News
Sabtu, 16 April 2016 - 19:30 WIB

Surat Terbuka Kritik Kostum Nyeleneh Pasha

Redaksi Solopos.com  /  Jafar Sodiq Assegaf  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kostum Pasha yang dinilai ngawur. (Facebook.com)

Kostum nyeleneh Pasha “Ungu” dikritik lewat surat terbuka.

Solopos.com, SOLO – Cara berpakaian Wakil Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah, Sigit Purnomo Said atau Pasha Ungu mendapat sorotan tajam. Dengan atasan formal, mantan vokalis grup band Ungu itu memadukannya dengan celana jins warna washed blue dengan gesper sabuk ala penyanyi roker.

Advertisement

Tidak berhenti di situ, Pasha juga menempelkan sederet emblem pada jasnya yang sebenarnya sama sekali tidak sinkron.

Dalam foto yang diunggah akun Romeo Alfa Kilo di Facebook, Rabu (13/4/2016), emblem yang digunakan, antara lain Praja Wibawa milik Satpol PP, Wing Marinir milik TNI AL, dan lencana polisi lalu lintas. Menggelikannya lagi, Pasha juga menenteng tongkat komando layaknya seorang perwira.

Advertisement

Dalam foto yang diunggah akun Romeo Alfa Kilo di Facebook, Rabu (13/4/2016), emblem yang digunakan, antara lain Praja Wibawa milik Satpol PP, Wing Marinir milik TNI AL, dan lencana polisi lalu lintas. Menggelikannya lagi, Pasha juga menenteng tongkat komando layaknya seorang perwira.

Tak berselang lama, sejumlah blogger dan pengguna media sosial ramai-ramai mengomentari. Salah satu yang paling populer adala ulasan Made Supriatma. Editor Joyo Indonesia News Service ini membuat sebuah ”Surat Terbuka.”

Made peneliti masalah-masalah konflik etnis dan kekerasan komunal yang saat ini tinggal di New Jersey, Amerika Serikat. Berikut isi surat terbuka Made untuk Pasha tersebut yang beredar di sejumlah forum Internet, Sabtu (16/4/2016);

Advertisement

Artis adalah soal kemudaan. Ketika kemudaan itu menyurut, menurun pula popularitas. Saingan dari yang lebih muda, kelelahan berkreasi, dan orientasi hidup yang makin mapan, membuat artis harus mengubah cara hidupnya.

Reformasi menawarkan sesuatu untuk mereka, para artis yang tidak lagi laku. Mereka bisa jadi politisi. Sodara bisa lihat kehadiran mereka di parlemen, di jabatan-jabatan walikota, bupati, gubernur, dan sebagainya.

Seperti Sigid Purnomo Said ini. Dia adalah Wakil Walikota Palu. Memang belum nomor satu di kota kecil itu. Cukuplah nomor dua. Tapi kekuasaan adalah kekuasaan, bukan?

Advertisement

Dan tampaknya dia menikmati kekuasaannya. Mulai saat ini, sebutan ‘dia’ harus diganti ‘beliau.’ Dan begitu menjabat, dia segera tahu kenikmatan berkuasa itu jauh lebih besar daripada uang!

Dia memulai hari pertamanya dengan memarahi pegawai-pegawainya hanya karena tertawa saat upacara. Uppssss … hmmm mereka sebenarnya pegawai negara. Tapi tetap, dia yang berkuasa. Kekuasaan itu sensitif, Sodara-sodara! Berani menertawakan Soeharto di depan hidungnya? Di dor langsung kepalamu! Oleh Sigid, mereka cukup dimarahin saja.

“Apa motif Saudara-saudara tertawa terbahak-bahak. Saya malu karena ada yang tertawa terbahak-bahak saat saya masuk. Next, saya tidak mau ini terulang lagi. Polisi Pamong Praja harus mengecek yang tertawa itu. Jelas? Jelas? Jelas?”

Advertisement

“Attitude harus ada, bagaimana membawa diri dengan baik dan benar. Anda semua memakai baju Korpri. Percuma sumpah Korpri tadi dibacakan kalau begini attitude pegawai!”

Ceramah yang cukup bagus bukan?

Dan, saya anjurken Sodara juga tidak ikut tertawa. Lihatlah betapa berwibawanya Bapak Wakil Walikota kita ini. Dia tidak meninggalkan keartisannya. Dia memakai jas dan dipadu dengan jeans dan ban pinggang yang sangat modis.

Lihatlah berbagai lencana yang dia pakai. Ada lencana Praja Wibawa untuk Satpol PP disana. Bukankah secara jabatan dia adalah wakil komandan Satpol PP? Ada wing marinir (yang ini saya tidak tahu dia dapat darimana). Ada Pelopor Lantas (aha! Mudah-mudahan dia tidak punya kekuasaan menilang!).

Yang paling saya suka adalah tongkat komando. Ada sedikit cita rasa Bung Karno disini. Namun, ketika Pak Wakil Walikota ini menggenggamnya, dia lebih tampak seperti Moeldoko atau Ryamizard ketimbang Bung Karno!

Sodara, politik itu tidak mesti gontok-gontokan. Dia juga bisa menghibur. Terima kasih Pak Wawalkot Palu! You rock!,”

Dari kasus ini tentu masyarakat harus belajar bahwa memang tidak selalu orang yang memiliki popularitas tinggi, akan sebanding dengan kapabilitasnya. Apalagi dalam bidang yang bukan menjadi jalurnya untuk mencapai popularitas tersebut.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif