Soloraya
Rabu, 13 April 2016 - 13:15 WIB

PERKARA PURNABAKTI DPRD SRAGEN : Rus Utaryono: MA Abaikan Delik Formil!

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mahkamah Agung (pelitaonline.com)

Perkara purnabakti DPRD Sragen telah bergulir hingga ke MA.

Solopos.com, SRAGEN — Anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPRD Sragen periode 1999-2004, Rus Utaryono, menilai majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin Artidjo Alkostar mengabaikan delik formil dalam pengambilan putusan tentang permohonan peninjauan kembali (PK) kasus korupsi dana purnabakti Sragen.

Advertisement

Rus menganggap keyakinan hakim yang subjektif menjadi penentu dalam keputusan daripada pertimbangan UU hukum positif dan fakta persidangan.

Berdasarkan putusan MA bernomor 9PK/PID.SUS/2012, terdapat dissenting opinion atau pendapat yang berbeda yang disampaikan Hakim Agung Syamsul Rakan Chaniago. Perbedaan pendapat dari hakim agung tersebut akhirnya diputuskan melalui mekanisme suara terbanyak sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (6) huruf a KUHAP.

Rus merasa menjadi korban diskriminasi perlakuan hukum negara terhadap warga negara karena ada dua putusan yang berbeda dalam satu perkara yang sama. Bahkan, Rus menunjukkan perbedaan perlakukan atas putusan untuk anggota Panitia Rumah Tangga (PRT) dan anggota Panggar DPRD Sragen periode 1999-2004 dalam menjalani hukuman. Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menginginkan adanya pembelajaran dan revisi dalam sistem pengambilan putusan perkara pidana.

Advertisement

Rus menyampaikan dua pertimbangan hukum yang berlaku universal. Pertama, lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kedua, pidana itu didasarkan pada delik formil. Artinya, proses persidangan itu hendaknya mengacu pada UU hukum positif dan fakta persidangan. Selain itu, keyakinan boleh diakomodasi kendati menjadi ranah subjektif.

“Saya ikhlas menerima putusan MA itu. Saya hanya ingin kasus Panggar ini menjadi pembelajaran tersendiri. Putusan MA yang menolak PK 17 orang anggota Panggar itu mengabaikan delik formil. Ketika kami mengajukan PK itu, kami menunjukkan novum adanya putusan bebas pada kasus yang sama, yakni putusan bebas di pengadilan militer sejak peradilan tingkat pertama dan putusan bebas teman-teman anggota PRT berdasarkan putusan PK pada 2011,” ujar Rus saat berbincang dengan wartawan, Selasa (12/4/2016) sore.

Rus mengatakan perlakuan diskriminasi itu terletak pada hukuman yang dijalani anggota PRT dan Panggar. Rus menyampaikan teman-teman PRT hanya menjalani hukuman tujuh bulan dan kemudian dinyatakan bebas setelah putusan permohonan PK turun. Sementara anggota Panggar, kata dia, harus menjalani hukuman penuh selama setahun lebih dan putusan PK dari MA baru turun setelah empat tahun lebih.

Advertisement

“Teman-teman di PRT hanya dibebani pengembalian ganti rugi dana purnabakti Rp48 juta per orang karena yang Rp2 juta menjadi hak mereka. Sedangkan teman-teman Panggar juga mengembalikan ganti rugi plus denda yang nilai totalnya lebih dari Rp90 juta per orang. Selain adanya diskriminasi perlakuan, perbedaan putusan dalam satu perkara yang sama itu menunjukkan tidak adanya kepastian hukum karena putusan mana yang dianggap benar tidak jelas,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif