Jogja
Rabu, 20 April 2016 - 05:20 WIB

PENDIDIKAN : Diterima Masuk Sekolah, Anak Tanda Tangan Surat, Sah kah?

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi masa orientasi sekolah (MOS). (JIBI/Solopos/Dok)

Pendidikan mengenai kebijakan sekolah perlu dikritisi

Harianjogja.com, JOGJA-Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta (LOD) mengkritisi keabsahan surat pernyataan siswa ‘bermasalah’ yang dibuat atas kesepahaman antara wali murid, siswa dan sekolah, yang digunakan menjadi alat untuk mengembalikan siswa kepada orang tua.

Advertisement

Kepala LOD DIY Sutrisnowati kepada Harianjogja.com (19/4/2016) menyatakan, ada dua hal yang perlu dikritisi sekaligus didiskusikan dari adanya surat yang biasanya ditetapkan dan ditandatangani saat anak resmi diterima masuk di sekolah ini.

Pertama apakah dilihat dari perspektif hukum, surat pernyataan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang sah, sedangkan anak usia sekolah masih berada di bawah umur apabila dikaji dari aturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, apakah dari langkah ini ada hak anak yang dilanggar? Ketiga, perlu ada cara yang kemudian membangun kesamaan pandangan bagaimana sekolah dan keluarga melakukan peran dan fungsinya, tanpa saling lempar tanggung jawab ketika bertemu ‘siswa bermasalah’.

Pasalnya, sejauh ini surat tersebut justru digunakan sekolah sebagai ketok palu ketika menghadapi anak nakal atau melakukan banyak pelanggaran selama bersekolah, tidak jarang langkah ini justru menjerumuskan siswa kepada sanksi, adapula yang hingga sampai membuat mereka dikeluarkan dari sekolah. Hingga saat ini, kasus pendidikan mendominasi laporan masyarakat yang masuk ke DIY, secara berurutan yakni pungutan atau sumbangan di sekolah, penahanan ijazah, surat pernyataan ‘siswa bermasalah’. Sejak 2015 hingga April 2016, LOD DIY sudah menangani sekitar enam keluhan masyarakat dari adanya surat pernyataan siswa bermasalah, dengan berbagai macam penyebab. Mulai dari tawuran, anak sebagai pelaku kriminal, hingga anak sering membolos.

Advertisement

“Dari hasil telaah, anak seperti itu karena pola asuh orang tua yang tidak terlalu peduli dan ada pengaruh dari lingkungan pergaulan di luar sekolah,” ungkap dia, di ruang kerjanya.

Ia menerangkan, langkah terbaik yang diambil bagi ‘siswa bermasalah’ ini adalah sebuah pembinaan, bukan sebuah sanksi. Pembinaan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, bukan kepentingan orang dewasa. Sekolah seharusnya masih mengawal agar anak tetap mendapatkan sekolah, dan keluarga juga tetap memberikan hak pendidikan bagi anak ketika di dalam rumah. Karena keluarga tetap menjadi lembaga pendidikan yang utama dan pertama dalam masyarakat. Selain itu setiap pihak baik orang tua, sekolah dan pemerintah sama-sama bisa senantiasa menjalin hubungan kerja sama dan interaksi dalam rangka menciptakan kondisi belajar yang sehat bagi para siswa.

Langkah sekolah menjadikan surat pernyataan siswa bermasalah tadi sebagai rule of the game atau pagar yang melingkari siswa, dan memberikan sanksi ketika siswa tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur, bahkan sampai mengeluarkan mereka bisa berujung pada nasib putus sekolah bagi anak, apabila masing-masing pihak saling menyalahkan, dan lempar tanggung jawab.

Advertisement

“Itu bertentangan sekali dengan semangat pemerintah DIY, juga kabupaten dan kota bahwa jangan sampai ada anak putus sekolah,” kata dia.

Apa yang dikemukakan di atas, menjadi materi yang melatarbelakangi LOD DIY menyelenggarakan seminar bertajuk Surat Pernyataan Siswa Sebagai Dasar Mengembalikan ‘Siswa Bermasalah’ Kepada Orang Tua, Sudah Tepatkah?, pada Rabu (20/4/2016), bertempat di Aula Lantai II Gedung Disdikpora DIY, pada pukul 08.30 WIB. Seminar ini akan menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Kepala LOD DIY Sutrisnowati, Kepala Disdikpora DIY Kadarmanta Baskara Aji dan Pemerhati pendidikan dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Y.Sari Mukti.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif