Jogja
Jumat, 1 April 2016 - 09:20 WIB

BEDAH BUKU : Putra Papua Ajak Perangi Diskriminasi

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anak asli Papua mengikuti pembekalan dalam program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem). (Detikcom)

Bedah buku Gunung Versus Pesisir, Dalam Perspektif Nilai-Nilai Hidup Bersama menghadirkan Bupati Jayawijaya, Wempi Wetipo di UGM

Harianjogja.com, JOGJA-Diskriminasi yang selama ini ada di Papua, menjadi penyebab sejumlah konflik terjadi Papua. Bahkan, diskriminasi ini ternyata banyak yang justru dibentuk oleh pemikiran orang-orang Papua sendiri.

Advertisement

Hal tersebut disampaikan oleh Bupati Jayawijaya, Wempi Wetipo, dalam bedah buku berjudul penulis buku Gunung Versus Pesisir, Dalam Perspektif Nilai-Nilai Hidup Bersama, di University Club Universitas Gajah Mada, Kamis (31/3/2016).

Sebelumnya ia mengutip hasil penelitian dari Muridan S.Widjojo pada 2014 yang menyebutkan, ada empat hal yang menjadi sumber konflik Papua. Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi disebabkan pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970.

Advertisement

Sebelumnya ia mengutip hasil penelitian dari Muridan S.Widjojo pada 2014 yang menyebutkan, ada empat hal yang menjadi sumber konflik Papua. Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi disebabkan pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Penyebab keempat yakni, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.

Wempi yang juga menjadi salah satu penulis buku ini menuturkan bahwa, dirinya memilih untuk mengangkat secara spesifik terhadap poin pertama. Menurutnya, watak ‘etnosentrisme sempit’ yang  semakin menajam di Papua sendiri, dinilai telah melahirkan diskriminasi dengan istilah ‘gunung-pantai’ di antara masyarakat Papua sendiri. Menurut Wempi, pemikiran ini tidak boleh terus berlanjut.

Advertisement

“Melalui buku ini, kami berharap masyarakat Indonesia, utamanya rakyat Papua bisa menatap Papua tanpa diskriminasi,” ucapnya.

Dalam diskusi dan bedah buku yang ia tulis bersama Marthen Medlama ini, ia menambahkan secara geografis, wilayah Papua memang terbagi dua yakni pesisir pantai dan pegunungan. Kelompok masyarakat yang tinggal di dua alam Papua ini juga memiliki budaya dan kebiasaan berbeda.

Masyarakat pesisir lebih terbuka dan modern karena sudah berinteraksi dengab dunia ‘luar’. Sedangkan masyarakat pegunungan masih hidup ‘klasik’ dengan mempertahankan keaslian budaya. Awalnya dikotomi gunung-pantai ini bukan masalah besar.

Advertisement

Perbedaan masyarakat gunung-pesisir sebenarnya pun sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan sejak bergabung dengan Indonesia pada 1963 lalu, sesama orang Papua hampir tidak terjadi konflik.

“Namun perubahan signifikan terjadi khususnya di era Orde Baru,” terangnya.

Menurut Wempi, pada periode Orde Baru, masyarakat pegunungan Papua menjadi termarjinalkan. Tak heran jika kemudian mayoritas gerakan pemberontakan untuk ‘merdeka’ lebih banyak disuarakan dari pegunungan. Akibatnya, secara perlahan stereotipe pun terbangun. Masyarakat pegunungan mendapat label negatif dan masyarakat pesisir mendapat label positif.

Advertisement

“Buku ini mengajak semua pihak untuk mengenal lebih jauh tentang fakta yang terjadi terkait ‘konflik yang tersembunyi’. Di buku ini pula kami mengungkapkan keinginan membangun generasi mendatang yang tidak bersikap diskriminatif dan rasis dengan terus memajukan Papua di berbagai bidang,” ungkap lulusan Strata Dua Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih dan Strata Dua Pariwisata Universitas Udayana ini.

Gunung dan pantai imbuhnya, bukanlah sebuah perbedaan. Papua yang satu tanpa kecuali harus menjadi darah yang mengalir di seluruh lapisan masyarakat Papua.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Prof. Sigit Riyanto mengatakan, dari segi momentum buku tersebut dinilai terbit tepat waktu. Hal tersebut terkaitan dengan hasil penelitian LIPI tentang Papua, yang menyatakan kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua. Dan mengajak masyarakat perlu belajar dan mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan di Papua selama ini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif