Jogja
Rabu, 30 Maret 2016 - 22:55 WIB

PERUMAHAN : 40% RT Beli dengan Subsidi & 40& Tak Punya Daya Beli Rumah

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi perumahan (Rachman/JIBI/Bisnis)

Perumahan untuk distribusi penyediaan perlu diperhatikan

Harianjogja.com, SLEMAN- Distribusi penyediaan perumahan di Indonesia belum merata.

Advertisement

Baru sebagian kecil atau 20% rumah tangga kelas atas yang mampu membeli rumah dari pasar formal, sedangkan 40% rumah tangga kelas menengah tidak dapat membeli rumah tanpa bantuan subsidi, dan 40% rumah tangga kelas bawah bahkan sama sekali tidak memiliki daya beli terhadap rumah.

Pendiri dan direktur eksekutif lembaga Housing Resource Center, Mahditia Paramita yang diinisiasi pada tahun 2006 oleh para aktivis perumahan, Pemda DIY, UN-Habitat, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

“Anggaran pemerintah untuk sektor perumahan relatif kecil dibanding sektor prioritas lain. Hal ini menunjukkan sektor perumahan belum diprioritaskan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” ujar Pendiri dan direktur eksekutif lembaga Housing Resource Center, Mahditia Paramita dalam Policy Corner yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Senin (28/3/2016) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com, terima.

Advertisement

Transformasi kebijakan perumahan di Indonesia selama enam generasi, yaitu pada masa pengenalan, masa pengembangan, masa stabil, masa transisi, masa revisi kebijakan I, serta masa revisi kebijakan II. Pembagian generasi ini, menurutnya, dibuat berdasarkan kriteria orientasi kebijakan, perubahan target kelompok, serta lingkup layanan perumahan oleh pemerintah.

Dalam masa pengenalan atau generasi pertama pada tahun 1947-1966, prioritas utama terletak pada perencanaan fisik sebagai respon atas kebutuhan pasca Perang Dunia II, yang banyak dipengaruhi oleh paradigma modernisasi dan pertumbuhan perkotaan. Sementara itu, masa pengembangan pada tahun 1967-1977 diwarnai oleh krisis ekonomi yang membuat daya beli masyarakat merosot tajam, sehingga kebijakan perumahan dilakukan dengan sistem sentralisasi atau top-down. Kemudian dalam masa stabil pada tahun 1978-1997, terdapat upaya akselerasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap, dengan pembentukan beberapa lembaga dan peraturan perundangan yang secara khusus menangani masalah perumahan.

Pasca-orde baru, mulai terdapat perubahan dalam orientasi kebijakan pemerintah. Masa transisi pada tahun 1998-2004 menjadi fase awal peralihan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, yang dilanjutkan pada masa revisi kebijakan I di mana pemerintah kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 melakukan optimalisasi peran Pemda sebagai aktor kebijakan perumahan. Sementara itu, masa revisi kebijakan II pada tahun 2010 hingga sekarang lebih berorientasi pada sinergi dan pembangunan berkelanjutan.

Advertisement

Meski kapasitas pembangunan rumah masih belum dijalankan secara maksimal, namun Mahtidia mengapresiasi peningkatan perhatian pemerintah terhadap persoalan perumahan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam 2 periode terakhir yang diapresiasi adalah penanganan pemukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH), khususnya melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) terhadap masyarakat berpenghasilan rendah yang dalam pelaksanannya melibatkan peranan penting pemerintah daerah dalam pengajuan usulan, verifikasi data RTLH dan lingkungan kumuh, pendampingan, serta pengawasan.

“Program BSPS menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dengan dioptimalkannya konsep desentralisasi di bidang perumahan. Keterlibatan Pemda serta masyarakat secara langsung dalam program ini dapat meningkatkan efektivitas dan transparansi pelaksanaan program,” jelasnya.

Advertisement
Kata Kunci : Kampus Jogja Perumahan UGM
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif