Soloraya
Sabtu, 9 April 2016 - 11:06 WIB

KEMISKINAN SRAGEN : Miris, Kakek-Nenek Ini Tinggal di Kandang Kambing

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mbah Sarjo, 80, duduk di anak tangga di depan pintu bekas kandang kambing komunal yang kini menjadi tempat tinggalnya di Dusun Sukorejo, Desa Pelemgadung, Kecamatan Karangmalang, Sragen, Jumat (8/4/2016). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Kemiskinan Sragen tampaknya masih butuh perhatian dan penanganan serius.

Solopos.com, SRAGEN – Bau pesing menyeruak hidung kala solopos.com, mendatangi gubuk yang disinggahi Mbah Sarjo, 80. Bersama istrinya, Poniyem, 60, Mbah Sarjo tinggal di sebuah gubuk yang sebelumnya difungsikan sebagai kandang kambing komunal di Dusun Sukorejo, Desa Pelemgadung, Karangmalang, Sragen.

Advertisement

Sambil bertelanjang dada, Mbah Sarjo duduk santai di anak tangga di depan pintu gubuk berukuran sekitar 4×6 meter. Lantai gubuk itu berada di ketinggian sekitar satu meter dari permukaan tanah. Anyaman bambu, batang kayu, serta blabag menjadi dinding penopang dari terpaan dinginnya angin malam.

Di sebelah timur gubuk itu terdapat dapur yang dibuat sendiri oleh Mbah Sarjo. Di dalam dapur terdapat tungku yang biasa digunakan istrinya untuk memasak gorengan sebelum dijajakkan keliling kampung.

Advertisement

Di sebelah timur gubuk itu terdapat dapur yang dibuat sendiri oleh Mbah Sarjo. Di dalam dapur terdapat tungku yang biasa digunakan istrinya untuk memasak gorengan sebelum dijajakkan keliling kampung.

”Mbok Wedok belum pulang. Biasanya jelang Magrib baru pulang,” kata Mbah Sarjo saat berbincang dengan solopos.com, Jumat (8/4/2016).

Dalam dua tahun terakhir, Mbah Sarjo dan istrinya tinggal di bekas kandang kambing komunal itu. Kebetulan kandang komunal yang dibuat perangkat desa itu sudah tidak terpakai dalam beberapa tahun terakhir. Poniyem memberanikan diri meminta izin kepala desa untuk menempati bekas kandang kambing itu sebagai tempat tinggal sepulang merantau dari Jakarta.

Advertisement

”Dua anak saya itu perempuan semua. Mereka ikut suaminya. Mereka sudah punya banyak anak. Yang pertama punya anak enam, yang kedua punya anak lima. Semua masih kecil-kecil. Mereka sudah kerepotan mengurus anak, apalagi ditambah mengurus kami,” ujarnya.

Seiring bertambahnya usia, Mbah Sarjo semakin renta. Kedua kakinya sudah tak mampu lagi digunakan untuk berjalan. Dia sudah terbiasa menggunakan alat bantu jalan berupa tongkat. ”Bagian sini [sambil menunjuk kedua lutut] sudah tidak kuat,” kata Mbah Sarjo.

Sehari-hari waktu Mbah Sarjo dihabiskan di dalam gubuk. Sesekali dia keluar gubuk untuk mengusir penat. Lantai gubuk itu terbuat dari susunan batang bambu. Kasur busa yang sudah menipis menjadi teman dia dan istrinya saat tidur.

Advertisement

Dia beruntung gubuk itu dilengkapi soket listrik yang disalurkan dari Balai Desa Pelemgadung yang hanya berjarak sekitar 7 meter. Soket itu biasa digunakan untuk menanak nasi melalui rice cooker usangnya. Soket itu pula yang menjamin ketersediaan lampu penerangan kala malam hari.

Salah satu masalah yang dihadapi Mbah Sarjo dan istrinya adalah ketiadaan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) di dekat gubuk itu. Mbah Sarjo biasa buang air besar di saluran air yang berjarak sekitar lima meter dari gubuk itu. Dia harus bersusah payah berjalan dengan bantuan tongkat untuk mencapai saluran air itu. Terkadang kedua kakinya sudah tidak kuat untuk digunakan berjalan.

Dengan terpaksa, dia buang air kecil di sekitar gubuk. Hal itulah yang membuat gubuk itu beraroma pesing. ”Kalau Mbok Wedok biasanya menggunakan toilet di balai desa untuk mandi atau mencuci,” paparnya.

Advertisement

Keberadaan Mbah Sarjo yang tinggal di bekas kandang kambing komunal itu mengundang keprihatinan dari warga sekitar. Warga sekitar yang merasa iba berusaha memberikan sembako kepadanya. Setiap bulan, Mbah Sarjo juga mendapat jatah raskin dari Pemdes Pelemgadung. Saat Lebaran tiba, tumpukan plastik berisi sembako biasa menghiasi lantai.

”Sebetulnya dia itu dulunya orang yang punya [mampu]. Dia dulu masih punya rumah di Dusun Tegalrejo, tetangga dusun. Karena ada masalah keuangan, rumah itu akhirnya dijual oleh anaknya ketika ditinggal merantau ke Jakarta,” jelas Mulyono, 40, warga setempat.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif