Kolom
Rabu, 6 April 2016 - 07:10 WIB

GAGASAN : Kota Solo, Sriwedari, Hiburan, Makanan

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (5/4/2016), ditulis kritikus sastra, Bandung Mawardi.

Solopos.com, SOLO — Pada 1917 terbit iklan dua halaman yang dimuat di buku berjudul Tiga Kagoenaan atau Sifatnja Orang Tionghoa di Ini Hindia susunan Njoo Joe Tik dan Kwik Kin Hien.

Advertisement

Buku itu berukuran saku setebal 115 halaman. Iklan-iklan turut dimuat di buku, di sela penjelasan kehidupan orang Tionghoa dalam perdagangan, politik, pendidikan, agama, dan sosial kultural.

Di halaman 5-6, ada iklan restoran di Sriwedari.  Toean-toean mesti inget! Ini waktoe hawa terlaloe panas. Masoeklah di dalem Kebon Radja Sriwedari Soerakarta. Bisa dapat hawa jang seger! Apa toewan soedah tjobak makan bakmi Singapore?

Menu makanan menggoda itu bisa diperoleh di restoran milik orang Tionghoa (Ong Djie S.) di Sriwedari. Makanan dijamin enak dan bersih. Di Sriwedari, orang-orang bisa berteduh, merasakan hawa segar, dan menikmati menu-menu lezat. Sriwedari adalah kenikmatan kuliner bagi orang berduit.

Advertisement

Dulu Sriwedari dikenal sebagai tempat untuk memanjakan diri dengan makanan-makanan enak. Iklan itu membuka ingatan tentang kehadiran pengaruh pelbagai peradaban dalam pembentukan kota modern dan pengisahan makanan di Solo.

Sodoran menu “bakmi Singapore” di Sriwedari ditambahi dengan “loenpiah telor” dan “ham goreng.” Bepergian ke Sriwedari menjadi peristiwa mengerti hal ihwal kota, zaman “kemadjoean”, selera makanan, dan kelas sosial.

Sriwedari  ramai dikunjungi orang-orang. Sriwedari menjadi tempat penting dalam pengenalan Solo sebagai kota kuliner pada permulaan abad XX. Kemunculan iklan berbarengan mengemukanya pengertian Solo sebagai kota terpenting di Jawa.

Boedi Oetomo dan Sarekat Islam sedang membesar di Solo. Kemajuan pers mengenalkan Bromartani, Djawi Kandha, Retnadoemilah, Doenia Bergerak kepada para pembaca yang melek aksara.

Advertisement

Orang-orang di Solo mulai membaca surat kabar, terbitan dari pelbagai kota. Kehadiran surat kabar mengenalkan pembaca kepada situasi zaman, iklan, dan pandangan hidup baru.

Sriwedari memang pesona. Mas Marco Kartodikromo dalam novel berjudul Student Hidjo (1919) membuka cerita dengan elok dan keramaian Sriwedari. Tokoh Hidjo mengajak Raden Adjeng Biroe pergi ke Sriwedari. Dua sejoli mencari hiburan.

Tawaran Hidjo ke Biroe,“Berjalan kaki atau naik kereta?” Si Biroe memilih berjalan kaki saja berdalih melihat pemandangan sepanjang jalan. Penampilan Hidjo jadi representasi identitas pengunjung Sriwedari.

Biroe berkata,“Hari ini kau nampak luar biasa, memakai jas bukak, kain bagus sekali, iket kethu dan sepatu baru.” Penampilan Biroe melalui perkataan Hidjo,”Kena apa kamu memakai baju sutra kuning, kain bagus, subang berlian, selop model baru?”

Advertisement

Kunjungan mereka berbarengan acara keramaian di Sriwedari yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kunjungan saat malam hari memunculkan deskripsi: terang lampu-lampu listrik di Kebon Raja laksana terang matahari.

Di Sriwedari dua sejoli tak memilih menonton film di bisokop. Hidjo mengajak Biroe duduk di restoran. Mereka duduk bersantai sambil bercakap-cakap. Di restoran mereka cuma memesan dua botol limun.

Hati sedang girang. Dua botol limun semakin memberi kehangatan ketimbang memesan piring-piring berisi makanan lezat. Obrolan selesai dan limun habis. Mereka melanjutkan pilihan hiburan dengan menonton wayang orang.

Novel itu tak memuat daftar menu makanan tapi memberi ingatan tentang keberadaan restoran atau warung makan di Sriwedari. Restoran jadi tempat terhormat untuk bersantap dan bercakap-cakap. Dua sejoli berasal dari kelurga berduit tapi saat di Sriwedari mengirit, tak membeli makanan. [Baca selanjutnya: Corak Berbeda]Corak Berbeda

Advertisement

Tahun demi tahun berlalu. Sriwedari bertambah ramai. Solo semakin maju. Hiburan dan makanan di Sriwedari jadi pilihan utama. Sriwedari adalah keramaian. Pengertian itu disampaikan oleh penulis berjulukan Wong Solo dalam artikel berjudul Sedjarah Maleman Sriwedari Solo yang dimuat di majalah Minggu Pagi edisi 15 Juni 1952.

Pada masa 1920-an, Sriwedari memang memesona. Wong Solo menjelaskan peningkatan jumlah pengunjung memicu kedatangan para pedagang. Berebutan para pedagang buka stand disana. Stand barang-barang mainan, stand rumah makan, stand sulapan, stand barang-barang keradjinan, malah Draaimolen dan Wefmolen ikut meramaikan pula.

Sriwedari adalah pusat hiburan, mainan, dan makanan. Masa itu kemudian berlalu. Keramaian Sriwedari pada masa 1920-an kemudian berganti dengan keramaian berbeda corak dan sajian pada abad XXI. Kini, Sriwedari bakal memiliki lakon terbaru dengan kedatangan 50-an pedagang makanan.

Mereka berpindah dari pinggiran Jl. Slamet Riyadi. Pemerintah Kota Solo sengaja menata ulang para pedagang agar berkumpul di kawasan Sriwedari. Semula mereka berjualan dan mendapat pelanggan di pinggir jalan. Pemindahan membuat pedagang harus menjalankan siasat agar tetap laku dan pelanggan rela datang meski berjarak jauh dari tempat bekerja.

Pada 1 April 2016 para pedagang kaki lima itu mendorong gerobak makanan masuk ke kawasan Sriwedari dalam upacara simbolis dan birokratis. Pemimpin dan pejabat pemerintahan memberi sambutan ramah terkait kehadiran para pedagang.

Sriwedari semakin ramai dengan pelbagai hal: kios buku, perkantoran, museum, dan tempat jajan makanan. Di sela acara, wartawan mencatat perbincangan para pedagang. “Dulu, kandang gajah di situ,” kata seorang pedagang. Perbincangan mengingatkan mereka pada masa lalu Kebon Raja atau Bonraja (Solopos, 2 April 2016).

Advertisement

Ingatan Sriwedari muncul saat pedagang mulai berharap mendapat rezeki dan membentuk biografi baru. Di Sriwedari, orang-orang mencari hawa segar, hiburan, buku, dan makanan. Sejak seabad silam, Sriwedari memang tempat orang-orang menunaikan kerja untuk mendapat nafkah kehidupan.

Pemerintah bekerja menata tempat berjualan. Pedagang rela berpindah asalkan tetap bisa mencari rezeki dari penjualan pelbagai makanan. Mereka ingin memberi cerita dan nuansa baru di Sriwedari. Mereka tak memiliki kewajiban mengerti lakon Sriwedari masa lalu melalui sajian iklan, novel, dan artikel. Sriwedari tetap ada. Kita  berharap Sriwedari selalu memiliki makna baru.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif