswas.

Mereka, kata Bachrudin, secara diam-diam akhirnya mendaftarkan karyawannya di BPJS Ketenagakerjaan. Mereka mendaftar secara bertahap menyesuaikan kondisi keuangan. “Setelah perusahaan kami datangi dan kami jelaskan konsekuensi hukumnya, perusahaan nampaknya berpikir seribu kali jika harus masuk bui,” jelas Bachrudin seraya mewanti-wanti tak menyebutkan identitas perusahaan terkait.

“Perusahaan yang saya datangi sebenarnya mampu membayarkan iuran BPJS karyawannya, tapi karena penegakan hukum kita selama ini lemah, jadinya mereka mengabaikan,” ujarnya.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo, Sri Haryanto MT, atau akrab disapa Gareng sepakat bahwa BPJS Ketenagakerjaan wajib diberikan kepada semua karyawan. Terkait adanya sejumlah perusahaan yang belum mau mendaftarkan karyawannya ke BPJS Ketengakerjaan, menurut Gareng, hal itu disebabkan banyak hal, antara lain menghindari pajak, kondisi keuangan lesu, atau hal-hal internal lainnya. “Kalau kami sangat mendukung BPJS karena bermanfaat bagi karyawan,” paparnya.

Sebulan setelah mendapat pendampingan hukum dari PBH Peradi, upaya Eny dan Jumadi membuahkan hasil. Rupanya, uang jaminan hari tua (JHT) mereka senilai Rp11 jutaan diberikan oleh perusahaan.

“Padahal, dulu kami minta JHT hanya dikasih Rp350.000. Kalau mau, ya silakan diambil, kalau tak mau ya enggak apa-apa?” kata Jumadi, karyawan dengan masa kerja 15 tahun itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif