Kolom
Kamis, 24 Maret 2016 - 05:00 WIB

GAGASAN : Etika Bisnis Transportasi Berbasis Internet

Redaksi Solopos.com  /  Evi Handayani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aryani Intan Endah Rahmawati (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (23/3/2016), ditulis Aryani Intan Endah Rahmawati. Penulis adalah mahasiswa Magister Sains Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Zaman semakin maju. Kemajuan zaman diiringi perkembangan teknologi yang semakin meningkat. Pada zaman dahulu banyak orang yang harus “menjemput bola” atau menghampiri sarana transportasi jika membutuhkan.

Advertisement

Kini mereka tinggal menekan layanan aplikasi online dan alat transportasi yang dipilih akan menghampiri. Banyak layanan transportasi umum berbasis aplikasi dalam jaringan (daring) yang sekarang sedang menjamur.

Sebut saja Gojek, Say Taxi, Grab Bike, Uber Taxi, serta Grabcab yang akhir-akhir ini sedang menyedot banyak perhatian berbagai pihak. Uber Taxi dan Grabcab memunculkan banyak pertentangan di tengah banyak kemudahan yang ditawarkan.

Pertentangan ini sebenarnya timbul sejak lama dikarenakan banyak pengemudi taksi konvensional yang mengeluhkan pendapatan mereka berkurang semenjak diluncurkannya taksi model Uber dan Grabcab.

Advertisement

Pertentangan ini semakin memuncak pada Senin, 14 Maret 2016, dan Selasa, 22 Maret 2016, ketika ribuan pengemudi taksi berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Mereka mendesak pemerintah menindak Uber dan Grabcab karena dinilai merugikan mereka.

Kerugian yang mereka klaim tersebut di antaranya disebabkan Uber dan Grabcab menggunakan kendaraan pribadi (berpelat nomor warna hitam) sehingga tidak dibebani pajak angkutan umum. Hal ini menimbukan kecemburuan sosial di kalangan pengemudi taksi berpelat kuning yang harus membayar pajak dan retribusi kepada pemerintah.

Uber dan Grabcab juga dinilai belum memenuhi tujuh syarat legal sebagai angkutan umum, seperti berbadan hukum dan kantor perwakilan perusahaan asing tidak diperkenankan melakukan kegiatan komersial di Indonesia.

Uber dan Grabcab belum memiliki badan hukum dan kantor pusat mereka berada di luar Indonesia. Oleh kalangan pengusaha dan pengemudi taksi konvensional mereka dinilai telah melanggar aturan. Hal ini membuat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) sempat membuat wacana untuk memblokir aplikasi tersebut.

Advertisement

Masalah ini sebaiknya dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika dilihat dari kacamata etika bisnis, terdapat istilah utilitarian, hak, dan keadailan. Konsep utilitarianisme menekankan manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral paling dasar, yang menentukan suatu perbuatan dikatakan baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.

Menurut konsep utilitarianisme, bisnis etis apabila kegiatan yang dilakukan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada berbagai manfaat yang diperoleh terkait aplikasi Uber dan Grabcab tersebut.

Masyarakat yang menggunakan aplikasi ini dapat memesan taksi dengan mudah hanya dengan sentuhan jari seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki smartphone dan terkoneksi dengan Internet dengan baik.

Model demikian ini jelas jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan harus menunggu di pinggir jalan atau menelepon taksi. Menunggu taksi di pinggir jalan atau menelepon taksi jelas memerlukan waktu jauh lebih banyak.

Advertisement

Keuntungan berikutnya adalah Uber dan Grabcab menerapkan tarif yang lebih murah dibandingkan taksi konvensional. Tarif yang ditawarkan kedua layanan transportasi berbasis online tersebut ditetapkan per kilometer dan memberikan harga promosi untuk kilometer pertama.

Hak juga dapat dilibatkan dalam menilai kehadiran Grabcab dan Uber. Dalam buku Business Ethics yang ditulis Manuel G. Velasquez, hak diartikan sebagai alat ampuh yang memungkinkan individu memilih secara bebas untuk mewujudkan dan melindungi kepentingannya.

Tokoh yang mengembangkan teori etika, Immanuel Kant (1724-1804), menyebut setiap orang harus diperlakukan sebagai orang yang bebas sama seperti orang lain. Dalam hal ini pengemudi taksi konvensional yang berunjuk rasa menolak keberadaan layanan aplikasi taksi online bisa dianggap melarang hak orang lain karena menghilangkan hak orang lain untuk mencari nafkah.

Kontroversi juga dapat dilihat dari sudut pandang keadilan. Terdapat istilah dalam konsep keadilan, yaitu egalitarianisme. Konsep ini menyatakan setiap orang harus diberi pembagian yang adil dalam suatu kelompok terkait keuntungan dan kerugiannya.

Advertisement

Konsep ini secara tidak langsung ”menyentil” aplikasi Grabcab dan Uber karena mereka belum memiliki badan hukum, berpelat nomor warna hitam sehingga membayar pajak yang lebih rendah, dan kantor pusat mereka berada di luar Indonesia. [Baca selanjutnya: Sama-Sama Dibutuhkan]Sama-Sama Dibutuhkan

Aplikasi ini dinilai telah melanggar konsep keadilan. Mereka dinilai tidak adil terkait dengan pengemudi taksi konvensional karena para pengemudi taksi konvensional menggunakan mobil berpelat warna kuning sehingga mereka dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Terkait dengan hal tersebut, saat ini pengelola layanan aplikasi transportasi tersebut dibantu Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang mengurus perizinan legalitasnya yang diwadahi dalam bentuk koperasi.

Perusahaan penyedia aplikasi Grabcab dan Uber juga menyatakan siap melaksanakan uji kir dan membayar pajak penghasilan setiap pengemudi. Salah satu caranya adalah setiap mobil akan dipasangi stiker sebagai penanda bahwa mereka telah legal sebagai angkutan umum dan membayar retribusi kepada pemerintah.

Beberapa hal tersebut merupakan langkah untuk menciptakan keadilan bagi pengemudi taksi konvensional maupun taksi berbasis aplikasi online. Layanan transportasi konvensional dan transportasi berbasis online saharusnya dapat melayani secara berdampingan karena keduanya sama-sama dibutuhkan dan memberikan manfaat kepada masyarakat.

Kontroversi kehadiran layanan transportasi umum berbasis online tersebut sebaiknya dikaji dari berbagai sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak.

Advertisement

Pihak-pihak terkait tidak seharusnya menutup mata terhadap sebagian pihak yang merasa dirugikan sehingga tidak terjadi lagi konflik-konflik yang tidak perlu.

Pada akhirnya, semua layanan transportasi umum yang selaras dengan kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan zaman diharapkan mampu melayani masyarakat dengan aman, nyaman, dan ekonomis.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif