Soloraya
Selasa, 5 April 2016 - 10:35 WIB

LALU LINTAS SOLO : Jalan Searah dan Lawan Arus Butuh Dikaji Ulang

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sebuah spanduk penolakan pemberlakuan satu arah di Jl. Prof. Dr. Soeharso, Jajar, terpampang di depan kantor BBKPM, Sabtu (25/4). Rencananya kebijakan satu arah akan diberlakukan Mulai Senin (27/4/2015). (Chrisna Canis Cara/JIBI/Solopos)

Rekayasa lalu lintas dengan pembuatan jalan searah dan lawan arus diminta dikaji ulang.

Solopos.com, SOLO — Penetapan kebijakan rekayasa lalu lintas jalan searah dan melawan arus (contra flow) bagi kendaraan umum di ruas jalan utama Laweyan butuh dikaji ulang. Pasalnya selang 20 hari setelah diujicobakan, penerapan kebijakan jalan searah tersebut mulai berdampak secara sosial dan ekonomi.

Advertisement

Hal itu dikemukakan pemerhati transportasi Muslich Hartadi Sutanto saat berbincang dengan solopos.com di Solo, Senin (4/4/2016) siang.

“Timbulnya resistensi dari masyarakat itu hal yang wajar. Masyarakat zaman sekarang lebih kritis. Yang patut dipertimbangkan pemerintah dalam kebijakan ini adalah ekses ekonomi dari penerapan jalan searah, terutama di kawasan bisnis Jl. dr. Radjiman,” katanya.

Advertisement

“Timbulnya resistensi dari masyarakat itu hal yang wajar. Masyarakat zaman sekarang lebih kritis. Yang patut dipertimbangkan pemerintah dalam kebijakan ini adalah ekses ekonomi dari penerapan jalan searah, terutama di kawasan bisnis Jl. dr. Radjiman,” katanya.

Anggota Dewan Pakar Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan ini mengungkapkan hasil risetnya selama masa uji coba jalur searah dari timur ke barat di Jl. dr radjiman telah memangkas arus pergerakan orang ke timur sebanyak 1.640 orang/jam.

Hilangnya potensi mobilitas orang di Jl. dr. Radjiman, sambungnya, belum bisa ditambal dengan dukungan kebijakan melawan arus khusus angkutan umum di jalur tersebut. Dengan asumsi frekuensi 12 angkutan umum/jam dan setiap angkutan bisa mengangkut 25 orang, maka angkutan umum dikatakannya baru bisa mengangkut 300 orang/jam.

Advertisement

Muslich menyebutkan korelasi antara transportasi dan ekonomi sangat berkaitan erat sehingga ekses ekonomi dari penerapan kebijakan rekayasa lalu lintas tidak bisa diabaikan. “Transportasi dan ekonomi berinteraksi seperti ayam dengan telur. Pertumbuhan pergerakan transportasi mengikuti pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain ketersediaan sarana transportasi memacu pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Selain menyorot dampak kebijakan jalan searah, Muslich melihat penerapan sistem melawan arus khusus angkutan umum di beberapa ruas jalan kurang tepat diterapkan di Kota Bengawan. Menurutnya, kebijakan contra flow baru pas diterapkan bagi angkutan umum yang kapasitas penumpangnya mencapai 7.500-12.500 penumpang/jam.

“Contra flow untuk Transjakarta saya kira sudah pas. Volume pergerakan penumpang mencapai 10.000 penumpang/jam. Kondisi di Solo saat ini Batik Solo Trans baru mencapai 6.000-7.000 penumpang/hari atau untuk lajur dua arah bisa mencapai 300-350 penumpang/jam/arah. Contra flow di Solo jadi berlebihan karena kapasitasnya timpang terlalu besar dibandingkan volume penumpangnya,” urainya.

Advertisement

Sebelum resmi melanjutkan kebijakan jalan searah dan melawan arus di ruas jalan utama Laweyan, menurut Muslich, pemerintah disarankan menggandeng pakar transportasi dari UNS, UMS, dan UTP, serta mempertimbangkan masukan dari warga terdampak untuk meminimalkan resistensi dari masyarakat.

“Penataan sistem transportasi sebaiknya diimplementasikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Agar lebih optimal, pakar transportasi dari perguruan tinggi di Solo bisa juga digandeng pemerintah untuk melengkapi kajian yang sudah dibuat dinas dan konsultannya. Dinamika masyarakat tidak bisa diabaikan,” sarannya.

Salah seorang warga yang tinggal di Kampung Mangkuyudan RT 001/RW 002, Wahyudin, 51, mengatakan salah satu dampak sosial penerapan kebijakan jalan searah di sekitar lingkungan tempat tinggalnya membuat beban Jl. Samanhudi naik drastis utamanya pada jam sekolah, berangkat kerja, pulang sekolah, dan pulang kerja.

Advertisement

“Seumur-umur saya tinggal di Jl. Samanhudi, baru kali ini merasakan jalan ramai sekali seperti ini. Tidak di sini saja. Tapi juga jalan kampung kecil-kecil di sekitar sini. Setiap malam minggu, antrean kendaraan di perempatan Gendengan bisa sampai pertigaan tugu lilin. Kalau jalan di sini [Jl. Samanhudi] dibuat searah juga, menurut saya tidak solutif malah makin ruwet nanti lalu lintasnya,” tuturnya.

Warga Laweyan lain yang ditemui Espos, Nur Bandono, 53, menyebutkan dampak peningkatan kepadatan lalu lintas di sekitar tempat tinggalnya dirasakan masih wajar. “Biasa saja. Jalan di Jakarta juga seperti ini. Menurut saya pemerintah seharusnya mulai membatasi kemudahan pemilikan kendaraan pribadi. Mau ditata seperti apapun kalau kendaraan tambah terus ya percuma,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Solo Yosca Herman Soedrajat menyatakan mobilitas 2.500.000 kendaraan/hari yang melintasi Kota Bengawan butuh manajemen rekayasa lalu lintas. Kebijakan baru jalan searah dan melawan arus bagi angkutan umum, diakuinya banyak menimbulkan resistensi dari masyarakat sekitar.

“Jumlah kendaraan yang melintasi Solo terus menerus naik. Sedangkan jalannya tidak bertambah. Ini tentunya membutuhkan intervensi pemerintah untuk penataan jalan. Pemerintah tidak abai dengan masukan, tapi secara bertahap kami akan berikan solusi satu per satu untuk kebijakan baru ini,” terangnya saat dihubungi solopos.com, Senin sore.

Herman, sapaan akrabnya, menjelaskan ekses ekonomi di sekitar Jl. dr. Radjiman sifatnya hanya sementara. Ia mencontohkan ruas Jl. dr. Radjiman dari Pasar Kembang hingga Baron yang sebelumnya juga berlaku dua arah sempat menimbulkan resistensi yang tinggi. “Setelah sekian saat, ekonomi di sana juga stabil dan tetap tumbuh. Itu hanya masalah waktu,” jelasnya.

Terkait hasil riset yang menyebabkan penerapan jalan searah dan melawan arus memukul telak perekonomian kawasan bisnis di Laweyan, Herman menyebutkan dinamika dampak sosial ekonomi lalu lintas tidak bisa berdasarkan patokan baku hasil riset. “Jalanan itu dinamis sekali. 30% tidak bisa diprediksi. Kebijakan kami juga sudah melalui kajian dari GIZ, perguruan tinggi, dan pakar transportasi. Tidak spontan,” kata dia.

Menurut Herman, langkah penerapan kebijakan jalan searah dan melawan arus bagi angkutan umum di jalan searah diambil pemerintah untuk melaksanakan amanat UU No.22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. “Ini semua bagian dari tanggung jawab pemerintah. Ke depan kami akan mengevaluasi pemarkaan, rambu, dan kebijakan lain untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat,” kata dia.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif