Jogja
Senin, 11 April 2016 - 18:20 WIB

Siswa Madrasah Turut Pelajari Kesenian Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pentas seni siswa Madrasah Ibditadiyah (MI) Ma'arif Bego, Maguwoharjo, Depok, Sleman. (Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja)

Siswa madrasah di Sleman turut mempelajari kesenian daerah

Harianjogja.com, SLEMAN- Sebanyak 21 siswi Madrasah Ibditadiyah (MI) Ma’arif Bego, Maguwoharjo, Depok, Sleman berdiri secara berjejer, dua-dua. Mereka bersiap mementaskan kesenian Badui di hadapan teman-temannya.

Advertisement

Alunan musik satu dua dari bedug dan kendang batangan mulai ditabuh. Iramanya menyerupai musik kesenian Jathilan. Dua regu siswi masing-masing terdiri dari 10 orang pun memasuki panggung.

Mereka membentuk lingkaran besar sebelum berbaris berjejer. Tak henti-hentinya kedua kaki mereka bergerak ke kanan dan ke kiri.

Advertisement

Mereka membentuk lingkaran besar sebelum berbaris berjejer. Tak henti-hentinya kedua kaki mereka bergerak ke kanan dan ke kiri.

Di tangan kanan, mereka membawa pedang bambu. Sementara tangan kirinya sebuah perisai kecil dipegang erat-erat. Mereka terus melompat-lompat kecil, ke kanan dan ke kiri mengikuti irama musik yang dimainkan. Alunan lagu Jawa mulai terdengar mengiringi musik dan tarian ala Badui itu.

“Selamat datang hadirin sekalian, Selamat menyaksikan pentas kesenian, kesenian kita yang berasaskan Islam, Mudah-mudah diridhoi Tuhan…” Demikian sebagian rilik lagu yang diperdengarkan mengawali tarian para prajurit perempuan itu.

Advertisement

Sesekali mereka saling beradu pedang bambu, terlihat pula mereka saling membenturkan kaki satu sama lainnya. Itulah gambaran sekilas kesenian Badui yang dipentaskan siswi-siswi tersebut.

“Ya itu sudah saya kolaborasikan. Bukan kesenian asli Badui,” tutur pembina kesenian tari badui Nur Kholis usai pementasan.

Dia bercerita, sejatinya kesenian tari tersebut diperagakan oleh para siswa. Sayangnya, siswa laki-laki enggan ikut sehingga siswi perempuanlah yang mengambil peran.

Advertisement

Senjata yang digunakan juga berupa tombak, bukan pedang bambu. Sementara alat-alat musik yang digunakan juga beragam seperti rebana, bende, kentongan dan lainnya. Begitu pula dengan gerakan-gerakan tarinya.

“Yang ini lebih ringan. Padahal sejatinya gerakan-gerakan yang diperagakan sangat sulit. Jadi saya modifikasi sesuai kebutuhkan,” kata pria berbaju koko putih itu.

Keluarganya secara turun-temurun, mulai kakek dan ayahnya menjadi pelestari seni Badui. Saat ini, pria yang sehari-hari mengajar di pesantren itu tinggal di Plosokuning, Ngaglik, Sleman.

Advertisement

“Seni Badui memang banyak menampilkan gerakan layaknya olahraga beladiri. Kami kolaborasikan dengan seni Islam. Ini jamak dikenalkan di pesantren. Seperti pasukan perang santri dulu,” tuturnya.

Menurut Kholis, banyak pesan moral yang disisipkan dalam kesenian tersebut. Pasalnya, seni Badui yang dimodifikasi itu menjadi alat berdakwah dengan syair-syair yang mengajak pada keteguhan iman, berbuat baik, beramal soleh dan beraktivitas sosial secara baik.

“Di dalamnya juga ada pujian-pujian dan solawatan. Gerakan tarinya meniru gerakan prajurit, menampilkan beladiri dasar,” katanya lagi.

Masuknya nilai-nilai seni dan budaya lokal dalam madrasah, berdampak positif bagi siswa-siswinya. Mereka tidak lagi monoton belajar agama tetapi juga belajar kesenian dan budaya di masyarakat.

Bahkan, MI Ma’arif Bego memiliki prestasi sendiri dalam konteks ini. Madrasah ini menjadi madrasah model vokal untuk gerak dan lagu Islami tingkat nasional.

Kepala Madrasah MI Ma’arif Bego Slamet Subagyo mengatakan, kesenian menjadikan siswa kreatif. Pengelola pun berinisiatif untuk memberikan wadah bagi mereka dengan lomba kesenian dan kebudayaan. Kegiatan tersebut diikuti oleh 525 siswa TK dan MI Ma’arif Bego.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif