Kolom
Kamis, 7 April 2016 - 09:00 WIB

GAGASAN : Korporasi dan Korupsi

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kukuh Tejomurti (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (4/4/2016), ditulis Kukuh Tejomurti. Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional.

Solopos.com, SOLO — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali pada 31 Maret 2016 melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT) sekaligus terhadap pegawai korporasi (pengusaha), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, serta memeriksa dua aparat kejaksaan sebagai saksi.

Advertisement

Pada OTT pertama KPK menangkap tiga orang pengusaha dari badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta. Pada kasus tersebut KPK menduga pengusaha tersebut sedang berusaha menghentikan perkara korupsi di perusahaannya yang sedang diusut Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Dua pengusaha dari institusi BUMN tersebut diduga akan memberikan uang suap kepada pejabat tinggi kejaksaan melalui perantara seorang pengusaha swasta. Pada OTT kedua, KPK menangkap anggota DPRD DKI Jakarta dan karyawan swasta yang menjadi perantara pengusaha, sang pemberi suap, dengan anggota DPRD tersebut.

Penyuapan ini diduga terkait dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKI Jakarta tentang Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.

Advertisement

Kasus yang hampir serupa pernah terjadi pada Januari 2016, Saat itu KPK menangkap  anggota DPR dan seorang pengusaha. KPK menangkap mereka atas dugaan penyuapan oleh seorang pengusaha kepada seorang anggota DPR untuk “mengamankan” proyek pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. [Baca selanjutnya: Cara Berhukum]Cara Berhukum

Mengkaji tiga kasus dugaan korupsi dengan modus suap tersebut ada dua hal menarik untuk diperhatikan. Pertama, ada pengusaha dari sebuah korporasi yang berusaha memengaruhi kebijakan pemerintah daerah dan keputusan aparat penegak hukum untuk kepentingan korporasi (perusahaan).

Kedua, ada paradigma yang keliru tentang cara berhukum saat ini. Hukum dalam arti peraturan (undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya) atau berhukum dalam arti proses peradilan. Kini terjadi pergeseran paradigma yang melihat hukum hanya sebagai aturan formal.

Hukum hanya dimaknai sebagai teks kumpulan kata-kata dan tindakan-tindakan formal di proses peradilan tanpa dirasuki nilai etika dan moralitas. Busyro Muqoddas (2012) menyatakan hukum adalah kristalisasi nilai-nilai etika, akhlak, dan moral.

Advertisement

Ketiganya mengandung ”nilai rasa” yang menghasilkan kepekaan dan empati yang bersumber hati. Hati merupakan unsur terpenting dalam memiliki dan memahami hukum. Hati yang memiliki hikmah (nilai-nilai ilahi) inilah yang mampu menegakkan hukum secara adil.

Satjipto Raharjo (2006) menyatakan hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Cita-cita hukum itu adalah untuk mengabdi pada kesejahteraan dan keadilan manusia.

Hukum tidak bekerja untuk dirinya sendiri pada teks peraturan, tetapi untuk tujuan di luar dirinya, yaitu untuk mengabdi pada kesejahteraan dan keadilan manusia. Keadilan hukum itu ”sulit” dicari hanya melalui proses membaca peraturan, melainkan harus melalui penggalian makna di balik teks peraturan sesuai ruang dan waktu yang tepat.

Kasus Mbok Minah pada 2009 yang ”dipaksa” aparat hukum untuk mengikuti sebuah proses peradilan karena dianggap ”mencuri” (Pasal 362 KUHP) adalah sebuah contoh cara berhukum dengan hanya membaca teks peraturan tanpa menggali latar belakang perilaku Mbok Minah yang dianggap ”mencuri” tersebut secara utuh.

Advertisement

Mbok Minah tidak punya niat sedikitpun untuk mencuri. Dia hanyalah seorang buruh yang sedang bekerja membersihkan pekarangan yang ditanami buah kakao milik sebuah perusahaan perkebunan. Untuk pergi ke pengadilan saja Mbok Minah harus meminjam uang tetangganya.

Kasus korupsi suap yang melibatkan korporasi, anggota DPR dan DPRD, dan aparat kejaksaan memberikan makna tersendiri bahwa korporasi saat ini berusaha berperan dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan atau keputusan hukum. Itu dilakukan hanya untuk kepentingan korporasi.

Oleh karena hukum dipandang sebagai peraturan formal belaka dalam bentuk seperti UU, perda, atau putusan dakim tanpa didasari nilai-nilai etika dan moralitas maka para pemburu rente dalam bentuk korporasi ”seenaknya sendiri” berusaha memengaruhi lembaga pembentuk peraturan (DPR, DPRD, eksekutif).

Korporasi berusaha memengaruhi hukum sesuai kepentingan korporasi, yaitu kepentingan yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi korporasi dan mengabaikan kepentingan keadilan dan kesejahteraan masyarakat bangsa yang nilainya jelas jauh lebih besar. [Baca selanjutnya: Moral]Moral

Advertisement

Ada yang hilang dalam cara berhukum saat ini. Pembentukan hukum berupa UU, perda, atau putusan hakim telah dianggap sempurna bila diciptakan oleh lembaga yang berwenang untuk itu, meski harus mengabaikan nilai etika dan moralitas.

Sebuah peraturan  tidak jadi soal diterbitkan meski dalam pembentukannya ada ”jual beli” pasal antara pembentuk peraturan dan pemburu rente. Sebuah putusan hakim tidak jadi soal tetap dilaksanakan meski dalam proses pembentukannya ada “suap menyuap” antara hakim, jaksa, dan pengacara.

Praktik demikian tentu saja telah mengabaikan nilai keadilan, moralitas, dan kemanfaatan yang lebih besar dan hakiki. Moralitas telah hilang dalam cara berhukum saat ini. Lawrence Meir Friedman (2001) menyebut tiga komponen penegakan hukum.

Pertama, substansi hukum dalam bentuk peraturan. Kedua, struktur hukum dalam bentuk pranata hukum seperti lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiga, budaya hukum. Unsur ketiga inilah yang berpengaruh besar menentukan baik tidaknya penegakan hukum.

Budaya hukum (moralitas) yang hilang akan  meruntuhkan dua komponen lainnya (struktur dan substansi hukum). Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bernegara telah jelas mengamanahkan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan  yang adil dan beradab.

Konstitusi kita telah mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lain memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Advertisement

Kemanusiaan dan moralitas rakyat yang luhurlah yang diutamakan, bukan kepentingan pemburu rente korporasi yang menyuap. Dalam konteks demikian, korporasi harus diperbaiki, bukan melulu disalahkan.

Kita perlu belajar dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang bekerja sama dengan korporasi dalam pemberantasan korupsi, yaitu dengan cara pemberian penghormatan dan insentif.

Korporasi yang dinilai bekerja sama dengan pemerintah mencegah korupsi akan diberi penghormatan besar dalam bentuk pemberian berbagai insentif, misalnya insentif pembebasan pajak selama beberapa tahun.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif