News
Senin, 18 April 2016 - 18:00 WIB

GERAKAN 30 SEPTEMBER : Pakar: Soekarno dan Korban 1965 Harus Direhabilitasi

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi G 30S/PKI (JIBI/Solopos/Antara)

Gerakan 30 September 1965 berbuntut pelanggaran HAM dan diskriminasi. Soekarno dan korban 1965 dinilai harus direhabilitasi.

Solopos.com, JAKARTA — Peneliti LIPI dan sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan Presiden pertama RI Soekarno dan korban 30 September 1965 perlu direhabilitasi. Maksud rehabilitasi tersebut adalah penyetaraan hak dengan warga Indonesia lainnya.

Advertisement

“Karena tragedi 1965 termasuk pelanggaran HAM berat, dan orang-orang yang masuk golongan PKI atau diduga PKI telah didiskriminasi,” kata Asvi di Simposium Nasional Tragedi 1965, Jakarta, Senin (18/4/2016).

Tap MPRS No. 33/1967 menyatakan Presiden Soekarno ikut membantu gerakan PKI. “Tidak mungkin Presiden ikut membantu gerakan yang akan menggulingkan dirinya sendiri, rehabilitasi untuk Soekarno tidak hanya memberinya gelar Pahlawan Nasional. tetapi juga meluruskan kembali sejarah yang terjadi pada waktu itu,” ucapnya menegaskan.

Advertisement

Tap MPRS No. 33/1967 menyatakan Presiden Soekarno ikut membantu gerakan PKI. “Tidak mungkin Presiden ikut membantu gerakan yang akan menggulingkan dirinya sendiri, rehabilitasi untuk Soekarno tidak hanya memberinya gelar Pahlawan Nasional. tetapi juga meluruskan kembali sejarah yang terjadi pada waktu itu,” ucapnya menegaskan.

Menurut dia, tragedi 1965 adalah kasus kekeliruan kebijakan pemerintah yang bisa dituntut di Pengadilan HAM Adhoc. Hal itu dilihat dari jangka waktu, tempat, pelaku dan korban yang jelas, yakni perintah adanya pengasingan sejumlah tokoh ke Pulau Buru dalam rentang tahun 1965 hingga 1975.

Selain itu, para korban juga harus direhabilitasi dengan menghapuskan diskriminasi pada anak turunan orang yang diduga PKI. Menurut dia pemerintah harus bertanggung jawab meminta maaf kepada para korban.

Advertisement

“Kita tidak perlu memaksakan pemerintah untuk meminta maaf, karena struktur kebudayaan kita berbeda, yang penting mereka bertanggung jawab untuk memenuhi hak korban, seperti pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat pada 1965-1966,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu merehabilitasi nama baik para korban serta memberikan kompensasi sesuai kemampuan negara. “Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah telah memberikan kompensasi seperti dana kesehatan, hal yang sekecil ini sudah merupakan hal besar bagi korban,” kata dia.

Simposium nasional yang diadakan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Senin, dengan tema Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan itu mendapat penolakan dari sekumpulan orang yang tergabung dalam Front Pancasila. Front Pancasila menolak simposium nasional tersebut karena mereka menuding tema yang diusung tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Advertisement

Front Pancasila melakukan orasi dan penyampaian pendapat di Tugu Tani, atau sekitar 50 meter dari lokasi penyelenggaraan simposium di Hotel Aryaduta. Salah satu orator dari Front Pancasila dalam orasinya mengatakan simposium yang sedang digelar berpotensi untuk membangkitkan kembali paham komunisme di Indonesia.

Front Pancasila juga meminta pemerintah tidak meminta maaf pada korban-korban kekerasan dan pembunuhan massal 1965-1966. Aksi itu menyebabkan kemacetan pada arus lalu lintas ke arah Monumen Nasional dan sebaliknya. Polisi sempat menahan beberapa orang demonstran dari Front Pancasila karena menolak mematuhi arahan polisi agar tidak menyebabkan kemacetan.

Demonstran tersebut ditangkap dan ditahan oleh polisi di salah satu gerai makanan cepat saji yang berada di dekat lokasi. Sementara kawanan demonstran lainnya dipaksa oleh polisi untuk segera melanjutkan aksi penyampaian pendapat ke arah Jl. Medan Merdeka Selatan.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif