Jogja
Sabtu, 16 April 2016 - 16:20 WIB

PERTANIAN SLEMAN : Gedung Tinggi dan Teknologi Gusur Buruh Tani

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Peni (paling kanan) saat menjadi buruh panen padi yang biasa disebut dengan istilah derep, di Kawasan, Jalan PJKA, Tridadi, Sleman, Selasa (5/4/2016). (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Pertanian Sleman semakin tergusu dengan teknologi dan gedung tinggi

Harianjogja.com, SLEMAN– Nasib buruh tani kian terancam seiring menyusutnya lahan pertanian di Sleman yang mencapai 70 hektar pertahunnya. Bagaimana nasib buruh tani di utamanya di jantung kota Sembada ini?

Advertisement

Nyaris hanya berjarak 500 meter di selatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Sleman. Tepatnya di Jalan PJKA, Tridadi, tampak aktifitas memanen padi. Lahan menjorok ke bawah membuat jalan raya laksana tebing. Salahsatu kawasan pertanian yang masih bertahan di jantung kota Sembada.

Dari kejauhan, seorang wanita legam berdiri membungkuk ditumpangi bagor berisi tanaman padi yang lengkap dengan bijinya menuju bibir trotoar jalan.

Advertisement

Dari kejauhan, seorang wanita legam berdiri membungkuk ditumpangi bagor berisi tanaman padi yang lengkap dengan bijinya menuju bibir trotoar jalan.

Tangan dan kaki melibas Kolonjono di pematang sawah, tanpa berpenutup, kepalanya menantang terik. Belasan hingga puluhan kali ia menggendong hingga total 43 bagor seluruhnya berada dipinggir jalan, siap untuk diambil biji padinya dengan menggunakan mesin perontok.

Wanita berumur 48 tahun tak lain adalah Peni, warga Dusun Beran Kidul, Tridadi, Sleman. Ia buruh tani untuk panen padi yang dikenal dengan istilah dereb.

Advertisement

Sukses mengangkat semua bagor, Peni merebahkan punggungnya di bagor-bagor tersebut. Kebetulan ia mengerjakan sendiri untuk memanen lahan milik satu petani. Sehari sebelumnya dibantu anaknya namun harus masuk kerja. Suaminya tak lagi mampu bekerja secara fisik karena sakit. Sementara ia masih memiliki satu anak usai sekolah dasar.

“Dereb itu dari memotong tanaman padi, mengangkat ke tempat perontok sampai menghasil gabah, baru nanti dapat sesuai dengan kesepakatan pembagian,” ucap Peni saat berbincang dengan Harianjogja.com, belum lama ini.

Selain Peni ada seorang wanita lainnya bernama Mbah Sukar yang juga masih setia sebagai buruh tani. Namun ia mengerjakan padi milik orang lain. Sembari menunggu operator mesin perontok padi datang, ia memilih untuk melahap ransum yang dibawa dari rumah. “Saiki wis ono mesin, biyen nganti sikile panas soale kudu ngidek-idek parine,” kata Mbah Sukar.

Advertisement

Setahun terakhir memang bermunculan mesin perontok padi secara berkeliling di wilayah Sleman. Hampir tiap desa ada yang memiliki baik kelompok maupun perseorangan dengan harga jasa yang bervariasi antara Rp1.000 hingga Rp4.000 untuk satu ember ukuran padi yang dirontokkan menjadi gabah.

Peni tidak saja mengandalkan dereb, namun ia juga melayani jasa buruh seperti tandur, matun (menyiangi rumput). Tidak saja di wilayah Tridadi, ia kerap menjalani profesinya di desa lain bahkan hingga ke Kecamatan Mlati, Tempel dan Turi.

Sayangnya seiring tingginya alih fungsi lahan yang berubah menjadi gedung bertingkat dan kemajuan teknologi, profesi yang dimiliki Peni perlahan tergusur. “Lha saiki tanam wae iso nganggo mesin wisan, lahane yo wis sempit,” timpal Peni.

Advertisement

Lebih dari 60 menit menunggu, tibalah operator perontok padi datang. Saat mesin mulai dinyalakan, Peni pun bergumul dengan dedaunan padi yang rasanya gatal. Mulai dari mengangkat bagor berisi tanaman padi, lalu memilah dan menyisihkan gabah agar benar-benar bersih.

Bagi Peni membawa dua ember ke rumah saja sudah sangat berarti. Karena ia tak menjual gabah hasil ia dereb, melainkan untuk persediaan makan sehari-hari. “Paling jual berasnya, itu saja jarang, yang jelas untuk dimakan,” ucap Peni sembari mengangkat saringan gabah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif